Wednesday, April 04, 2007

Opini

Political will SBY dan 'akal fulus' DPR
Bisnis Indonesia
, Rabu, 4 April 2007

A. Bakir Ihsan

Baru-baru ini anggota DPR RI dihebohkan oleh rencana pengadaan laptop seharga Rp21 juta. Namun setelah mendapat banyak reaksi, akhirnya rencana tersebut dibatalkan.

Tak berapa lama setelah itu, giliran anggota DPRD di beberapa daerah (seperti Yogyakarta dan Padang) yang minta jatah laptop. Mereka tak rikuh menerima bantuan laptop, walaupun tidak semuanya bisa menggunakannya. Lalu kinerja macam apa yang bisa diharapkan dari alat yang 'asing' tersebut?

Problem utama dari fakta politik di atas bukan pada kehendak untuk menerima atau menolak laptop, namun pada sense of morality. Secara naluriah, setiap orang mau menerima pemberian, hadiah, dan fasilitas gratis lainnya.

Namun pertimbangan moral menyebabkan tidak semua orang bisa menerima sebuah pemberian. Terbukti anggota DPR RI akhirnya menolak fasilitas laptop setelah mendapat reaksi dari berbagai pihak.

Sejatinya mereka berhak dan berhasrat atas fasilitas itu. Bahkan Ketua DPR Agung Laksono meminta proyek laptop tetap diteruskan dengan alasan sudah disetujui oleh rapat paripurna DPR.

Pada dasarnya perilaku anggota dewan baik DPR maupun DPRD tidak jauh beda dalam urusan uang (fulus). Mereka selalu berusaha untuk mendapatkan fasilitas dari negara melalui klaim-klaim yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Kenaikan tunjangan dan fasilitas lainnya merupakan bukti dari kecenderungan 'akal fulus' tersebut. Karena itu, kita tak perlu terkejut kalau nanti ada lagi rencana penyediaan fasilitas yang diambil dari uang negara atas nama peningkatan kinerja.

Kasus laptop dan fasilitas lainnya bukan persoalan penggunaan uang negara semata, namun di sini terlihat adanya disorientasi anggota dewan sebagai pengemban amanat penderitaan rakyat.

Konsekuensinya, jarang anggota dewan berkehendak menggunakan fasilitas yang didapatkan dari negara untuk kepentingan rakyat. Dalam kasus laptop, misalnya, walaupun anggota DPR sepakat menolaknya, namun uang peruntukan laptop tersebut dialokasikan untuk keperluan DPR yang sebelumnya tidak dianggarkan.

Ini membuktikan bahwa dalam urusan anggaran, DPR tak pernah berpikir untuk rakyat. Negara menjadi lumbung fasilitas untuk kepentingan diri anggota dewan.

Hemat Rp100 miliar
Di tengah kondisi anggaran negara yang minim, sejatinya uang yang tidak dipakai sesuai rencana semula dikembalikan ke kas negara. Mungkin dalam hal ini, anggota dewan bisa berkaca pada Presiden SBY yang dalam dua tahun kepemimpinannya berhasil berhemat Rp100 miliar dan dikembalikan ke kas negara.

Orientasi dan perilaku politik untuk rakyat tampaknya menjadi barang langka. Jangankan hasrat mengembalikan, justru mereka mencari celah memaksimalkan anggarannya dengan menguras uang negara. Dan bukan rahasia lagi bahwa di lembaga legislatif ada istilah komisi basah dan kering sebagai indikasi kuantitas uang yang mengalir untuk kepentingan rapat komisi.

Kasus terakhir adalah perebutan komisi basah di DPRD Lampung. Masing-masing fraksi berebut komisi yang terkait dengan perekonomian & keuangan (Komisi B) dan pembangunan (Komisi C). Sementara komisi yang menangani bidang pemerintahan (Komisi A) dan kesejahteraan (Komisi D) seperti keranjang sampah.

Realitas ini merupakan puncak gunung es dari money oriented yang terjadi di lembaga wakil rakyat. Ironis memang, komisi yang membidangi masalah kesejahteraan justru tidak menarik minat anggota dewan, padahal di situlah rakyat bertaruh.

'Akal fulus' ini bukan hanya milik legislatif. Di eksekutif bahkan di lembaga yudikatif, masalah uang mengalir deras. Munculnya koruptor dari lembaga negara tersebut membuktikan bahwa moralitas dan kepeduliannya pada rakyat tersubordinasi di bawah kepentingannya pada uang.

Rakyat dibiarkan bergulat memeras keringat tanpa tahu hasil yang akan didapatnya. Negara yang seharusnya mengayomi dan memberi jalan bagi nafas rakyat justru membuatnya sesak. Inilah paradoks rakyat di tengah demokrasi dirayakan. Kalau dalam rezim otoriter, rakyat tertindas dalam semua aspek kehidupannya, termasuk kesadarannya, adalah hal yang wajar. Namun bila rakyat teralienasi di tengah demokrasi dipentaskan, maka apa beda demokrasi dengan otoritarian.

Di sinilah peran negara dibutuhkan agar demokrasi tidak hanya mengalir dari saku dan otak kaum elite. Rakyat yang hanya bermodal kepercayaan dan kedaulatan tidak punya energi untuk melawan oligarki politik, kecuali didukung kehendak negara berupa political will.

Untuk memperpendek ruang gerak oligarkisme kaum elite khususnya dalam penggunaan uang negara, dibutuhkan kebijakan khusus yang bisa merangsang keinginan untuk berhemat. Langkah ini memang tidak mudah, karena akan mendapat perlawanan dari mereka yang telanjur merasakan fasilitas uang negara. Hal ini sama dengan kebijakan pemberantasan korupsi yang mendapat resistensi dan perlawanan dengan berba-gai cara.

Namun berbeda dengan kebijakan pemberantasan korupsi, kebijakan berhemat ini merupakan langkah preventif agar beban uang negara terkurangi. Paling tidak langkah ini dapat memberi kesempatan yang lebih luas pada negara untuk memaksimalkan dananya bagi pemberdayaan ekonomi rakyat.

Kecerdasan nurani
Secara logika, anggaran yang sudah disahkan oleh negara harus dipergunakan semaksimal mungkin sesuai peruntukannya. Inilah alasan anggota dewan yang mengalihkan dana laptop untuk kepentingan lainnya dengan alasan dana tersebut sudah dianggarkan.

Cara pandang ini secara logika prosedural (linear) tidak bermasalah. Namun secara moral bisa sangat bias dan distorsif apalagi kalau dikaitkan dengan fungsi anggota dewan sebagai wakil rakyat. Apabila logika linear ini dibiarkan menguasai kesadaran, maka rakyat akan selalu menjadi korban di tengah disorientasi kerakyatan yang melanda para wakil rakyat.

Agar hal tersebut tidak terus berkembang diperlukan pengembangan logika (kecerdasan) nurani. Sebuah kecerdasan yang digerakkan oleh rasa kemanusiaan (sosial) yang multidimensional. Ia bersifat fleksibel dan memandang realitas secara inklusif dan fenomenologis. Kecerdasan nurani akan memandu seseorang untuk menemukan skala prioritas dalam melakukan aktivitasnya, tanpa terkungkung oleh alur prosedural yang kaku.

No comments: