Friday, April 20, 2007

Opini

Presiden dan Kegaduhan Reshuffle
Koran Tempo,
Jum’at, 20 April 2007

A. Bakir Ihsan

Negeri ini memang gaduh. Para elit, birokrat, aparat sampai rakyat terombang-ambing dalam kegaduhan. Anggota dewan adu emosi bukan argumentasi, polisi “main” senjata bahkan terhadap atasannya, praja senior membunuh yuniornya dan para elit gaduh atas resolusi 1747 Dewan Keamanan PBB atas Iran. Di tengah kegaduhan itu, para wakil rakyat menggunakan masa resesnya dengan melancong ke luar negeri atas nama studi banding yang tak pernah jelas pertanggungjawabannya.

Semua ini merupakan potret bahwa secara sosial, ekonomi, politik dan budaya, negeri ini belum sampai pada titik equilibrium. Transisi yang berlangsung saat ini menjadi lahan subur kegaduhan tanpa tahu sampai kapan kegaduhan itu berakhir. Namun apakah kegaduhan ini akan terus dibiarkan sebagai legitimasi atas transisi tanpa arah yang pasti?

Pertanyaan ini penting karena kegaduhan sering membuat terbengkalainya substansi agenda negara bangsa. Kegaduhan adalah riak-riak di permukaan yang belum tentu merefleksikan apa yang ada didasarnya. Kegaduhan pada tingkat elit tak selalu berjalin berkelindan dengan keresahan rakyat. Justru kegaduhan hanya sasaran tembak terhadap elit yang lain. Wajar apabila kegaduhan di Senayan menyebabkan kegaduhan pula di Istana.

Paling tidak itulah yang dirasakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam rapat koordinasi terbatas di Kantor Kementerian Koperasi dan UKM beberapa waktu lalu, Presiden SBY minta agar masyarakat luas tidak perlu gaduh. Konteks pernyataan SBY tersebut terkait desakan reshuffle kabinet yang disuarakan anggota dewan dan parpol. Kini, gaung reshuffle kembali menggema seiring kekecewaan masyarakat atas sikap pemerintah yang mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB dalam masalah nuklir Iran.

Pernyataan presiden tentang reshuffle yang gaduh ini memiliki banyak makna. Pertama, Presiden merasa terganggu dengan isu-isu reshuffle yang disuarakan khususnya oleh para politisi di Senayan. Kedua, isu reshuffle ini mengancam ranah hak prerogatif presiden dalam hal “merancang bangun” para pembantunya. Ketiga, presiden lebih senang bekerja dalam suasana yang tenang dan terbebas dari intervensi eksternal.

Apapun maknanya, kegaduhan bagi Presiden SBY tidak sekadar ramai dan berisik, tapi sampai pada tahap menganggu. Bahkan, menurutnya, kegaduhan itu telah membuat tersendatnya kinerja pemerintahan.

Batas keniscayaan
Bagi sebagian orang kegaduhan dengan segala dampaknya tersebut sebagai hal biasa. Ia menjadi simbol kedinamisan politik di tengah realitas sosial yang transisional. Dalam konteks ini kegaduhan dipersepsi sebagai keniscayaan untuk sampai pada proses konsolidasi demokrasi.

Namun ketika kegaduhan tersebut bertitik singgung dengan hak privasi maupun hak prerogatif, ia bisa dianggap menganggu. Inilah yang menarik dipahami dalam konteks arus besar tuntutan reshuffle kabinet yang disuarakan oleh pelbagai kalangan, khususnya kaum politisi.

Justru dari kegaduhan (isu reshuffle) ini SBY bisa menjadikannya sebagai upaya untuk menguji sejauhmana dirinya sebagai presiden bisa mempertahankan otoritas prerogatifnya berhadapan dengan kepentingan politik partai. Sulit dimungkiri bahwa yang paling berkepentingan terhadap reshuffle adalah partai politik, bukan rakyat. Reshuffle menjadi ajang negosiasi dan political bargaining parpol untuk menempatkan kadernya dalam pemerintahan.

Dalam konteks legalistik-formalistik, kegaduhan reshuffle ini bisa menjadi ajang pertaruhan SBY menghadapi draf RUU Kementerian Negara yang, oleh sebagian pengamat, dianggap sebagai intervensi DPR terhadap hak prerogatif presiden. Kalau Presiden bisa mengambil langkah tegas menyikapi RUU Kementerian tersebut dengan sendirinya Presiden telah berhasil mengurai benang kusut presidensialisme yang selama ini dikeruhkan oleh campur tangan anggota dewan (parlementarisme), termasuk tuntutan reshuffle kabinet.

External shock
Sejak awal pemerintahannya, Presiden SBY berhadapan dengan external shock berupa bencana yang mengalir sejak akhir 2004 sampai saat ini. Kenyataan tersebut menjadi kegaduhan tersendiri bagi laju perjalanan pemerintah SBY. Kegaduhan baik karena faktor alam, seperti tsunami dan gempa bumi maupun kegaduhan akibat kelalaian manusia (human error), seperti banjir, longsor, tenggelam dan terbakarnya kapal laut, kecelakaan pesawat terbang, anjloknya kereta api, dan anmcanan rasa aman lainnya merupakan rentetan realitas yang membuat negeri ini semakin gaduh. Belum lagi banjir lumpur panas di Sidoarjo yang semakin tak terbendung menjadi pemantik menggumpalnya kegaduhan negeri ini.

Terlalu panjang untuk mengurai rangkaian bencana alam dan sosial selama dua tahun lebih dengan segala dampaknya. Dalam kondisi demikian, banyak kemungkinan bisa terjadi yang berujung pada patologi sosial yang oleh Francis Fukuyama disebut sebagai great disruption (guncangan besar). Sebuah realitas yang tidak lagi mengindahkan tata sosial dan moral akibat pengabaian atas yang lain dan hilangnya toleransi dan simpati. Kriminalitas yang semakin eksesif, rasa aman yang semakin mahal, nyawa yang semakin murah, korupsi yang sulit dibendung, amanat rakyat yang dicampakkan, dan tindak penyimpangan lainnya menjadi cermin dari guncangan (kegaduhan) besar.

Otomatis kegaduhan tersebut akan menyedot konsentrasi dan fokus transformasi yang hendak dijalankan pemerintah. Ini menunjukkan bahwa kegaduhan ini akan melahirkan dampak-dampak eksesif yang terus mengalir dan berujung pada distabilitas sosial akibat terpecahnya konsentrasi pemerintah.

Kalau kegaduhan ini dianggap cukup mengganggu kinerja pemerintahan, maka tidak ada jalan lain bagi Presiden SBY untuk melakukan langkah-langkah konkret dan tegas sebagaimana menjadi komitmen di awal tahun 2007 ini. Janji yang pernah diungkapkan dalam pidato awal tahun tersebut seharusnya menjadi landasan dalam setiap langkah dan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah.

Proyek antara
Presiden SBY saat ini berada dalam lingkaran kegaduhan baik yang disebabkan oleh berlarut-larutnya bencana yang menimpa masyarakat bawah (grassroot) maupun oleh kepentingan pragmatis parpol untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan (elit). Dan tidak mudah bagi SBY untuk mengambil langkah tegas di tengah suasana sistem presidensialisme yang tanggung dan suasana “gaduh” masyarakat akibat bencana yang beruntun dan di luar rencana.

Namun demikian, pada akhirnya keputusan harus diambil SBY dengan mempertimbangkan beragam (skala) “kegaduhan” tersebut. Setiap kebijakan pasti ada risiko baik secara politik maupun sosial. Namun keputusan ini jauh lebih bermakna daripada membiarkan kegaduhan terus berlarut yang justru menjadikan laju reformasi tersendat bahkan jalan di tempat.

Reshuffle memang bukan jaminan bahwa roda pemerintahan akan jauh lebih baik. Namun pemerintah bisa memprediksi melalui evaluasi yang obyektif dan transparan terhadap kinerja kabinet saat ini untuk kemudian diambil tindakan yang lebih proporsional dan efektif. Plus minus kabinet harus dipaparkan, sehingga tidak muncul rapot-rapot liar (subyektif) yang diusung beragam kepentingan yang menambah suasana gaduh.

Reshuffle hanya “proyek antara” untuk menjawab persoalan-persoalan yang menghimpit masyarakat. Dengan kata lain, rakyat tak peduli apakah presiden mereshuffle atau tidak para pembantunya. Mereka hanya berharap ada manfaat dari kedaulatan yang telah mereka titipkan pada para wakilnya (legislatif) dan pada presiden (eksekutif) untuk menjalankan roda negara.

Kini pemerintah (presiden) tinggal menjawab secara konkret berbagai bencana yang membuat masyarakat gaduh, baik melalui reshuffle atau kerja nyata yang lebih terasa dalam kehidupan rakyat. Kalau tidak, negeri ini akan terus gaduh. Dan bekerja di tengah suasana yang gaduh tidak akan semaksimal bekerja di tengah suasana yang tenang dan damai.*

No comments: