Tuesday, June 13, 2006

Opini

Delegitimasi Elitisme Demokrasi
Media Indonesia
, Selasa 13 Juni 2006

A. Bakir Ihsan

Sewindu reformasi, demokrasi tak mati. Tapi eksistensinya belum banyak memberi arti. Demokrasi hanya menjadi konsumsi sekelompok petinggi negeri. Kebebasan dirayakan, dan setiap penghambat kebebasan dilecehkan. Bahkan negara pun “terancam” atas nama kebebasan. Setiap orang bisa melakukan apa saja sesuai dengan persepsi dan paradigma dalam memahami demokrasi. Inilah simulakra demokrasi yang menjadikan semua wacana seakan menjadi nyata dan benar adanya. Dan inilah yang menyebabkan demokrasi di negeri ini masih berada di bawah rata-rata demokrasi di dunia.

Dari serangkaian survei opini publik secara nasional sejak 1999-2006, nilai demokrasi Indonesia masih berada di angka rata-rata 72 persen dari angka rata-rata dunia yang berada di titik 84 persen. (Saiful Mujani, 2006). Persentase tersebut bersifat fluktuatif tergantung pada kinerja lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, DPR, maupun presiden. Semakin tinggi persepsi baik masyarakat terhadap demokrasi, maka demokrasi semakin terkonsolidasi. Sebaliknya semakin rendah persepsi baik tersebut, maka semakin runtuh nasib demokrasi.

Agar fluktuasi demokrasi tidak cenderung melemah, maka evaluasi terhadap kinerja lembaga-lembaga demokrasi menjadi sebuah kemestian. Paling tidak evaluasi tersebut dapat mengeliminir onak duri yang menyebabkan demokrasi terjebak dalam involusi.

Elitisme Demokrasi
Wacana reformasi dan demokrasi sampai saat ini masih sangat elitis. Sama elitisnya dengan wacana nasionalisme yang menguat dalam imajinasi tapi tak berakar dalam aksi. Hal ini terjadi karena masyarakat belum pernah merasakan langsung nikmatnya demokrasi. Demokrasi layaknya sebuah kue yang hanya dinikmati oleh elit politik baik yang masih aktif maupun para mantan pejabat yang masih menyisakan citra politisnya. Hal ini terjadi di samping karena tidak tersedianya basis kultural yang kuat, juga karena secara struktural lembaga-lembaga demokrasi masih bersifat semu. Konsekuensinya demokrasi hanya berjalan secara prosedural dan tidak menyentuh sisi substantif demokrasi itu sendiri.

Elitisme demokrasi juga terlihat dari otorisasi penafsiran demokrasi. Pemaknaan dan penafsiran demokrasi sepenuhnya menjadi otoritas sekelompok orang yang memasarkannya melalui pendekatan a top-down manner. Kenyataan ini tidak jauh berbeda dengan rezim Orde Baru ketika demokrasi ditafsirkan secara monolitik, sentralistik, dan paternalistik. Reformasi hanya menampilkan pergeseran otoritas penafsiran dari otoritas monolitik negara pada para elit.

Kenyataan ini bisa menjadi onak duri bagi demokrasi ketika rakyat hanya dijadikan ajang legitimasi oleh elit. Padahal demokrasi mengandaikan adanya transformasi otoritas dari elitis ke populis dari penguasa kepada rakyat. Namun yang terjadi, wacana politik dan carut marut perpolitikan kita masih berputar di lingkaran elit, sementara masyarakat tetap saja berkubang dalam derita politik dan ekonomi. Dalam kondisi demikian, tidak berlebihan apabila rakyat merasa muak dengan demokrasi dan menganggap rezim Soeharto sebagai paling baik di antara presiden lainnya (Lingkaran Survei Indonesia, April 2006).

Prosedur Demokrasi
Dalam transisi saat ini semua kemungkinan bisa terjadi. Namun satu hal yang tak bisa dimungkiri bahwa ada semangat untuk menata kehidupan bernegara menjadi lebih baik dari sebelumnya. Keinginan ini seharusnya diserahkan pada negara untuk mengelolanya. Karena ketika otoritas politik telah diserahkan pada negara melalui mekanisme demokrasi, maka negara memiliki hak untuk menata sesuai dengan konstitusi yang ada.

Masalahnya menjadi rumit ketika sebagian elit masyarakat merasa punya hak yang sama untuk menata negara, sehingga benturan wacana dan kepentingan bahkan mengarah pada pergerakan massa tak terelakkan. Dalam kondisi demikian seharusnya masing-masing pihak menyadari bahwa ada mekanisme dan prosedur demokrasi yang harus ditaati ketika kita semua betul-betul berkomitmen untuk menegakkannya.

Komitmen untuk menaati prosedur demokrasi inilah yang akan memperkuat tali kebersamaan. Bahwa ada kesepakatan untuk menegakkan demokrasi dengan cara memberi peluang pada pemerintah mengaktualisasikan planning dan program kerjanya. Agar dalam proses aktualisasi tersebut tidak terjadi deviasi, maka keberadaan lembaga kontrol, seperti DPR, sangat vital. Kontrol ini tidak hanya terkait dengan kebijakan yang akan dijalankan oleh pemerintah, namun termasuk evaluasi terhadap kinerja pemerintah. Dan lembaga kontrol ini sesungguhnya memiliki power yang cukup kuat dengan otoritas impeachmen terhadap presiden apabila dianggap melanggar konstitusi.

Namun yang terjadi saat ini adalah semangat kontrol politik terhadap kekuasaan lebih besar daripada kontrol obyektif atau paling tidak kontrol yang seimbang antara keberhasilan dengan kegagalan. Sehingga masyarakat dipaksa terlibat dalam pertarungan politik kekuasaan yang absurd, bukan pada pemberdayaan untuk memenuhi kebutuhan praktis masyarakat.
Tampaknya kaum elit tak sabar untuk mengikuti prosedur-prosedur demokrasi. Mereka ingin tampil layaknya lembaga kontrol yang memaksa negara memenuhi keinginannya secara instan. Kenyataan ini bisa terjadi karena beberapa faktor. Pertama, lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga DPR sebagai kontrol kekuasaan. Ketika masyarakat, termasuk para elitnya, lebih suka melakukan kontrol langsung terhadap pemerintah bisa jadi lembaga kontrol yang ada sudah tidak berfungsi.

Kedua, taktik politis. Kontrol langsung terhadap pemerintah tentu memiliki dampak politis lebih eksesif dibandingkan melalui mekanisme prosedural yang cenderung bertele-tele dan lambat. Inilah sebabnya Amien Rais Cs, misalnya lebih suka menohok langsung kekuasaan SBY-JK daripada menyerahkan masukan-masukannya langsung pada pemerintah atau kepada lembaga DPR.

Ketiga, kepentingan politis. Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa langkah-langkah elit politik dalam mengontrol pemerintah sarat dengan kepentingan dan kalkulasi politik. Paling tidak secara tidak langsung mereka menempatkan dirinya sebagai orang yang merasa memiliki status, pengaruh, dan massa untuk melakukan bargaining dengan pemerintah.

Delegitimasi Demokrasi Elit
Melihat fenomena sepak terjang politik para elit berhadapan dengan pemerintah memunculkan satu asumsi bahwa standar demokrasi ditentukan oleh sejauhmana kekuasaan mengakomodir aspirasi segelintir elit tersebut. Baik tidaknya pengelolaan kehidupan tata kenegaraan seakan ditentukan oleh masukan yang diberikan sekelompok elit. Bahkan sebagian elit tersebut seakan menjadi kekuatan paling absah untuk mengevaluasi kinerja SBY.

Ini tentu merupakan distorsi terhadap demokrasi yang meletakkan seluruh masyarakat sebagai realitas yang harus dihargai. Paradigma elit ini pula yang menyebabkan munculnya kategorisasi-kategorisasi sempit dan distortif tentang tokoh reformis. Mereka yang bersuara vokal dan kritis terhadap kebijakan pemerintah identik dengan reformis, sementara mereka yang berdarah-darah bahkan berkalang tanah, seperti para mahasiswa dan masyarakat luas, hanya dianggap pendukung yang sering tak tersisa dalam kenangan. Sungguh kategorisasi yang distortif dan penuh kesombongan.

Dalam kondisi transisional saat ini yang diperlukan adalah bagaimana mengawal reformasi agar tidak menjadi media pertarungan segelintir elit yang kemungkinan distortifnya sangat terbuka lebar. Rakyat hanya dijadikan tameng atas nama demokrasi, sementara rakyat sendiri merasa terasing dengan demokrasi yang mereka perjuangkan.

SBY dan para elit politik adalah aset penting bagi negeri ini. Namun mereka bukan malaikat tanpa cacat. Negara ini tidak membutuhkan malaikat yang suci tapi tidak berani berimprovisasi, juga tidak membutuhkan setan yang selalu berusaha menjerumuskan. Negara ini membutuhkan manusia yang kepeduliannya pada bangsa lebih dikedepankan daripada memproduksi wacana-wacana yang membuat gundah kelana masyarakat yang sedang dilanda beragam bencana.

Negara ini membutuhkan orang-orang yang mau bekerjasama untuk kepentingan bersama. Negara ini bukan milik siapa-siapa, tapi milik semua untuk kepentingan semua dan yang menentukan adalah kita semua. Dan kita semua telah sepakat untuk membangun negeri ini dalam koridor demokrasi dengan segala perangkat mekanisme dan prosedurnya. Ini penting ditekankan agar demokrasi yang kita bangun tidak menjadi demokrasi yang menghamba pada tuan-tuan yang sarat dengan kepentingan politiknya masing-masing.*

No comments: