Friday, March 30, 2007

Opini

Politik Bebas Aktif SBY
Seputar Indonesia, Jum’at, 30 Maret 2007

A. Bakir Ihsan

Resolusi Dewan Keamanan PBB 1747 mengenai Iran menuai banyak protes di negeri ini. Banyak alasan yang dikemukakan oleh beberapa kalangan. Mulai alasan politik sampai teologis. Alasan politik dikaitkan dengan politik bebas aktif yang tidak berpihak pada negara manapun dan alasan teologis lebih pada ikatan emosional keagamaan.

Walaupun secara legal-formal politik bebas aktif Indonesia diarahkan pada netralitas demi kedamaian dunia, namun secara historis negara ini tidak pernah mengejawantahkannya secara optimal dan proporsional. Bahkan pada periode rezim Soekarno dan Soeharto, Indonesia berada dalam genggaman mainstream salah satu blok dunia. Soekarno lebih berorientasi ke blok komunis dan Soeharto ke blok kapitalis.

Sejak reformasi bergulir, pemerintah mencoba menjernihkan kembali posisinya sebagai negara yang menganut politik bebas aktif. Tampaknya hal ini mendapat perhatian serius Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan membuka seluas-luasnya diplomasi dan kerjasama dengan negara-negara lain tanpa terjebak pada latar historis dan ideologinya. Amerika, Cina, Rusia, Iran dan negara-negara lainnya berdiri sejajar sebagai partner yang saling menguntungkan. Itulah sebabnya dalam beberapa kali kesempatan banyak harapan yang dipertaruhkan pada Indonesia untuk menjadi penengah ketegangan global saat ini.

Politik biner
Kecenderungan global saat ini ditandai oleh menguatnya politik biner. Yaitu kecenderungan pengelompokan secara hitam putih antara negara maju dengan negara di luarnya. Politik biner ini dengan sendirinya melahirkan penilaian baik buruk secara kategoris dan simplistis. Kalau Amerika dan sekutunya dianggap jahat, maka di luarnya dianggap negara yang baik. Begitu juga sebaliknya.

Dalam konteks global, politik biner ini berdampak pada penegasian eksistensi negara-negara lain yang berada di luar dua mainstream tersebut. Misalnya negara-negara yang berusaha untuk bersikap netral (obyektif) di antara tarik menarik dua kecenderungan tersebut. Di sinilah posisi Indonesia yang diperjuangkan SBY melalui politik bebas aktifnya. Ia berupaya menempatkan Indonesia secara obyektif di tengah ketegangan dan tarik menarik global termasuk dalam hal isu nuklir Iran. Berpihak pada salah satunya tidak serta merta menafikan yang lain.

Sebaliknya politik biner memaksa negara untuk masuk pada salah satu blok. Kalau menjadi bagian dari kami, berarti menjadi musuh mereka. Kalau tidak membela Iran berarti antek Amerika, atau sebaliknya. Logika ini telah menafikan kemungkinan untuk menjadi diri sendiri (jalan tengah).

Reaksi atas sikap Indonesia yang mendukung Resolusi tertanggal 24 Maret 2007 tersebut mencerminkan logika biner. Persepsi bahwa Iran, apapun keadaannya, harus dibela, secara tidak langsung telah menafikan adanya kemungkinan alternatif yang bisa jadi lebih baik. Logika ini mencerminkan eksklusivitas cara berpikir dengan mengabaikan alternatif-alternatif yang bisa jadi lebih menguntungkan semua pihak.

Otoritas global
Kasus pengayaan uranium (uranium enrichment) Iran tidak bisa dinilai secara sepihak, baik oleh Iran sendiri maupun negara lain. Oleh sebab itu, peran lembaga (otoritas) indepeden sekaligus berkompeten dalam masalah nuklir dapat menjadi acuan bersama.

Persoalan muncul ketika Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) belum sepenuhnya bisa memastikan apakah Iran betul-betul mengembangkan nuklirnya untuk perdamaian atau tidak. Hal ini terjadi akibat tidak adanya transparansi dari Iran terhadap lembaga internasional sampai tenggat waktu yang ditentukan. Atas dasar inilah resolusi 1747 diambil tanpa menutup kemungkinan adanya dialog dan komunikasi kembali antara Iran dengan lembaga yang dipimpin oleh Mohammed El Baradei tersebut.

Keberadaan IAEA sejatinya menjadi lembaga yang harus ditaati dan menjadi rujukan semua pihak, termasuk Iran, sehingga tidak memunculkan ketegangan-ketegangan global. Hal ini tidak hanya berlaku pada Iran, tapi semua negara yang mengembangkan energi nuklirnya untuk bersikap transparan, sehingga diperoleh kepastian (data) peruntukan nuklir tersebut.

Kalau sampai tenggat waktu yang ditentukan, IAEA belum mendapat data yang akurat tentang peruntukan pengayaan uranium Iran, maka sungguh mengagetkan ketika anggota DPR memastikan bahwa Iran mengembangkan nuklirnya untuk perdamaian dan ilmu pengetahuan. Apakah anggota DPR sudah melakukan studi banding ke Iran atau sekadar informasi sepihak dari pemerintah Iran ketika berkunjung ke sini. Dan otoritas pengetahuan apa yang bisa dipertaruhkan DPR atas masalah nuklir ini.

Inilah yang harus dijernihkan di tengah upaya pemerintah menegakkan politik bebas aktifnya dengan alternatif-alternatif yang bisa jadi lebih baik. Ini penting agar ada kesepahaman para elit dalam mendorong peran Indonesia bagi terciptanya perdamaian dunia dengan tetap mematuhi rambu-rambu dan otoritas yang ada.

Dalam konteks nuklir Iran, Indonesia harus tetap berpijak pada temuan dan rekomendasi IAEA dengan alternatif-alternatif penyelesaian yang dialogis dan komunikatif. Karena dialah lembaga yang punya otoritas dan kompetensi teknis dalam masalah nuklir. Kalau masing-masing pihak mengklaim otoritasnya sendiri-sendiri, maka perlombaan nuklir tak terelakkan dan perdamaian dunia hanya mimpi.

Relasi kultural
Sulit dimungkiri adanya ikatan kultural antara Indonesia dengan Iran. Ikatan kultural (agama) ini sedikit banyak akan mempengaruhi persepsi masyarakat kedua negara. Wajar apabila Ketua PBNU Hasyim Muzadi menganggap keputusan pemerintah yang mendukung resolusi DK PBB tersebut dapat menyakiti umat Islam. Namun pernyataan ini terlalu generalis dan bombastis karena pada kenyataannya keputusan tersebut didukung oleh negara-negara Timur Tengah yang notabene masyarakatnya juga muslim.

Keputusan Indonesia atas nuklir Iran merupakan keputusan politik yang didasarkan pada pertimbangan kepentingan bersama, bukan atas kepentingan negara tertentu. Hal ini terlihat dari klausul-klausul tambahan yang diperjuangkan Indonesia atas resolusi awal yang sama sekali tidak dipermasalahkan oleh Qatar sebagai anggota tidak tetap DK PBB. Dengan demikian, keputusan Indonesia atas kasus nuklir Iran seharusnya tidak merusak relasi kultural yang telah terbangun lama. Justru sebaliknya bisa memperkuat relasi yang selama ini sudah terbangun, termasuk pengembangan nuklir di Indonesia.

Dalam rangka itu dibutuhkan kejernihan dan obyektivitas para elit baik politik maupun agama dalam memandang politik global yang kebetulan terkait dengan Iran yang notabenenya negara Islam. Persoalan nuklir Iran harus dilihat berlandaskan temuan-temuan lembaga internasional yang punya otoritas dalam hal nuklir dengan alternatif-alternatif yang konstruktif bagi kepentingan perdamaian seluruh warga dunia. Dan inilah proyek politik bebas aktif yang sedang dikembangkan SBY. Semoga.*

No comments: