Thursday, February 05, 2009



Opini

SBY & Isu “ABS”
Seputar Indonesia
, Rabu, 4 Februari 2009

A. Bakir Ihsan

Beberapa waktu lalu (29/1), Presiden SBY melontarkan dua isu terkait Pilpres 2009. Pertama, isu kampanye “ABS” alias asal bukan capres “S” yang dilakukan oleh petinggi TNI AD. Karena yang mengucapkan adalah SBY, maka “S” dimaksud tentu mengarah pada dirinya. Berbeda bila yang melontarkan isu tersebut Sutiyoso atau Sri Sultan Hamengku Buwono X yang juga berawalan “S” dan capres 2009. Isu tersebut tentu mengarah pada diri kedua capres tersebut.

Kedua, isu keterlibatan petinggi Polri menjadi tim sukses capres tertentu. Keterlibatan ini tentu bukan dalam tim sukses SBY. Di samping SBY sendiri belum membentuknya, juga naif bila SBY melemparkannya ke ranah publik sebelum jadwal kontestasi Pilpres dimulai.

Kedua isu yang dilontarkan SBY di depan peserta Rapim TNI dan Rakor Polri sejatinya dipahami berdasarkan kalkulasi strategis dan konstruktif. Bukan tafsir simplistis apalagi politis terkait eksistensi TNI dan Polri menghadapi kontestasi 2009 ini.

Kepentingan incumbent
Sebagai sebuah isu, kebenaran kedua isu di atas menjadi nisbi. Apalagi SBY sendiri tidak yakin dengan isu tersebut. Karena itu, pertanyaan terpenting kemudian adalah mengapa SBY melemparkan dua isu itu?

Pertanyaan ini penting karena pertama, sebagai incumbent, SBY sebenarnya memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan capres lain untuk menggunakan TNI dan Polri bagi pemenangan Pilpres 2009. Hal ini sebagaimana terjadi pada pemilu 2004 lalu yang secara kasat mata sebagian oknum TNI dan Polri mendukung incumbent Megawati Soekarnoputri. Karena itu pula, tidak sepenuhnya benar kalau isu yang dilontarkan SBY sebagai bentuk kekhawatiran atas capres lainnya yang berasal dari militer, yaitu Wiranto, Prabowo, dan Sutiyoso.

Kedua, semua capres, baik incumbent maupun bukan, punya peluang untuk mencari dukungan dari TNI dan Polri. Sebagaimana Pilpres 2004 lalu, capres selain incumbent, menggunakan dukungan logistik (transportasi) TNI dalam proses pencoblosan. Kalau mau, SBY yang notabene incumbent dan masih bagian dari keluarga besar TNI bisa menggunakannya tanpa harus mendedah isu “ABS” ke ranah publik.

Berdasarkan dua argumentasi tersebut, terlalu simplistis bila pelontaran isu “ABS” oleh SBY dianggap sebagai bentuk kepanikan, upaya politisasi, apalagi modus terzalimi. Sebagai incumbent SBY punya tanggungjawab yang lebih berat untuk tidak menjebak TNI dan Polri dalam jejaring politik praktis. Apalagi SBY termasuk di antara penggagas awal reformasi TNI.

Netralitas
Secara semantik, term ABS atau “asal bukan” merupakan kontrademokrasi. Ia mengandung penegasian sekaligus penafian kesempatan untuk berkompetisi dan berkontestasi. Dalam konteks demokrasi, isu ABS merupakan paradoks dan karenanya harus dicairkan melalui penguatan lembaga-lembaga negara, termasuk memperkuat netralitas dan profesionalitas dua lembaga strategis, yaitu TNI dan Polri. Inilah agenda klasik TNI dan Polri di alam demokrasi.

Seperti mencerabut pohon yang sudah berurat akar dalam tanah politik, menetralkan TNI dan Polri dari tanah politik tak semudah yang diidealkan. Dan ini merupakan fenomena umum dalam proses transisi. Godaan politik bagi institusi pertahanan dan keamanan tak sepenuhnya lekang. Namun dari beberapa transformasi struktural yang berlangsung di tubuh TNI dan Polri, terlihat adanya langkah-langkah ke arah profesionalitas tersebut. Tinggal apakah kecenderungan struktural tersebut bergayung sambut dengan dukungan sipil.

Cepat lambatnya proses pencerabutan akar politik TNI dan Polri tak lepas dari, meminjam Samuel P Huntington, kontrol sipil obyektif. Kontrol sipil ini tidak hanya terkait dengan kehendak kolektif masyarakat untuk mendukung dan mengawal profesionalitas tentara, tapi juga semakin lemahnya afiliasi pascakedinasan tentara dengan lembaga tentara itu sendiri. Sebagaimana diketahui, relasi pascakedinasan cenderung terawat karena kuatnya patronase senioritas. Inilah yang memicu kuatnya seniority complex di tubuh tentara pascakedinasan, tak terkecuali dalam kontestasi antar kandidat berlatarbelakang tentara.

Dalam konteks itu, pemunculan isu “ABS” oleh SBY yang notabene pascakedinasan bisa ditafsirkan sebagai upaya penguatan kontrol sipil obyektif tersebut. Secara personal, ikatan emosional SBY dengan TNI apalagi dengan posisinya sebagai panglima tertinggi saat ini, sangat kuat, sehingga lebih mudah untuk menempatkan TNI sesuai kepentingannya. Namun secara struktural, dan dalam sistem presidensial, justru SBY punya tanggungjawab konstitusional mempertaruhkan profesionalitas TNI yang sejak awal digagasnya sehingga tidak tercemar oleh politisasi segelintir perwira tinggi.

Namun demikian, agenda tersebut tak bisa diserahkan sepenuhnya pada Presiden. Kehendak internal (struktural dan kultural) tentara dan polisi sejatinya berjalin kelindan dengan arah politik partai dengan perwakilannya di legislatif. Lebih-lebih di tengah kecenderungan hegemoni legislatif atas eksekutif. Inilah pertaruhan partai politik menjelang pemilu saat ini. Apakah dengan segala kekuatannya, parpol mampu menahan nafsunya dan membiarkan TNI dan Polri bergulat dengan netralitas dan profesionalitasnya. Atau justru berusaha dengan segala cara menjebaknya demi kepentingan pragmatis partainya.

Kehendak kolektif
Demi demokrasi, merawat netralitas dan profesionalitas TNI-Polri adalah kemestian. Kepentingan politik menjelang kontestasi menjadi pertaruhan sekaligus godaan. Politisi, tentara, dan polisi bukan malaikat. Mereka zon politicon yang punya hasrat dan naluri politik yang akan muncul bila ada peluang.

Di sinilah kehendak kolektif menjadi penentu. Kehendak untuk konsisten pada fungsi masing-masing sebagai bentuk pengawalan atas agenda reformasi baik di ranah sipil maupul tentara. Kehendak kolektif untuk terus mendorong dan merawat profesionalitas TNI dan Polri akan memberi ruang obyektif yang kuat bagi ranah “bermain” para pemegang sah senjata itu.

Dalam konteks itulah, isu ABS sejatinya dipahami. Bukan mengeruhkannya melalui penafsiran-penafsiran politis dan simplistis yang justru bisa mengambangkan dan mengotori altar reformasi TNI dan Polri. Semoga.*

No comments: