Thursday, May 20, 2010

PD




Opini

Simpang Jalan Partai Demokrat
Seputar Indonesia, Kamis, 20 Mei 2010

A. Bakir Ihsan

Kongres Partai Demokrat (PD) II kali ini sangat penting karena empat alasan. Pertama, usia partai yang relatif muda. Usia muda memerlukan landasan pijak yang kuat sehingga memiliki peluang yang lebih kokoh untuk menorehkan makna dalam sejarah kepartaian di Indonesia. Kedua, dalam usia yang relatif muda, ternyata PD bisa menjadi partai terbesar dalam pemilu kedua yang diikutinya. Ketiga, keberadaan PD selama ini lebih menyerupai apa yang oleh Norberto Bobbio & Maurizio Viroli (2003, p.67) disebut sebagai partai personal (personal party). Yaitu partai yang bergantung pada sosok tertentu, dalam hal ini SBY. Karena itu, keempat, seiring dengan periode terakhir eksistensi SBY sebagai presiden, akan mempengaruhi terhadap kelanjutan eksistensi PD.

Alasan-alasan tersebut sejatinya menjadi pertimbangan serius PD dalam kongres. Dinamika politik kepartaian akan banyak bermakna ketika ia tak terjebak dalam perebutan kuasa atau bagaimana menempatkan sosok tertentu dalam struktur kepartaian semata. Apalagi PD sedang berusaha menjadi partai modern yang terlepas dari jejaring personifikasi dengan segala konsekuensinya. Upaya ini memerlukan komitmen dan kesabaran mengikuti proses transformasi dari partai personal ke impersonal.

Partai personal layaknya makanan instan. Partai tak perlu mengeluarkan banyak energi dan keringat untuk meraih suara. Ia terkatrol oleh modalitas personal. Mesin politik, kalau pun berjalan hanya menghaluskan jalan untuk mempercepat kemenangan. Tapi ketika sang sosok mulai memudar modalitasnya, partai pun akan mudah memendar. Kecuali ia cepat berevolusi menjadi pantai modern (impersonal).
Menjadi partai modern memerlukan proses dan tahapan. Lebih-lebih di tengah realitas kepartaian yang mengedepankan popularitas daripada kualitas; pragmatisme daripada idealisme, pencitraan daripada kerja kerakyatan. Dalam partai modern logika utama yang terbangun bukan pada siapa yang akan memimpin, tapi bagaimana platform dan struktur dibentuk dan dijalankan secara konsisten bagi kepentingan konstituen (masyarakat). (Moshe Maor, 1997)

Modalitas
Transformasi menjadi partai modern memerlukan modalitas impersonal. Karena itu, PD harus memperkuat modalitas yang selama ini belum termaksimalkan, karena ketergantungannya pada sosok SBY. Di antara modalitas itu. Pertama, penegasan implementasi ideologi. Dengan mentahbiskan dirinya sebagai partai nasionalis religius, PD sedang menyiapkan diri menjadi partai inklusif. Ideologi inklusif ini akan bermakna ketika mampu diwujudkan secara konsisten dengan meminimalkan kriminalisasi akibat eksklusivitas pemahaman agama yang terselubung. Baik dalam peraturan atau dalam domain masyarakat sebagai konstituennya.
Dalam hal ideologi, PD, sebagaimana hasil survei Kompas (29/3/10), dianggap yang paling jelas dan konsisten mempertahankan ideologinya. Persepsi ini seharusnya berbanding lurus dengan realitas sosial sebagai basis massa partai. Namun secara faktual, kekerasan ideologis paham keagamaan masih terjadi dan bisa mengancam kebersamaan. Inilah ambiguitas partai secara umum di tengah kepentingan antara meraup suara (pragmatis) dan menegakkan kemaslahan konstituennya.

Kedua, memperkuat kaderisasi. Salah satu problem dari partai personal adalah lemahnya kaderisasi. Kaderisasi bukan hanya pada level (pergantian) ketua, tapi proses pemahaman yang utuh terhadap platform partai sehingga PD bergerak sesuai ideologinya. Lebih dari itu, kaderisasi bisa menjadi jalan masuk impersonalisasi partai, sebagai ciri partai modern. Ini penting karena kaderisasi sering terjegal oleh kepentingan elite partai, yang berdampak pada memudarnya mekanisme partai. Keberhasilan kaderisasi menunjukkan berjalannya mekanisme kepartaian modern sebagaimana diinginkan SBY pada PD.

Jembatan Transisi
Pemilu 2014 merupakan pertarungan terakhir PD sebagai partai personal seiring berakhirnya eksistensi SBY sebagai orang nomor satu di republik ini. Karena itu, tuntutan modernisasi PD yang dilontarkan SBY memiliki korelasi dan signifikansi. Kinerja SBY sampai 2014 akan menjadi salah satu modal PD untuk meraup ekspektasi dari masyarakat. Berhasil tidaknya SBY memimpin negeri ini sampai 2014 akan ikut mempengaruhi citra PD. Apalagi, menurut rencana, dari kongres II kali ini akan dibentuk lembaga baru, semacam majelis tinggi, dengan otoritas lebih dan akan dipimpin oleh SBY. Kalau ini terjadi, maka peran dan citra SBY masih cukup menentukan terhadap eksistensi PD.
Namun demikian, upaya menjadi partai modern akan tetap hadir selama otoritas yang dimiliki SBY ditransformasikan dan didistribusikan ke dalam mekanisme internal partai sebagai kekuatan kolektif. Dengan tetap adanya peran SBY, upaya transformasi dan modernisasi PD memerlukan jembatan transisi yang kuat yang bisa membawa PD menjadi partai modern tanpa mengabaikan landasan historis yang sudah ditorehkan SBY.

Karena itu, siapa pun yang terpilih menjadi ketua umum PD pada kongres II ini, ia memiliki tugas ganda sekaligus; mentransformasi PD menjadi partai modern (impersonal) dan merawat keberhasilan yang tertoreh berkat citra sosok (personal) yang ada pada SBY. Ia harus memiliki kemampuan organisatoris sekaligus bisa memahami pemikiran SBY sebagai bagian dari landasan gerak PD selama ini. Kedua tugas tersebut diperlukan agar PD menjadi partai yang kuat (terinstitusionalisasi) dengan ideologinya yang khas dan setia dijalankan.

Upaya modernisasi PD ini akan terjawab, salah satunya, dalam pemilu 2014 nanti. Apakah PD berhasil mempertahankan perolehan suaranya, atau malah naik, atau justru terpuruk. Kalau pada 2014 perolehan suara PD terjun bebas, orang akan semakin yakin kemenangan PD karena dua hal. Pertama, katrol kebesaran nama SBY sebagai incumbent, dan kedua, karena cara-cara yang tidak lazim. Tapi kalau PD bisa bertahan, apalagi naik perolehan suaranya, orang akan semakin yakin atas jalan lapang PD menjadi partai modern. Inilah simpang jalan yang akan menentukan eksistensi PD ke depan.*

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/325518/

No comments: