Wednesday, October 31, 2007

Kolom

Kabinet Bayangan, Quo Vadis?
FORUM Keadilan, 29 Oktober-4 November 2007

A. Bakir Ihsan

Manuver politik di Senayan selalu menarik diamati. Menarik karena semakin jauh dari esensi eksistensi mereka sebagai wakil rakyat. Setelah rencana renovasi gedung DPR dan voucher tol gratis banyak memancing reaksi, kini kalangan mudanya menggagas shadow government (pemerintah bayangan) yang salah satu implementasinya adalah kabinet bayangan. Sebuah gagasan yang “luar biasa” karena tak berkorelasi positif dengan sistem presidensial yang sangat akomodatif secara politik.

Secara faktual dan konseptual, kabinet bayangan (KB) mengandaikan adanya kekuatan tunggal yang digenggam oleh pemerintah, sehingga perlu pengimbang dalam bentuk oposisi. Hal ini biasanya terjadi dalam sistem parlementer yang mana pemenang mengendalikan semuanya (the winner takes all). Karenanya dalam sistem presidensial yang melibatkan hampir semua partai, “aneh” rasanya ada kabinet bayangan. Apalagi yang terlibat di dalamnya adalah kader-kader partai yang sebagian kadernya juga masuk dalam pemerintahan. Ini sama dengan “jeruk makan jeruk”.

Karena itu pula, eksistensi KB ini memiliki beberapa cacat perspektif. Pertama, personifikasi kelembagaan. DPR merupakan sebuah lembaga dengan segala fungsi dan kewajibannya. Seluruh anggota DPR mencurahkan potensinya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat berdasarkan aturan main kelembagaan. Pembentukan KB mengubah perjuangan kelembagaan menjadi perjuangan personal.

Kedua, distorsi energi. Keberadaan KB dengan sendirinya akan menguras energi para anggotanya yang sejatinya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat melalui lembaga DPR (kolektif), baik sebagai anggota komisi maupun fraksi. Energi personal tentu melemahkan sinergi yang sejatinya bisa lebih efektif bagi revitalisasi fungsi mereka sebagai anggota dewan.

Ketiga, pelarian dari tanggungjawab kelembagaan. Alasan pembentukan KB karena kebekuan hegemoni fraksi atau partai seharusnya melahirkan antitesa yang dapat membongkar hegemoni tersebut. Yaitu melalui penguatan partai dan fraksi. Karena apapun alasannya mereka tetaplah representasi partai atau fraksi.

Keempat, output personal. Karena KB merepresentasi personal orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka outputnya pun bersifat (kepentingan) personal berhadapan dengan kebijakan pemerintah.

Berdasarkan empat cacat perspektif tersebut, pembentukan KB sebagai hiburan politik seakan tak terbantahkan. Apalagi di tengah degradasi ekspektasi masyarakat terhadap para wakilnya.

Cermin dibelah
Fungsi kontrol yang dilakukan DPR berjalan lamban bahkan, sebagian, gagal memediasi proses penyelesaian persoalan yang dihadapi rakyat. Kontrol sejatinya diorientasikan pada kepentingan rakyat. Maka sungguh ironis ketika masalah banjir lumpur di Sidoarjo tak berharga di mata DPR dibandingkan dengan masalah nuklir Iran. Problem ini bukan problem personal anggota dewan. Namun lebih sebagai persoalan struktural (kelembagaan) yang membuat anggota dewan tampil seperti wayang.

Realitas tersebut berkonsekuensi pada lemahnya kontrol atas kinerja pemerintah. Karena itu, kegagalan pemerintah tidak bisa sepenuhnya ditimpakan pada pemerintah, tapi juga pada seluruh sistem terkait, termasuk DPR yang sejatinya memiliki otoritas penuh untuk meluruskan kinerja pemerintah. Inilah buruk muka cermin dibelah. Yang salah selalu pihak eksternal (pemerintah), tanpa melihat kelemahan pada dirinya.

Karena itu, koalisi muda seharusnya cukup cerdas untuk melakukan langkah-langkah konstruktif dengan mendiagnosa dan membedah problem akut yang menyelimuti lembaga yang digelutinya. Bukan justru terjebak pada penyucian diri dan menganggap yang lain (the others) bersalah. Semua ini perlu dilakukan agar koalisi muda tidak hanya membentengi dirinya (escape from), tapi mampu mencairkan konservatisme kelembagaaan yang menyelimuti dirinya.

Soliditas internal dan eksternal
Pembentukan lembaga melalui kaukus atau koalisi terbatas (hanya kaum muda, misalnya) tidak akan menghasilkan penyelesaian yang komprehensif. Apalagi disadari betul bahwa problem kemandulan politik anggota dewan adalah karena hegemoni struktural (partai atau fraksi).

Peran kaukus muda akan signifikan ketika mampu mendobrak sistem yang ada. Bukan malah membangun demarkasi yang menyebabkan orang lain apriori. Bahkan akan memicu asumsi bahwa KB merupakan bentuk pelarian dari problem kelembagaan yang jauh dari harapan. Koalisi muda tidak akan bisa banyak bergerak selama masih bernafas dalam sistem (lembaga) yang sesak problem.

Karena itu kaukus muda lintas fraksi ini sejatinya menjadi katalisator semua potensi melampaui segmentasi usia anggota dewan. Hal ini diperlukan agar terbangun soliditas struktural (internal) DPR dan penguatan basis sosial (eksternal), sehingga mereka punya kekuatan riil berhadapan dengan pemerintah. Kegagalan membangun soliditas baik secara internal maupun eksternal menyebabkan mereka tak berdaya berhadapan dengan pemerintah.

Di alam reformasi ini, semua potensi bisa berekspresi dan bereksprimentasi, termasuk membentuk KB. Namun semua itu akan berarti apabila berdampak bagi penguatan demokrasi yang membuat rakyat semakin berpartisipasi. Dan itu akan terjadi apabila ada konsistensi implementasi fungsi masing-masing lembaga sesuai aturan yang ada. Tapi eksprimentasi hanya berbuah manuver-manuver politis yang menyesakkan nafas rakyat, apabila langkah yang diambil sangat elitis dan tak mencerminkan kehendak rakyat. Kalau begitu, KB hendak kemana?*

No comments: