Monday, May 14, 2007

Opini

Sisa Asa Kepemimpinan Yudhoyono
Media Indonesia
, Senin, 14 Mei 2007

A. Bakir Ihsan

Tentang kuasa tak pernah sepi dari wacana. Reshuffle yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Senin, 7 Mei lalu tetap saja menyisakan kegaduhan. Sejatinya kegaduhan berakhir seiring reshuffle dimaklumatkan. Namun inilah celah demokrasi yang tidak bisa ditutupi dan dieliminasi di antara ribuan aspirasi.

Reshuffle jilid II ini merupakan pertaruhan SBY menapaki separuh sisa perjalanan pemerintahannya. Sebuah perjalanan dengan asa yang menipis. Sebagaimana diungkap survei LSI, Maret lalu, tingkat popularitas SBY berada di bawah 50%. Kepuasan publik yang begitu tinggi di awal pemerintahannya (80%) kini di bawah batas psikologis.

Banyak makna yang bisa ditafsirkan dari degradasi popularitas tersebut. Pertama, bahwa selama paruh pertama kepemimpinan SBY-JK gagal merawat ekspektasi masyarakat. Kedua, SBY-JK gagal menata manajemen pemerintahannya, sehingga semua kasus diarahkan pada dirinya. Ketiga, citra tidaklah cukup untuk menjaga kepercayaan masyarakat atas pemerintahan SBY-JK. Berbagai derita dan bencana yang dirasakan masyarakat terlalu kuat menggerogoti citra tersebut. Keempat, pilihan langsung tidak menjamin terpeliharanya dukungan dari rakyat.

Melihat separuh sisa perjalanan Presiden SBY, bahkan sebagian pengamat hanya menyisakan satu setengah tahun bagi kerja pemerintahan SBY, maka berbagai langkah konkret harus diambil SBY agar sisa asa masyarakat bisa bertahan bahkan semakin baik. Kalau tidak, maka SBY tinggal menyelesaikannya sampai 2009 tanpa kesan mendalam sebagai presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.

Anomali kepemimpinan
Walaupun SBY semakin anjlok citranya, namun belum muncul calon alternatif bagi kepemimpinan ke depan. SBY, sebagaimana survei LSI, tetap lebih diunggulkan dari tokoh lainnya, seperti Megawati, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, maupun Sultan Hamengkubuwono X. Fakta ini menunjukkan terjadinya krisis dan anomali kepemimpinan. Masyarakat kehilangan rujukan keteladanan dan ayoman di satu sisi, namun belum mampu menemukan penggantinya di sisi yang lain. Mereka menganggap para tokoh yang ada tidak maksimal, namun belum ada sosok yang bisa dijadikan alternatif.

Di sinilah perlunya terobosan yang dapat memecah kebekuan pola kepemimpinan selama ini. Secara kuantitatif stok pemimpin cukup banyak. Namun kebanyakan tak berpijak di hati rakyat. Pada tingkat lokal banyak sosok-sosok yang bergulat langsung dengan rakyat namun belum menemukan saluran aktualisasi pada tingkat yang lebih luas (nasional). Akibatnya problem-problem yang dihadapi masyarakat diselesaikan dengan caranya sendiri. Salah satunya melalui aksi unjuk rasa.

Sejatinya dalam sistem yang demokratis, demonstrasi bisa diminimalisasi. Rakyat tak perlu berjemur di tengah terik matahari dan menghabiskan dana untuk memperoleh haknya. Hal ini dimungkinkan apabila saluran formal perjuangan aspirasi rakyat (DPR/DPRD) berfungsi secara maksimal dan efektif. Namun asa tak sesuai fakta. Akhirnya rakyat lebih percaya pada dirinya daripada para wakilnya di DPR atau DPRD.

Oleh sebab itu, yang urgen dilakukan saat ini adalah kaderisasi kepemimpinan yang punya kualitas, integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas. Regenerasi kepemimpinan selama ini masih berputar di atas altar yang sempit dan terbatas (elitis). Belum ada pilihan yang lebih beragam bagi tampilnya kepemimpinan. Salah satu faktornya adalah adanya kendali tunggal kekuasaan di tangan partai. Kekuasaan menjadi prerogatif partai. Padahal partai sendiri, menurut survei LSI (Maret 2007), mengalami degradasi kepercayaan karena gagal menjadi lembaga representatif aspirasi rakyat. Semakin lengkaplah krisis kepemimpinan di negeri ini.

Salah satu jalan keluar untuk meretas krisis dan kebekuan proses regenerasi kepemimpinan ini adalah dengan membuka kran seluas-luasnya bagi aktualisasi pemimpin-pemimpin alternatif. Ranah kekuasaan betul-betul dikembalikan pada rakyat dan partai hanya salah satu pintu masuk bagi proses kaderisasi kepemimpinan. Sejatinya lembaga-lembaga sosial-politik menjadi kawah candradimuka tampilnya pemimpin. Sayangnya lembaga-lembaga yang ada tak lebih sebagai broker yang hanya melahirkan pemimpin karbitan. Bahkan dalam beberapa kasus Pilkada, partai lebih suka mendukung calon pemimpin lain daripada mendukung kadernya sendiri.

Sisa asa
Anjloknya kepuasan publik atas kinerja pemerintahan SBY-JK tidak serta merta membunuh seluruh asa. Terbukti ada aspek tertentu yang dianggap positif bagi kelanjutan pemerintahan ke depan, yaitu aspek keamanan (59,6 persen, LSI 2007). Keberhasilan membongkar jaringan sel-sel kelompok teroris menjadi modal keseriusan pemerintah untuk membebaskan negara dari teror.

Namun keberhasilan di bidang ini bisa terancam oleh potensi-potensi yang bisa menjadi sumbu instabilitas, yaitu kemiskinan dan pengangguran yang masih jauh panggang dari api. Dan ini menjadi titik terlemah di antara bidang-bidang lainnya.

Reshuffle jilid II seharusnya bisa menutupi kelemahan tersebut melalui perbaikan kinerja di seluruh departemen. Sikap akomodatif SBY untuk merangkul semua kepentingan (parpol dan profesional) seharusnya menjadi simpul untuk memacu kebersamaan dan kinerja demi kehidupan bersama seluruh anak bangsa. Syukur-syukur langkah ini bisa mengembalikan ekspektasi awal yang mengantarkan SBY-JK terpilih sebagai pemimpin pilihan langsung rakyat.

Setiap kebijakan tentu tidak bisa memuaskan semua pihak. Masing-masing punya pertimbangan dan pandangan terhadap berbagai problem yang terjadi di negeri ini. Bahwa kemiskinan dan pengangguran masih menjadi problem sulit dimungkiri. Bahkan Presiden sendiri mengakui atas hal tersebut. Dan problemnya tentu tidaklah tunggal. Banyak faktor yang ikut menyumbang atas penyelesaian masalah kemiskinan dan pengangguran yang masih jauh panggang dari api. Inilah agenda yang harus dijawab SBY melalui tim kabinet yang baru dirombaknya.

Di samping itu, agenda yang tak kalah peliknya adalah mentrasformasikan loyalitas kepartaian aparatur negara untuk kepentingan bangsa dan negara. Hal ini penting karena dua hal. Pertama, dalam reshuffle yang lalu SBY tetap mempertimbangkan eksistensi partai. Masuknya Andi Mattalatta dan Muhammad Lukman Edy merupakan representasi partai. Kedua, perjalanan pemerintahan SBY ke depan sedang memasuki masa pertarungan politik 2009 yang akan memacu silang sangkarut kepentingan antar partai semakin mengeras.

Agenda tranformasi ini penting, karena sebagaimana SBY sendiri rasakan, loyalitas kepartaian di hampir semua level pemerintah mulai menteri sampai kepala daerah lebih kuat daripada loyalitasnya pada negara. Kenyataan ini berdampak pada lambannya akselerasi pembangunan yang bermuara pada kekecewaan rakyat. Dengan demikian, transformasi ini akan menentukan laju kabinet pasca reshuffle tersebut.

Tentu agenda di atas hanya bagian dari rangkaian problem yang dihadapi negeri seribu bencana ini. Reshuffle hanya satu bumbu yang ikut menentukan sedap tidaknya kerja pemerintahan ke depan. Kebersamaan di kalangan elit dan kesamaan visi dalam menyelesaikan berbagai problem kebangsaan khususnya kemiskinan dan pengangguran akan lebih mumpuni untuk mengangkat asa yang hampir putus. Inilah sisa asa (ekspektasi) yang bisa menjadi modal SBY merampungkan tugas kenegaraannya secara paripurna.*

No comments: