Sunday, May 30, 2010

Warna Warni Demokrasi



Opini
Demokrasi Thailand dan Konsolidasi Kita
Koran TEMPO, Sabtu, 29 Mei 2010
A. Bakir Ihsan
Ada fenomena politik menarik antara kita (Indonesia) dan Thailand. Politik di Thailand tak pernah lelah bergolak dan berkonfrontasi, sementara politikus di negeri ini cenderung mengedepankan kompromi dan "transaksi". Sampai saat ini, kelompok demonstran Kaus Merah bergeming, walaupun puluhan korban meregang nyawa. Dialog antara PM AbhisitVejjajiva dan demonstran buntu.
Terlalu riskan bagi Abhisit memenuhi tuntutan para pendukung Thaksin untuk membubarkan parlemen dan mengadakan pemilu segera. Apalagi KPU Thailand membubarkan Partai Demokrat, partai yang dipimpin Abhisit Dalam kebuntuan politik sipil, "tradisi" politik Thailand memancing militer untuk pro atau kontra terhadap pemerintah atau demonstran belum juga terlihat jelas. Ini berbeda dengan demonstrasi 2006, yang menyatukan napas militer dengan demonstran Kaus Kuning untuk mengkudeta pemerintah Thaksin Shinawatra.
Bagi Thailand, kudeta seperti politik harian. Menurut catatan Chairat Charoensin-o-lam (John Funston, 2009), sampai saat ini sudah 18 kali kudeta dengan segala implikasinya, termasuk pembatalan konstitusi dan pembubaran parlemen seperti yang terjadi pada 2006. Yang menarik dari politik Thailand, pergantian kekuasaan yang tiba-tiba (kudeta) ini tidak menyebabkan Thailand runtuh. Negara tetap berjalan dalam politik yang gonjang-ganjing sekalipun. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Salah satunya, transformasi birokrasi berjalan tanpa terjebak oleh gonjang-ganjing politikus. Stabilitas birokrasi ini berdampak pada minimnya tingkat penyimpangan akibat intervensi politikus. Paling tidak dalam hal korupsi akibat birokrasi, tingkatan Thailand masih lebih rendah dibanding Indonesia.
Demokrasi dan korupsi
Meski demikian, korupsi tampaknya menjadi isu dominan di negara-negara ASEAN, seperti Thailand dan Indonesia. Perbedaannya pada penyikapan terhadap korupsi. Di Thailand, korupsi menjadi pemicu ancaman yang sangat kuat bagi kekuasaan. Bahkan tak jarang korupsi menjadi isu efektif bagi pergantian kekuasaan.termasuk melalui kudeta. Kudeta Thaksin, pembubaran partai Thai Rak Thai (2006) dan partai partai penggantinya, Phak Palang Prachachon (2008), pergantian PM di tengah jalan, sampai larangan PM Somchai Wongsawat berpolitik selama 5 tahun, merupakan konsekuensi dari demokrasi ala Thailand (democratic polity) yang mensyaratkan transparansi, walau tak selalu dijawab dengan kudeta.
Tampaknya hal ini berdampak pada tingkat korupsi di Thailand yang relatif rendah dibandingkan dengan di beberapa negara ASEAN, termasuk Indonesia. Seperti dilansir .Transparency International, 2009, Indeks Persepsi Korupsi (TPK) Thailand 3,3 lebih tinggi dibanding Indonesia, yang 2,8. Hal tersebut berkaitan dengan kualitas birokrasi yang mulai berfungsi secara baik. Sedangkan Indonesia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) terhadap 1.000 ekspatriat di Asia selama 1997-2005, selalu masuk dalam lima besar keburukan di birokrasinya.
Democratic polity menjadi simbol perubahan sekaligus kontrol birokrasi Thailand terhadap korupsi atau tindak penyimpangan kekuasaan. Isu korupsi menjadi ancaman bagi kekuasaan. Ancaman ini, di satu sisi, bisa menjadi shock therapy bagi perilaku dan budaya birokrasi dan politikus untuk tidak korupsi, tapi di sisi lain bisa menjadi bom waktu bagi stabilitas politik. Untungnya, ancaman stabilitas di Thailand terkendali oleh, salah satunya, eksistensi raja, yang secara budaya masih "dipanuti".
Transformasi korupsi
Sementara itu, di Indonesia, dalam beberapa kasus, demokrasi melahirkan transformasi korupsi dalam birokrasi. Terungkapnya megakorupsi yang dilakukan oleh pejabat rendahan di Direktorat Pajak menjadi bukti betapa korupsi tetap menemukan bentuknya di alam demokrasi. Ini sebuah paradoks. Demokrasi yang menawarkan transparansi justru tak mampu menembus strategi birokrasi dalam mentransformasi tindak korupsi.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga, lembaga-lembaga yang berdiri mengawal pemberantasan korupsi sejatinya bisa semakin terkonsolidasi, karena ia lahir dari rahim demokrasi. Namun, secara faktual, konsolidasi ini sulit terjadi di tengah lembaga-lembaga penegak hukum yang justru berkubang dalam korupsi. Karena itu, kita berharap pengungkapan kasus-kasus penyimpangan di lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum, seperti di kepolisian, menjadi jalan baru untuk tidak terjebak dalam jalan yang sama.
Selama komitmen Susilo Bambang Yudhoyono masih bisa diharapkan, terkuaknya borok-borok lembaga penegak hukum akanmenjadi proses penyembuhan. Karena itu, pembongkaran tindak korupsi tak boleh berhenti, lantaran akan menjadi luka dalam yang bisa membusukkan tubuh lembaga-lembaga antikorupsi.Belajar dari democratic polity Thailand, reformasi birokrasi menjadi sebuah kemesti-an dengan mentransformasikan alat kontrol yang lebih efektif. Kontrol kuat atas korupsi tak harus hadir di jalanan dengan korban nyawa, apalagi kudeta. Pemberdayaan dan penegakan hukum yang intens akan lebih efektif. Kita memiliki modal yang lebih baik dibanding Thailand, khususnya dalam proses demokrasi yang tak melalui kudeta. Namun modal tersebut tak akan efektif bila berhenti pada aspek prosedur atau perundang-undangan yang tak berpijak pada perilaku.
Efektivitas birokrasi Thailand sampai saat ini belum sepenuhnya berjalan efektif dan maksimal karena masih terbukanya tindak penyimpangan, seperti korupsi dan kolusi, yang tidak jarang mengakibatkan bergolak-nya protes dan unjuk rasa. Namun hal tersebut terkoreksi oleh birokrasi yang lebih baik, yang menutup ruang intervensi politikus.Hal inilah yang belum terlihat dalam birokrasi kita. Justru birokrasi menjadi ajang konsolidasi korupsi dalam beragam bentuknya, baik atas nama pribadi maupun kepentingan politik. Thailand memang belum bebas dari korupsi, tapi ia memulai derjgan birokrasi yang lebih bersih. Gonjang-ganjing politik bisa terus berjalan seperti saat ini, tapi korupsi harus berhenti, paling tidak termi-nimalkan. Sementara itu, para politikus di negeri ini cenderung menjauhi gonjing-gan-jing politik, tapi dengan korupsi yang terus terjadi. Karena itu, kita patut khawatir sekaligus berharap jangan sampai minimalisasi gonjing-ganjing politik di negeri ini menjadi persembunyian baru bagi aksi korupsi.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/05/29/ArticleHtmls/29_05_2010_010_018.shtml

No comments: