Thursday, March 08, 2007

Opini

Kesenjangan Intelektual di Indonesia
Media Indonesia
, Kamis 8 Maret 2007

A. Bakir Ihsan

Selasa (6/3) Media Indonesia menulis di halaman satu, pemerintah membutuhkan dana Rp7,6 triliun untuk merelokasi infrastruktur yang terkena dampak lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur.

Sepertinya memang benar kata pepatah, menghadapi lumpur panas itu bangsa ini seperti ‘sudah jatuh tertimpa tangga’. Situasinya lebih ngenes, ketika tragedi itu terjadi pada saat bangsa ini diterpa krisis yang tak juga reda, bencana alam dan bencana moral elit politik melanda.

Pesimisme bisa berdampak pada keputusasaan, kegilaan, bahkan bunuh diri. Oleh sebab itu, dalam karut marut negeri ini, perlu kearifan belajar pada sejarah yang telah melahirkan negeri ini. Sebuah realitas yang menggumpal dari, meminjam terminologi Benedict Anderson, imajinasi (imagined community).

Sebuah landasan yang sejatinya tidak begitu kukuh, namun berhasil mengeksistensikan dirinya sampai 60 tahunan lebih. Untuk itu, tulisan ini berusaha menelisik kembali pilar historis yang menyebabkan negeri ini hadir (berksistensi) namun teralpakan dari memori, sehingga solusi tak kunjung bersemi.

Integritas intelektual
Secara historis, eksistensi negeri ini tidak terlepas dari peran kaum intelektual dengan integritas yang tak terbantahkan. Integritas tersebut tercermin dari kesinambungan antara gerak otak (intelektual) dengan gerak raga (aktual). Dengan kata lain, perahan otak para founding fathers negeri ini tidak hanya mengalir dalam seminar atau diskusi, tapi menggerakkan raganya berbuat bersama rakyat.

Negara ini justru terlanda krisis, ketika energi intelektualitas dicampakkan oleh sistem yang otoriter dan dikerangkeng dalam sangkar emas kekuasaan. Intelektualitas terpisah dari raganya dan mengkristal menjadi barang mewah yang menjulang di menara gading.

Kalau mau jujur, bencana banjir yang melanda ibukota merupakan akibat penegasian atas integritas intelektual. Intelektualitas hanya semarak sebatas wacana di media massa dan terkubur dalam arus problem yang tak kunjung selesai. Perdebatan panjang tentang banjir di Jakarta sudah berlangsung sepanjang banjir melanda ibukota. Namun semuanya berhenti pada perdebatan tanpa kehendak (political will) untuk mengejawantahkannya secara komprehensif.

Pada titik ini, integritas intelektual bukan sekadar kemampuan dalam membangun kerangka teori, apalagi sekadar tebar wacana, tapi juga kehendak (probabilitas) untuk mengejawantahkannya. Ia tidak semata terkait pada jenjang pendidikan dan deretan gelar kesarjanaan, namun kemauan untuk belajar pada pengalaman dan mewujudkannya dalam alam nyata. Ada keseimbangan antara teori, fakta, dan kerja nyata.

Intellectual gap
Problem yang dihadapi Presiden SBY selama ini adalah disparitas antara visi dan misi yang diwacanakan dengan implementasi pada tingkat kebijakan. Contoh mutakhir adalah lolosnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 37 tahun 2006 tentang kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD yang mengundang kontroversi.

Kontroversi ini seharusnya tidak perlu terjadi, apabila para menteri terkait bisa menafsirkan visi dan misi SBY secara utuh. Sejak awal SBY menekankan tentang pentingnya efisiensi keuangan negara. Bukti komitmen efisiensi SBY adalah pengembalian anggaran rumah tangga presiden ke kas negara sebesar Rp60 miliar pada 2006, meningkat dibandingkan dengan 2005 sebesar Rp40 miliar.

Fakta ini seharusnya menjadi landasan para menteri dalam merumuskan peraturan terkait biaya aparat pemerintahan, termasuk DPR maupun DPRD. Munculnya kontroversi atas sebuah kebijakan merupakan bukti bahwa ada jarak (gap) antara kehendak presiden dengan kemampuan implementatif bawahannya yang seharusnya berjalin berkelindan.

Kenyataan ini merupakan problem yang oleh SBY sendiri disebut sebagai intellectual gap. Yaitu kesenjangan dalam menafsirkan arah dan tujuan bernegara. Problem intellectual gap di jajaran pemerintah, khususnya presiden dengan para menterinya merupakan konsekuensi dari keterlibatan multipartai dalam tubuh kabinet. Dengan kata lain, masing-masing anggota kabinet memiliki latar belakangan kepentingan yang berbeda. Apalagi saat ini di antara jajaran anggota kabinet menjadi ketua umum partai. Dengan sendirinya aroma kepentingan partai sulit dinegasikan dari rangkaian kegiatan kenegaraannya.

Dan terbukti, beberapa anggota kabinet lebih sibuk mengurusi kepentingan partainya daripada berbuat untuk kepentingan tugas dan tanggungjawab sebagai pejabat negara. Kenyataan ini tentu mengecewakan SBY. Paling tidak, dalam beberapa kesempatan SBY berusaha mengambil alih isu-isu yang seharusnya bisa diselesaikan oleh para menterinya. Bagi rakyat kondisi ini sangat menyakitkan. Apalagi di tengah bencana yang datang beruntun yang tidak saja menguras keuangan negara, namun juga menuntut perhatian penuh pemerintah. Apabila perhatian ini tidak berhasil didistribusikan secara baik bagi kepentingan masyarakat, SBY akan terus menjadi umpan dari seluruh kritik atas banjir bencana yang melanda negeri ini.

No comments: