Thursday, March 29, 2007

Opini

Ambiguitas Wacana Presiden Sarjana
Koran Tempo, Kamis, 29 Maret 2007

A. Bakir Ihsan

Politik hanya untuk kaum elit. Mungkin itu yang terbayang dalam benak kita melihat atmosfir politik yang hanya menggema ke langit kekuasaan daripada berpijak pada bumi rakyat. Isu-isu yang bergulir berputar dari satu kepentingan ke kepentingan elit lainnya. Mulai isu reshuffle kabinet, syarat sarjana bagi calon presiden, sampai rencana pembelian laptop Rp21 juta untuk anggota dewan. Kemudian dimanakah rakyat?

Terlihat jelas bahwa orientasi elit politik kita masih terjebak pada kepentingan diri dan kelompoknya. Simak perdebatan calon sarjana bagi presiden yang direspon sesuai dengan selera masing-masing.

Wacana syarat pendidikan calon presiden minimal sarjana (strata satu) bisa dipahami dalam berbagai perspektif. Kalau perspektifnya politik, maka draf RUU Pemilu Presiden dan Wapres tersebut merupakan taktik untuk menjegal mereka yang berhasrat menjadi presiden tapi belum sarjana.

Kalau perspektifnya pendidikan, maka formalitas pendidikan bisa dianggap sebagai indikator dari kualitas seseorang. Kalau pun pada kenyataannya masih banyak S1 yang pengangguran, maka hal tersebut bukan karena persoalan pendidikan semata, tapi karena lapangan kerja yang semakin sempit.

Kalau perspektifnya budaya (paradigma kultural), maka status kesarjanaan bisa menjadi indikator keberhasilan seseorang menempuh sebuah jenjang pendidikan yang merupakan prasyarat bagi tumbuhnya budaya politik yang partisipan.

Pada akhirnya, banyak makna yang bisa disematkan atas fenomena politik yang semarak di negeri ini sesuai dengan cita rasa dan paradigma masing-masing. Namun demikian, tetap diperlukan pembacaan yang lebih proporsional melihat fenomena politik. Paling tidak proses menuju konsolidasi demokrasi dan tegaknya civil society tidak kehilangan momentumnya akibat pemaknaan yang liar tersebut.

Orientasi RUU
Mencuatnya syarat sarjana dalam RUU Pemilu Presiden dan Wapres menunjukkan bahwa wacana politik masih sangat dominan dalam lanskap kehidupan bernegara. Konsekuensi dari wacana yang political oriented ini adalah terbengkalainya agenda lainnya yang jauh lebih penting dan substansial bagi kelangsungan demokrasi. Lebih parah lagi, political oriented tersebut mengamputasi kritisisme elit politik (anggota dewan) terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat, termasuk masalah kasus Trisakti yang dianggap bukan pelanggaran HAM berat.

Political oriented ini akan semakin menguat seiring dengan perjalanan waktu yang terus berpacu menuju pemilu 2009. Dan kita patut kecewa karena fenomena tersebut akan semakin menguatkan upaya politicking elit daripada empowering budaya politik masyarakat sebagai prasyarat bagi konsolidasi demokrasi. Bahkan political oriented yang begitu kuat tersebut cenderung melabrak batas-batas kewajaran (kaidah) politik itu sendiri. Desakan reshuffle kabinet yang sejatinya merupakan ranah prerogatif Presiden menjadi ajang rebutan parpol. Wajar kalau Presiden Yudhoyono merasa terganggu dengan kegaduhan reshuffle tersebut.

Begitu juga draf RUU Pemilu Presiden pun kemudian lebih ditafsirkan secara politik dengan reaksi yang berlebihan. Padahal RUU tersebut baru draf yang harus digodok anggota dewan sekaligus bisa dijadikan ajang (prosedur) dalam menyeleksi calon pemimpin yang berkualitas. RUU tersebut seharusnya tidak ditanggapi berlebihan apabila elit politik dapat menampilkan dirinya sebagai sosok yang berpihak pada rakyat. Namun sayang, political oriented yang sudah mendarah daging di kalangan elit mengaburkan ranah yang seharusnya dibela, yaitu rakyat. Inilah landasan yang tampaknya semakin rapuh, sehingga rumusan-rumusan aturan tata kelola negara, termasuk syarat-syarat kepemimpinan tidak berpihak pada rakyat.

Mencairkan diskriminasi
Sebuah peraturan sejatinya dibuat untuk menegasikan diskriminasi. Semua potensi diberi peluang untuk terlibat dalam kontestasi politik secara kompetitif. Berpijak pada kerangka tersebut, maka diperlukan rekonstruksi atas aturan politik yang selama ini cenderung sentralistik dan memupuk oligarki. Contoh yang paling kasat mata adalah adanya satu pintu untuk menjadi pemimpin baik di tingkat nasional maupun daerah. Satu pintu tersebut adalah restu partai. Peraturan ini telah membunuh peluang munculnya pemimpin non-partai yang betul-betul (genuin) dari rakyat. Peraturan ini telah memupuk tumbuhnya partai yang oligarkis.

Bukti konkret oligarki partai dengan segala konsekuensinya tersebut terlihat dalam kasus Pilkada DKI. Dari seluruh partai yang ada hanya mengusung dua nama cagub, yaitu Adang Darajatun yang dicalonkan PKS dan Fauzi Bowo yang diusung koalisi 16 parpol. Padahal masih ada calon-calon lain yang secara kompetensi bisa dipertaruhkan di hadapan publik Jakarta. Dengan demikian, terjadi pembunuhan kontestasi bagi calon lainnya.

Agar pembunuhan kontestasi berdasarkan kompetensi ini tidak terus berlangsung, maka saatnya rekonstruksi agenda-agenda (undang-undang) politik diarahkan bagi konsolidasi demokrasi. Dalam hal ini perlu pencairan otoritas prosedur kekuasaan yang selama ini dikendalikan partai an sich. Pada tataran praksis, hal ini bisa dilakukan dengan cara memberi jalan lapang bagi munculnya calon-calon independen dalam setiap kontestasi kepemimpinan. Langkah ini sebenarnya sudah dimulai di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang memberi peluang bagi munculnya calon independen. Dan hasilnya justru calon independen mendapat dukungan luar biasa dalam Pilkada NAD. Di sini terlihat jelas bahwa ada aspirasi yang hadir di luar kehendak partai, karena partai gagal membaca aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat.

Pada titik ini konsistensi anggota dewan (elit parpol) dipertaruhkan ketika mereka menganggap syarat sarjana dalam RUU Pemilu presiden-wapres bersifat diskriminatif. Seleksi calon pemimpin yang dikendalikan parpol juga merupakan bentuk perlakukan diskriminatif atas potensi-potensi yang ada dalam masyarakat.

Di sinilah distorsi dan ambigu parpol dalam menyikapi fenomena dan dinamika politik masyarakat transisional. Parpol terbiasa menuding pihak lain sebagai ancaman demokrasi (diskriminasi), sementara dirinya tetap berbalut sistem yang sentralistik dan paternalistik. Realitas ini menunjukkan bahwa parpol lebih konservatif daripada negara yang semakin terbuka bagi berlangsungnya kompetisi dan partisipasi. Apabila parpol tetap dibiarkan dalam konservatismenya, bisa jadi negara akan bermetamorfose dalam konservatisme yang sama.

Mengukuhkan kolektivitas
Prasyarat-prasyarat dalam sebuah kontestasi merupakan sebuah keniscayaan untuk menyeleksi para calon dengan segala konsekuensinya. Pada pemilu 2004 lalu, standar kesarjanaan bagi capres sempat menjadi wacana. Namun melalui lobi dan kompromi-kompromi politik, akhirnya persyaratan tersebut tak bersambut. Namun persyaratan lain yang ditetapkan KPU telah memupus harapan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berpasangan dengan Marwah Daud Ibrahim. Mereka harus gugur sebelum bertanding karena dianggap tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Padahal pada pemilu 1999 Gus Dur dipilih sebagai presiden. Secara kemanusiaan, keputusan ini sangat diskriminatif. Inilah dilema prosedural dalam kehidupan nyata yang harus berayun di antara beragam kepentingan.

Kenyataan tersebut merupakan agenda besar yang seharusnya diselesaikan oleh para politisi di Senayan secara arif berlandaskan visi yang konstruktif bagi masa depan demokrasi. Persyaratan-persyaratan administratif-prosedural harus mengacu pada standar kompetensi dengan cara memberi peluang yang sama bagi aktualisasi potensi kepemimpinan bagi seluruh masyarakat.

Kita belum punya indikator yang menjamin bahwa jenjang pendidikan dapat menentukan kualitas seseorang dalam memimpin. Dari pengalaman yang ada, status pendidikan tidak memiliki korelasi positif dengan kompetensi seorang pemimpin. Kita sudah pernah memiliki presiden dengan jenjang pendidikan yang beragam. Dari presiden yang hanya tamatan sekolah lanjutan rendah (schakel school) Muhammadiyah sampai presiden yang bergelar profesor lulusan luar negeri, namun negara ini tak bergerak secara menakjubkan.

Belajar dari kenyataan tersebut, sesungguhnya persoalan negeri ini bukan hanya persoalan jenjang pendidikan sang pemimpin, tapi pada hasrat kolektif untuk menjaga dan mengembangkan negeri ini secara bersama-sama. Kita patut belajar pada sejarah. Setelah dijajah sekian abad lamanya, bangsa ini berada dalam kondisi ekonomi, politik, dan sosial budaya yang rapuh. Namun ternyata bangsa ini mampu berdiri di atas semangat nasionalisme atau imagined community (dalam kacamata Bennedict Anderson).

Kalau bermodalkan imajinasi saja bangsa ini bisa bersatu di atas keragaman sampai saat ini, sejatinya bangsa ini lebih bisa bergerak maju di tengah kebebasan multipartai dirayakan. Tinggal sekarang, apakah para politisi (parpol) rela melepas kran patronase yang digenggamnya bagi aktualisasi kepemimpinan yang sejati, tanpa diskriminasi. Semoga.*

No comments: