Monday, June 12, 2006

Opini

Harga Ideologi di Tengah Pasar Globalisasi
Bisnis Indonesia, Sabtu 10 Juni 2006

A. Bakir Ihsan

Wacana tentang ideologi mencuat kembali seiring dengan arus globalisasi yang dianggap mengancam terhadap eksistensi nation-state. Di tanah air, nasib ideologi Pancasila mengalami pasang surut. Ia sempat disakralkan, tapi kemudian dicampakkan. Karena itu pula, Pancasila tak membumi bagi kehidupan bangsa. Sakralisasi telah menyebabkan Pancasila seperti benda museum yang berjarak dari generasi anak bangsa. Akibat itu pula Pancasila tidak berharga dan dianggap barang langka yang tak menarik untuk diaktualisasikan. Ini terbukti dari semakin sulitnya mencari generasi muda yang, paling tidak, tahu lima sila Pancasila. Beberapa televisi pernah menayangkan wawancara mendadak dengan sejumlah generasi mudah dari kalangan siswa sampai mahasiswa. Sebagian besar mereka tak bisa menyebutkan isi Pancasila. Ini menjadi indikator sederhana dari semakin terasingnya Pancasila dari nafas kehidupan anak bangsa.

Pada peringatan hari lahir Pancasila semua orang tersentak untuk merejuvenasi Pancasila. Semua, terutama elit politik, merasa paling prihatian terhadap nasib Pancasila tanpa menyadari bahwa dirinya telah menjadi bagian dari penyebab “matinya” Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila hanya dijadikan payung penyelamat untuk kepentingan politik kaum elit. Pancasila seperti agama. Ia dikhutbahkan di mimbar-mimbar politik citra sebagai benteng atas ancaman terhadap diri dan kelompokya untuk kemudian mencari simpati agar diklaim sebagai sosok Pancasilais.

Kenyataan ini semakin menjauhkan Pancasila dari generasi muda di tengah globalisasi yang tak henti-hentinya menghampiri. Dan tidak berlebihan apabila seorang intelektual seperti Daniel Bell mengumandangkan ikrar “the end of ideology”.

“Memasarkan” Pancasila
Dalam pidato memperingati hari lahir Pancasila, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengajak untuk berhenti memperdebatkan tentang Pancasila sebagai dasar negara. Kini saatnya menjadikan Pancasila sebagai rujukan, sumber inspirasi, dan jendela solusi untuk menjawab segala tantangan.

Pernyataan SBY tersebut merupakan langkah awal bagi upaya menghidupkan kembali Pancasila setelah sekian lama dikebumikan. Bahkan keberanian SBY untuk menjadikan Pancasila sebagai living ideology merupakan fenomena yang cukup unik di tengah hampir seluruh anak bangsa teralienasi dari Pancasila dan sebagian elit merasa sungkan untuk “memasarkan” Pancasila.

Sejak Presiden BJ Habibie membuka kran ideologi selain Pancasila sebagai asas organisasi, eksistensi Pancasila semakin terperosok. Bahkan di tengah hujatan terhadap segala atribut Orde Baru, Pancasila betul-betul berada di titik nadir. Hal ini terlihat dari TAP MPR RI nomor 18/MPR/1998 yang mencabut TAP MPR nomor 2/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Setelah itu, Pancasila ramai-ramai dikubur dan para penggagas reformasi merasa berdosa untuk menyebutkannya. Pancasila ditahbiskan sebagai monumen anti reformasi. Ini pula yang memperpanjang listing kegagalan para pemimpin di negeri ini untuk menjadikan Pancasila sebagai landasan kebangsaan yang marketable bagi rakyatnya.

Kenyataan ini secara tidak langsung menjadi ancaman bagi upaya revitalisasi dan rejuvenasi
Pancasila sebagai way of life. Di samping itu, tantangan lain dari revitalisasi dan rejuvenasi ideologi adalah terbukanya tawaran ideologi luar yang menyatu dalam arus globalisasi. Di tengah open market democracy tawaran ideologi semakin terbuka dan semuanya menjanjikan kesejahteraan. Di sinilah Pancasila dipertaruhkan. Kalau secara historis bangsa Indonesia tidak pernah merasakan kesejahteraan dan kedamaian di bawah naungan ideologi Pancasila, maka secara logika, ia tidak akan menarik bagi kalangan generasi bangsa. Bahkan dalam bentuk yang ekstrem bisa muncul kesadaran bahwa negara tanpa ideologi pun tetap eksis.

Dalam kondisi demikian, yang dibutuhkan bukan proses doktrinasi apalagi ideologisasi Pancasila. Pancasila harus dijadikan medium paling mudah untuk merekat kebersamaan yang akhir-akhir mulai retak. Layaknya makanan cepat saji, Pancasila harus diturunkan menjadi tata cara hidup yang mudah (cepat) dipahami dan enak (corfortable) dilaksanakan. Dan hal ini bisa dilakukan melalui keteladanan para pemimpin dalam mengelola negeri ini secara bermartabat. Langkah ini memang tidak mudah, karena para pemimpin negeri ini belum mampu mewariskan Pancasila sebagai way of life. Mereka berhenti pada proses ideologisasi, sakralisasi, dan berakhir dengan politisasi.

Globalisasi dan Politik Endism
Arus globalisasi dengan segala muatannya sebenarnya merupakan proses ideologisasi baru. Hal ini biasanya diiringi dengan politik endism. Yaitu sebuah tesis tentang matinya ideologi-ideologi besar dunia akibat gerusan kapitalisme yang tak tertandingi. Negara maju dengan kapitalismenya menyusup melalui stigma endism. Kenyataan inilah yang dipromosikan oleh para pemikir endist yang tertuang dalam pelbagai karyanya, seperti the end of ideology (Daniel Bell) dan the end of history (Francis Fukuyama), the end of the nation state (Kenichi Ohmae atau Jean-Marie Guehenno), dan lainnya.

Dengan kata lain, ideologisasi globalisasi merupakan bentuk paling nyata dari upaya pengakhiran ideologi-ideologi lainnya, termasuk Pancasila (the end of the Pancasila?) sehingga memperlancar hegemoni negara maju. Dan tidak tertutup kemungkinan Pancasila pada akhirnya mati di tengah globalisasi akibat ketakberdayaan anak bangsa merespon berbagai godaan global.

Di tengah pasar ideologi yang semakin terbuka saat ini, eksistensi Pancasila sangat rentan terjangkit penyakin endism. Untuk itu, perlu langkah-langkah strategis dan konstruktif dengan memanfaatkan seluruh potensi dan peluang (opportunity) yang ada dalam masyarakat. Salah satu peluang tersebut adalah adanya potensi-potensi “perlawanan” terhadap arus globalisasi yang belakangan marak terjadi khususnya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Fenomena ini biasanya diiringi oleh keinginan untuk menumbuhkan kembali budaya lokal (local wisdom) khas Indonesia yang plural dan toleran. Inilah modal penting dan cukup strategis bagi pembumian nalai-nilai Pancasila dalam kehidupan warga negara tanpa doktrinasi yang sering berbuah alienasi.

Peluang tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan cara mengembalikan Pancasila sebagai wacana publik yang toleran dan aktual, diiringi kebijakan dan prilaku politik yang inklusif dan artikulatif. Semoga.

No comments: