Friday, June 30, 2006

Opini

Menimbang paradigma ekonomi-politik SBY
Bisnis Indonesia, Jum’at 30 Juni 2006

A. Bakir Ihsan

Beberapa hari di Batam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengambil langkah-langkah penting baik secara ekonomi maupun politik. Batam yang sejak awal dicitakan sebagai kota satelit ekonomi Indonesia, tampaknya mendapat perhatian serius dari SBY setelah sekian lama terkubur dalam angan-angan.

Beberapa kegiatan ekonomi yang dilakukan SBY adalah peresmian beberapa pabrik dan pangkalan logistik lepas pantai, fasilitas konstruksi penunjang operasi minyak dan gas bumi. Sebelumnya SBY juga menerima PM Singapura Lee Hsien Loong yang dilanjutkan dengan penandatanganan MoU tentang ditetapkannya Special Economic Zone atau Kawasan Ekonomi Khusus untuk tiga pulau, yaitu Batam, Bintan, dan Karimun.

Sementara secara politik langkah penting yang diambil SBY di Batam adalah menerima kunjungan PM Australia John Howard yang membahas tentang hubungan kedua negara. Dari sana diperoleh ketegasan dari Howard bahwa Australia sama sekali tidak mentolerir terhadap gerakan separatisme di Indonesia, termasuk gerakan Papua Merdeka. Menurut dia, Papua akan lebih baik masa depannya sebagai bagian dari NKRI. Bahkan Howard berjanji pemberian visa terhadap warga Papua tidak akan terulang lagi.

Terlepas dari tafsir politik atas langkah SBY di atas, ada hal yang menarik dianalisa dari pernyataan SBY di Batam. Dalam salah satu sambutannya SBY melontarkan konsep triple track strategies, yaitu tiga langkah strategis dalam pengembangan ekonomi Indonesia. Pertama, pertumbuhan (growth) yang dimotori oleh investasi dan ekspor. Pertumbuhan ini diyakini dapat memasok devisa negara yang tinggi sehingga dapat memperlancar pelaksanaan pembangunan.

Kedua, menggerakkan sektor riil di seluruh Indonesia yang meliputi pertanian dan jasa. Sektor riil ini, menurut SBY, harus bergerak di seluruh level ekonomi. Ia tidak hanya fokus di area ekonomi khusus. Dengan bergeraknya sektor riil ini, maka lapangan kerja akan tercipta dan pengangguran akan terkurangi.

Ketiga, peningkatan pembangunan pertanian dan pedesaan. Langkah ini, menurut SBY, penting dilakukan karena 68% orang miskin di Indonesia hidup di sektor pertanian dan pedesaan. Oleh karena itu pemerintah juga mengembangkan pembangunan pertanian dan pedesaan, baik melalui anggaran yang ada maupun bekerjasama dengan pihak swasta.

Konsep ekonomi politik SBY tersebut sesungguhnya tidaklah baru. Bahkan secara konseptual hal tersebut menjadi paradigma pembangunan yang digembar-gemborkan oleh pengagum modernisasi dengan segala konsekuensinya. Konsep ini menjadi menarik karena dilontarkan oleh seorang SBY yang bertanggungjawab atas laju ekonomi politik di tengah transisi saat ini.

Logika pertama
Dari konsep triple track strategies yang dilontarkan SBY terlihat jelas bahwa pertumbuhan menjadi logika pertama bagi lahirnya kematangan ekonomi politik masyarakat. Secara konseptual, teori pertumbuhan yang merujuk pada Teori Rostow tersebut telah berhasil mengantarkan pertumbuhan ekonomi beberapa negara. Namun pertumbuhan tersebut seringkali berhenti pada pertumbuhan itu sendiri. Ia gagal mengikuti tahapan-tahapan pertumbuhan ekonomi berikutnya (the stages of economic growth) yang justru berperan penting bagi kemajuan bangsa.

Pertumbuhan ekonomi seringkali memberi efek terbatas bagi masyarakat. Dari sejarah Orde Baru terlihat jelas bahwa pertumbuhan ekonomi yang dicapai negara hanya berdampak pada segelintir orang. Kekayaan negara hanya mengalir di sekitar kekuasaan. Kue besar pembangunan yang dicapai oleh penguasa hanya dinikmati oleh kroni-kroni kekuasaan, sementara masyarakat kebanyakan tetap berada dalam kemiskinan. Di sinilah kesenjangan sebagai dampak dari paradigma pertumbuhan an sich hadir. Dalam jangka panjang hal tersebut dapat memantik konflik dan tindak kekerasan di dalam masyarakat.

Kondisi politik yang demokratis saat ini sebenarnya dapat menjadi modal bagi pengembangan ekonomi. Kontrol yang kuat terhadap kekuasaan dapat meminimalisasi kecenderungan deviasi pertumbuhan sebagaimana terjadi pada masa lalu. Namun di sisi lain, demokrasi menawarkan kebebasan yang sering 'mengancam' investasi karena lemahnya penegakan aturan main. Di sinilah paradigma ekonomi politik SBY diuji. Mampukah SBY menjalin relasi ekonomi politik dengan kerangka demokrasi yang mengedepankan kebebasan, kesetaraan, dan keadilan?

Kebebasan dapat menumbuhkan kreasi dan inovasi di bidang ekonomi, sementara kesetaraan dapat menguatkan kesamaan rasa sebagai sebuah bangsa, dan keadilan menjadi simbol pemerataan dan penegakan hukum. Namun semua ini belum sepenuhnya teraktualisasi.

Ranah prosedural
Kita masih berada di wilayah abu-abu. Basis budaya demokrasi dan fundamental ekonomi kita masih berada pada ranah prosedural dan konseptual yang teraktualisasi dalam bentuk platform yang baku dan jelas. Namun karena hal tersebut tidak ditunjang oleh basis kultural yang bagus dan kuat, konsepsi yang bagus tersebut sering terdistorsi dalam proses aplikasinya.

Begitu juga paradigma ekonomi politik yang ditawarkan SBY dengan strateginya yang sangat ideal yaitu strategi pro poor, pro growth, dan pro job melalui pengurangan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja sangatlah ideal. Namun stategi ini harus berhadapan dengan kenyataan budaya ekonomi-politik yang masih lemah. Masih kuatnya birokratisasi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi merupakan salah satu kendala paling nyata bagi proses perwujudan paradigma dan strategi tersebut.

Untuk itu diperlukan pendekatan komprehensif dalam pengembangan ekonomi politik yang tercermin dalam apa yang oleh Wolfgang Hein disebut sebagai integrated political approach. Perlu prioritas pembangunan dengan titik tolak pada pengentasan kemiskinan dengan tetap memperhatikan pemerataan di seluruh level kehidupan baik di pedesaan maupun di perkotaan.

Sebagai penunjang kerangka besar tersebut, diperlukan kepastian hukum, rasa aman, dan pelayanan yang baik, cepat, mudah, dan murah. Inilah pijakan yang akan menentukan aktualisasi paradigma ekonomi politik SBY. Tanpa pijakan yang kuat, maka paradigma tersebut hanya menjadi bumbu-bumbu yang tak pernah menyedapkan rasa anak bangsa.*

No comments: