Wednesday, May 09, 2007

Opini

Paradoksalitas Pemberantasan Korupsi
Koran Tempo
, Rabu, 9 Mei 2007

A. Bakir Ihsan

Ada dua peristiwa paradoks terkait pemberantasan korupsi di negeri ini. Pertama, di Senayan, pimpinan DPR sepakat untuk “mengendapkan” masalah dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang mengalir ke Senayan. Mereka menilai aliran dana tersebut tidak mengindikasikan adanya pelanggaran kode etik (Koran Tempo, 25/4/07). Kedua, pemerintah menandatangani kesepakatan ekstradisi dengan Singapura (27/4/07). Perjanjian yang ditandatangani di Bali ini berlaku surut sampai 15 tahun.

Peristiwa pertama menunjukkan pengaburan atas aliran dana non-budgeter yang menempatkan mantan menteri DKP, Rokhmin Dahuri sebagai tersangka. Sementara peristiwa kedua menunjukkan semangat pantang mundur pemerintah untuk menjerat para koruptor.
Kedua fenomena paradoksal tersebut menyebabkan pemberantasan korupsi berjalan tidak maksimal. Ironis memang, pemberantasan terkendala oleh ketidakseriusan lembaga negara yang seharusnya ikut mendorong bagi munculnya clean government.

Basis yang rapuh
Kebijakan pemberantasan korupsi bukanlah hal yang baru. Sejak Orde Lama secara de jure, upaya tersebut sudah dimulai. Namun semuanya terkendala pada proses implementasinya. Bahkan saat ini upaya pemberantasan korupsi mendapat perlawanan melalui berbagai cara, mulai yang legal sampai illegal.

Fakta perlawanan para koruptor menunjukkan adanya basis yang rapuh dalam pemberantasan korupsi. Ia belum menjadi kehendak kolektif untuk menjadikan negeri ini bebas korupsi. Lemahnya basis ini merupakan cermin dari lemahnya kolektivitas kerakyatan kita. Akibatnya kemiskinan dan kebodohan tak juga lekang dari rakyat. Dana yang seharusnya mengalir bagi pemberdayaan masyarakat diselewengkan untuk kepentingan segelintir orang. Pendidikan yang sejatinya menjadi ajang pencerdasan warga bangsa, menjadi terhambat karena dana peruntukannya raib ditelan para koruptor. Apalagi di saat pemerintah belum mampu menyediakan dana pendidikan sesuai standar konstitusi sebesar 20%. Lengkaplah sudah penderitaan rakyat untuk menikmati hak-haknya, khususnya dalam hal pendidikan sesuai konstitusi.

Sementara secara struktural birokrasi kita digerakkan oleh nafas paternalisme yang berbasis pada kaula-gusti. Konsekuensinya masyarakat dianggap sebagai hamba yang harus menyerahkan upeti agar roda birokrasi bisa bergerak. Realitas ini pada akhirnya mengungkung kesadaran para birokrat dan masyarakat dalam turbulensi birokrasi yang bias. Birokrasi bergerak antara satu upeti ke upeti lainnya. Dan kenyataan inilah yang dihadapi Presiden SBY dalam mewujudkan komitmennya membebaskan negara dari korupsi.

Menangkap angin
Perang melawan korupsi di tengah atmosfir yang begitu kental dengan penyimpangan, hampir sama dengan menangkap angin. Hembusan (dampak) korupsi bisa dirasakan, tapi tak kuasa ditangkap secara maksimal. Layaknya angin, ia hanya bisa dikungkung melalui perangkap yang begitu rapat dan komprehensif. Dan kondisi inilah yang belum tercipta di negeri ini. Wajar apabila pemberantasan korupsi tetap menyisakan ceceran agenda yang tak kunjung reda.

Perangkap hukum dan lembaga untuk mempersempit ruang korupsi tak berjalan maksimal karena korupsi masih menjadi bagian di dalamnya. Kontrol yang seharusnya secara maksimal dimainkan DPR/DPRD untuk mencegah korupsi justru ia menjadi bagian dari korupsi. Kalau pun pada kenyataannya ada sebagian koruptor yang berhasil dijebloskan ke penjara bukan sepenuhnya karena keberhasilan aparatur penindak korupsi. Namun lebih karena “kesialan” para pelakunya. Terbukti koruptor-koruptor lainnya seakan tak tersentuh.

Ketaktersentuhan ini bukan sepenuhnya salah pemerintah. Namun juga kelihaian para koruptor untuk mencari perlindungan dan menggunakan berbagai cara agar selamat dari jeratan korupsi. Kalau mau jujur, mencari pejabat masa lalu yang bersih sangatlah langka. Karenanya pemberantasan korupsi di tengah korupsi begitu akut dan tak terpisahkan dari negara, sama dengan membenturkan diri pada dinding yang begitu kokoh bernama negara.

Dalam kondisi demikian, sebagian masyarakat tak sabar melihat gebrakan pemberantasan korupsi yang terus digelorakan Yudhoyono. Sehingga muncul tuduhan tebang pilih bahkan dianggap involusi. Kritik ini bisa menjadi mesiu yang menyemangati pemberantasan korupsi, tapi bisa juga menjadi gendrang apatisme yang menyurutkan bara anti korupsi. Yang pasti aneka ragam suara atas pemberantasan korupsi menjadi kegaduhan yang sedikit banyak menyebabkan laju pemberantasan korupsi tak semulus yang diharapkan. Dan sebagian orang (koruptor) mengambil keuntungan dari kegaduhan tersebut.

Duri dalam daging
Gerak bersama untuk menutup celah korupsi belum terlihat. Pemberantasan korupsi masih menjadi agenda parsial, yaitu agenda lembaga-lembaga terkait dengan penyidikan, penyelidikan dan komisi pemberantasan korupsi. Padahal semua ini hanya alat yang efektivitasnya tergantung pada komitmen dan kehendak bersama memberantas korupsi. Alat ini tidak akan bekerja maksimal apabila ia dibiarkan berjalan sendiri atau hanya dijadikan etalase pencitraan atas sebuah pemerintahan. Term pemerintahan di sini tidak hanya terkait dengan lembaga eksekutif, tapi juga legislatif dan yudikatif.

Kasus pengendapan aliran dana DKP di kalangan anggota DPR menjadi sinyal buruk atas keseriusan pemerintah memberantas korupsi. Inilah ironi pemberantasan korupsi di tengah penyimpangan menjadi nafas yang menggerakkan nilai dan sistem di republik ini. Bahkan terhadap MoU ekstradisi yang jelas-jelas dibuat untuk mengepung para koruptor yang lari ke luar negeri masih disikapi secara sinis. Beberapa anggota DPR meragukan target pemerintah yang hendak dicapai dari perjanjian ekstradisi tersebut. Sebuah apatisme di tengah korupsi menggejala di lembaganya sendiri.

Kalau pada level atas saja terjadi simpang jalan dalam menyikapi pemberantasan korupsi, sulit dibayangkan bisa berlanjut pada level di bawahnya. Sejatinya anggota DPR sebagai wakil rakyat yang tahu persis dampak eksesif dari korupsi menyadari pentingnya komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Kalau para wakil rakyat memperlihatkan sikap paradoksalitasnya atas pemberantasan korupsi, jangan berharap pemerintah sukses melakukannya. Inilah duri pemberantasan korupsi dalam daging pemerintahan Yudhoyono.*

No comments: