Saturday, March 18, 2006

Opini

Ambiguitas Gaji DPR
Suara Karya
, Sabtu 18 Maret 2006

A. Bakir Ihsan

Bocornya informasi rencana kenaikan gaji DPR melengkapi karut-marut dunia DPR. Kini atas bocornya informasi tersebut, sesama anggota DPR saling tuding karena dianggap melanggar kode etik. Masyarakat pun bertanya siapa yang melanggar kode etik dan siapa yang berlindung di balik kode etik.

Terlepas dari karut-marut dunia DPR, kenaikan gaji akan selalu menjadi isu krusial. Bahkan isu kenaikan secara umum akan selalu mendapat reaksi. Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL), PAM, kenaikan tarif tol dan haarga BBM mendapat respons reaktif dari masyarakat sebagai ekspresi penolakan. Namun dari pengalaman yang ada, semua rencana kenaikan cenderung tak dapat dibendung. Apalagi menyangkut kebutuhan anggota dewan terhormat. Karena di lembaga inilah pusat kekuasaan yang sesungguhnya hadir.

Partai politik sebagai pintu masuk paling absah ke arena kekuasaan terwakili di lembaga ini. Tak berlebihan apabila DPR disebut sebagai penampakan sejati dari kekuasaan oligargik. Walaupun mereka adalah wakil rakyat, tapi rakyat tak bisa menuntut para wakilnya tersebut mundur dari jabatannya, baik karena korup atau melanggar tata susila. Tak ada kontrol politik eksternal yang dapat "mengendalikan" sepak terjang anggota DPR. Pada titik ini DPR menjelma menjadi penguasa tak terbatas.

Namun demikian, kekuasaan tak terbatas tersebut tidaklah permanen. Setiap lima tahun mereka harus memperpanjang kekuasaannya melalui suara rakyat. Itulah sebabnya ia merasa perlu untuk membangun komunikasi intensif dengan para konstituennya, sehingga bisa tetap eksis dan bertahan di Senayan pada pemilihan umum (pemilu) mendatang. Sayangnya semua proses mempertahankan kekuasaan ini dilakukan dengan menggunakan dana negara, melalui berbagai cara. Salah satunya meminta kenaikan tunjangan untuk kepentingan komunikasi (kampanye) dengan konstituennya.

Inilah model komunikasi politik yang boros, tidak efisien, dan lebih dari itu, tidak mendidik. Pertimbangan image building agar citra dirinya tetap terpelihara di dalam ingatan masyarakat menjadi pertimbangan paling penting daripada memperhatikan aspirasi masyarakat secara serius dan memperjuangkannya kepada pemerintah.

Realitas tersebut merupakan muara dari proses seleksi anggota dewan yang unqualified. Para anggota DPR dipilih rakyat bukan karena orang-orang pilihan. Mereka terpilih karena dicalonkan partai melalui proses seleksi yang elitis. Kalau dilacak lebih jauh, ini merupakan konsekuensi dari pola rekrutmen politik atas anggota DPR. Mereka direkrut oleh partai bukan karena kompetensi atau kualitas, tetapi karena faktor-faktor lain yang sejatinya tidak terkait langsung dengan kebutuhan masyarakat. Kedekatan dengan elite, ketersediaan dana yang besar, dan kemampuan obral janji adalah modal yang mengantarkan mereka menjadi anggota dewan.

Lebih parah lagi, mekanisme partai dalam rekrutmen calon legislatif sering dilanggar oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatis. Sehingga tidak jarang proses penyusunan caleg memunculkan gejolak dan intrik-intrik tidak sehat di internal partai yang pada akhirnya dapat meruntuhkan citra partai itu sendiri. Terlihat betul bahwa orientasi kekuasaan lebih dikedepankan daripada kemampuan mengapresiasi aspirasi masyarakat atau memiliki basis sosial yang kuat. Konsekuensinya, para anggota dewan tidak memiliki basis sosial yang kuat, sehingga mereka merasa perlu terus menggalang komunikasi dengan konstituennya dengan membebani uang negara.

Secara logika, kalau landasan kenaikan gaji atau tunjangan adalah untuk memenuhi kebutuhan komunikasi intensif dengan konstituennya, maka kenaikan tersebut seharusnya variatif. Paling tidak kenaikan tersebut disesuaikan jarak tempuh mereka dengan daerah pemilihannya. Tidak adil rasanya apabila anggota daerah pemilihannya Jakarta sama dengan anggota yang daerah pemilihannya Papua atau Aceh yang jarak dan kondisi sosialnya jauh dan sangat berbeda.

Di sinilah kerancuan (ambiguitas) kenaikan gaji anggota DPR. Dalam bahasa yang ekstrem, alasan kenaikan gaji atau tunjangan tersebut hanya retorika legitimatif untuk meraup dana sebesar-besarnya dari negara secara absah untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan dirinya. Apabila ambiguitas ini dibiarkan, kenaikan-kenaikan lainnya akan terus terjadi tanpa rasionalisasi, tak terbatas, dan tak terkendali. Apalagi menjelang pemilu, kebutuhan dana komunikasi (kampanye) semakin membengkak, maka negara menjadi tumpuan sumber dana bagi anggota dewan.

Oleh sebab itu, perlu langkah-langkah konstruktif agar hasrat menaikkan gaji di DPR ini bisa dirasionalisasi dan dikendalikan. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, standar gaji (tunjangan). Sudah waktunya ada aturan yang tepat dan ketat untuk mengukur kebutuhan dan kinerja anggota DPR. Dari sinilah gaji DPR ditentukan. Kini, entah alasan apa yang paling masuk akal untuk menaikkan gaji anggota DPR.

Kedua, transparansi. DPR sebagai rumah rakyat harus membuka diri (transparan) terkait seluruh prosesi yang berlangsung di dalamnya, apalagi menyangkut kenaikan gaji yang jelas-jelas akan membebani keuangan negara. Maka sungguh aneh apabila anggota BURT marah-marah dan berusaha menutup-nutupi rencana kenaikan gajinya sendiri. Kurangnya transparansi prosesi di lembaga dewan ini menyebabkan terjadinya kolusi dan transaksi politik yang sering menjerumuskan rakyat. Kenaikan harga BBM yang berefek domino bagi kenaikan kebutuhan lainnya merupakan bukti konkret dari perselingkuhan DPR dengan eksekutif yang justru membebani rakyat.

Ketiga, rekonstruksi partai politik. DPR sebagai lumbung kader partai dengan segala karut- marutnya perlu rekonstruksi parpol, khususnya terkait dengan pola rekrutmen calegnya. Aturan dan pola rekrutmen yang ada harus ditegakkan di atas kepentingan pragmatis partai. Rekonstruksi ini bukan saja dapat melahirkan kader partai yang berkualitas, tapi juga bisa menaikkan citra partai di mata masyarakat.

Pelaksanaan agenda di atas tentu tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing lembaga terkait, baik partai politik maupun DPR. Peran masyarakat dan keseriusan Presiden SBY untuk mewujudkan good and clean government juga akan sangat membantu percepatan peningkatan kualitas parpol dan anggota dewan yang belakangan sangat sensitif, terkait kenaikan gaji, tunjangan, dan pendapatan lainnya. Sensitivitas itu seharusnya diarahkan kepada kenyataan hidup masyarakat yang berkutat dalam derita dan pendapatan hidup yang tak menentu.***

Analis dan dosen ilmu politik UIN Jakarta.

No comments: