Thursday, April 19, 2007

Opini

Lingkaran Setan Kekerasan
Media Indonesia, Kamis, 19 April 2007

A. Bakir Ihsan

Kekerasan di negeri ini tak pernah berujung. Terbunuhnya praja Cliff Muntu hanya puncak gunung es dari lautan kekerasan yang terjadi di wilayah publik. Siapapun patut miris melihat kenyataan tersebut. Itulah potret kita hari ini. Kekerasan menjadi fenomena eksesif yang berlangsung di hampir semua ranah kehidupan. Dari kaum elit sampai rakyat tak sepi dari kekerasan. Wajar apabila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merasa perlu turun langsung dalam penyelesaian kasus kekerasan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.

Selain mengeluarkan enam instruksi penyelesaian kekerasan di lembaga pendidikan kedinasan tersebut, Presiden juga membentuk tim evaluasi IPDN. Sejauhmana langkah Presiden tersebut efektif bagi tumbuhnya budaya otak dan mengeliminasi budaya otot. Pertanyaan ini penting diajukan di tengah kekerasan menjadi atmosfir yang mengungkung kesadaran anak bangsa.

Langkah struktural
Secara umum enam langkah penyelesaian yang diintrodusir Presiden bersifat struktural. Evaluasi, investigasi, pembekuan, dan perombakan merupakan langkah konstruktif atas konstruk kekerasan struktural. Langkah struktural ini biasanya didasari oleh asumsi bahwa problem kekerasan bisa diselesaikan melalui perombakan sistem (struktural).

Langkah struktural ini bisa diprediksi baik skala perumusan maupun implementasi penyelesaiannya. Hal ini dimungkinkan karena realitas struktural bersifat empirik dan bisa dikuantivikasi dan dikalkulasi secara matematis. Evaluasi, investigasi, pembekuan, dan perombakan dapat ditentukan waktunya; kapan dimulai dan kapan harus diakhiri. Namun sejauhmana efektivitas langkah tersebut, di sinilah pentingnya sintesa penyelesaian.

Tentu terlalu dini untuk melihat efektivitas langkah penyelesaian kekerasan tersebut, khususnya bagi penyelesaian kekerasan di IPDN. Namun kita bisa mengomparasikan langkah-langkah struktural yang selama ini diterapkan SBY sebagai terapi atas problem yang dihadapi negara. Kasus yang paling menonjol adalah pemberantasan korupsi.

Sejak awal terpilih, SBY sudah menyatakan perang melawan korupsi. Komitmen ini diimplementasikan melalui upaya-upaya struktural. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor), dan lembaga terkait lainnya dipacu membongkar penyimpangan keuangan negara. Mulai penyelidikan, penyidikan sampai penjeblosan para koruptor ke dalam penjara dilakukan. Namun mengapa korupsi tak juga usang. Langkah pemberantasan korupsi dengan menjerat para pelakunya berjalin berkelindan dengan tindak korupsi baru. Korupsi layaknya virus yang bisa mengevolusikan (menyesuaikan) dirinya melawan beragam jeratan hukum dengan berbagai cara. Mulai manuver legal seperti judicial review atas UU KPK sampai “taktik sakit” untuk memperlambat proses pemeriksaan.

Langkah-langkah struktural SBY dalam pemberantasan korupsi berdiri sejajar dengan indeks korupsi. Otonomi daerah yang sejatinya bisa memutus mata rantai korupsi yang sentralistik, ternyata melahirkan korupsi baru di tingkat lokal. Wajar apabila kuantitas korupsi di Indonesia berjalan seirama dengan pemberantasan korupsi itu sendiri.

Belajar dari pengalaman pemberantasan korupsi di atas, terlihat jelas bahwa langkah struktural belum cukup efektif bagi penyelesaian tindakan menyimpang (korupsi). Oleh sebab itu, diperlukan langkah holistik untuk mempersempit gerak aktualisasi tindakan menyimpang, seperti korupsi dan kekerasan. Di sinilah perlunya transformasi kultural sebagai bagian tak terpisahkan dari rekonstruksi sistem yang telah ikut memapankan kekerasan.

Transformsi kultural
Langkah transformasi kultural tidak sekadar perubahan kurikulum sebagai landasan nilai dalam pendidikan. Namun lebih dari itu. Diperlukan keteladanan yang tercermin dari sikap dan perilaku seluruh anak bangsa, khususnya para elit yang sejatinya menjadi rujukan nilai. Terjadinya kekerasan di IPDN dan di ranah publik lainnya bukan hanya kegagalan struktural (lembaga) tersebut, tapi kegagalan sebuah sistem pendidikan nasional. Lebih luas lagi adalah kegagalan aparatus yang lebih sibuk memikirkan diri, kelompok, golongan, organisasi, maupun partai. Mereka gagal meletakkan dirinya sebagai senyawa dari seluruh sistem yang ada di republik ini.

Reaksi dengan cara mengutuk dan menumpahkan segala kesalahan pada IPDN atas terjadinya kekerasan semata membuktikan politik “lepas tangan”. IPDN diletakkan sebagai lembaga yang lahir dengan cacat bawaan. Ia seperti anak haram yang kehadirannya hanya membawa petaka. Oleh sebab itu, muncul tuntutan pembubaran. Tuntutan pembubaran IPDN sesungguhnya tak kalah kejamnya dengan kekerasan itu sendiri.

Logika pembubaran merupakan cermin dari ketidakmampuan. Pembubaran bukanlah solusi. Ia pelarian (jalan pintas) dari ketidakpedulian dan ketidakmampuan menata realitas yang ada. Padahal di dalamnya generasi bangsa mempertaruhkan masa depannya. IPDN seakan berdiri sendiri dan menanggung sendiri akibatnya. 17 praja yang mati tak wajar (versi Inu Kencana) layaknya tsunami yang menggerus ratusan generasi muda yang masih punya asa. Paradigma ini mengubur holistika kenegaraan sebagai sebuah sistem yang saling terkait.

Dalam konteks holistika kenegaraan, maka kekerasan IPDN merupakan kegagalan sebuah sistem pendidikan di sebuah negara bernama Indonesia. Kekerasan yang terjadi merupakan ekspresi dari atmosfir yang mendorong terjadinya kekerasan. Inilah yang oleh Johan Galtung disebut sebagai “lingkaran setan kekerasan” (vicious cycle of violence).

Oleh sebab itu, penyelesaiannya tidak bisa bersifat segmented. Pembubaran adalah jalan paling mudah dengan ongkos yang sangat mahal. Nilai historis dan misi suci yang diemban lembaga ini terbangun dari rangkaian sejarah yang tak mungkin diulang. Dengan segala kekurangannya, lembaga ini sedikit banyak memberi andil dan asa bagi generasi yang bertaruh menjadi pamong praja. Oleh sebab itu, lembaga ini tidak harus dikubur, hanya karena puluhan “tikus” di dalamnya.

Kalau cara (pembubaran) ini dipakai, berapa banyak lembaga harus dikubur karena problem pada aspek-aspek implementatif-prosedural. Termasuk DPR yang tidak lagi menjadi representasi kepentingan rakyat. Apakah DPR harus dibubarkan karena beberapa anggotanya berbuat mesum, melakukan korupsi, menerima dana non-budgeter departemen, dan lebih suka studi banding ke luar negeri?

Di sinilah proses rekonstruksi nilai (kultural) diperlukan. Nilai yang mengikat rasa tanggungjawab bersama atas nasib anak bangsa. Sulit dimungkiri bahwa nilai yang tersebar di negeri ini belum sepenuhnya menjadi atmosfir yang bisa meminimalisasi kekerasan. Bahkan bisa jadi sebaliknya. Kekerasan menjadi nafas akibat keterdesakan dan hilangnya kepedulian.

Hancurnya kepedulian pada sesama menjadi pemantik ketidakpedulian (kekerasan) para senior terhadap yuniornya, bawahan terhadap atasannya, bahkan orangtua terhadap anaknya. Belum hilang dari ingatan kita, polisi membunuh atasannya dan prahara seorang ibu yang membunuh empat orang anaknya karena himpitan derita dan kehabisan asa.

Di tengah para politisi (elit) bersilat lidah untuk kekuasaan, rakyat sampai pada titik keputusasaan akibat kehilangan daya untuk percaya pada para wakilnya dan elit yang harus mengayominya. Inilah atmosfir nilai yang tersebar di antara kesadaran anak bangsa. Dan tidak usah heran, apabila fenomena kekerasan di IPDN akan terjadi di ranah publik yang lain secara liar. Di sinilah komprehensivitas dan holistika sebuah penyelesaian kekerasan diperlukan, termasuk kekerasan di IPDN. Rekonstruksi struktural melalui kebijakan harus diiringi transformasi kultural melalui keteladanan. Kalau tidak, kekerasan itu akan terus berputar menjadi lingkaran setan yang mengintai setiap hela nafas anak bangsa.*

No comments: