Monday, May 28, 2007

Opini

Presiden di Republik Wacana
Jurnal Nasional
, Sabtu, 26 Mei 2007

A. Bakir Ihsan

Republik wacana. Mungkin inilah identitas apatis atas simulakra wacana yang bergelayut di langit republik ini. Dari hari ke hari wacana tak pernah kering mengalir. Sayangnya wacana itu berkutat pada satu sisi problematika kebangsaan yang begitu luas, yaitu wacana kekuasaan.

Beberapa waktu lalu, republik ini disuguhi desakan reshuffle kabinet. Indikator menurunnya popularitas SBY yang berada di bawah batas psikologis (50 persen) menjadi alasan kuat untuk me-reshuffle para pembantunya. Beragam masukan dan kriteria dilontarkan, dan tak lupa parpol-parpol menyiapkan kader penggantinya.

Kini reshuffle sudah berlalu. Namun wacana kekuasaan tak juga susut. Kekuasaan tetap menjadi sasaran tembak wacana para elite politik maupun kaum intelek. Kini, para elite di Senayan sedang membangun wacana interpelasi yang harus dihadiri Presiden SBY. Sebuah wacana penuh ambisi hampa substansi. Anggota DPR mempersonifikasi kekuasaan pada sosok SBY. Padahal pemerintah merupakan realitas kolektif. Karenanya sosok (person) menjadi tak signifikan. Namun DPR ngotot agar Presiden hadir dan memberi penjelasan. Semakin jelas, SBY menjadi sasaran tembak wacana politik para politisi.

Delegitimasi Kekuasaan
Wacana tidak sekadar kata-kata yang diucapkan. Di di dalamnya penuh kuasa. Sehingga tidak jarang wacana memprovokasi dan memanipulasi fakta. Tentang pemberantasan korupsi, misalnya. Sudah ratusan orang terjerat dan ditindak berdasarkan hukum karena terlibat korupsi tanpa pandang bulu. Dari eksekutif, legislatif, bahkan penegak hukum (yudikatif) yang terbukti terlibat korupsi ditindak dan dijebloskan ke penjara. Namun fakta tersebut dikonstruksi melalui wacana sebagai tindakan tebang pilih. Wacana ini secara tidak langsung mendelegitimasi pemberantasan korupsi yang dikumandangkan Presiden SBY.

Delegitimasi melalui wacana terlihat juga dalam hal pengentasan kemiskinan. Upaya pemberantasan kemiskinan melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT), beras murah untuk rakyat miskin (Raskin), subsidi pendidikan melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM), obat murah, perumahan murah diwacanakan sebagai langkah yang tidak efektif bagi pemberdayaan masyarakat. Wacana ini sedikit banyak memprovokasi kesadaran publik untuk mengeliminasi kerja keras pemerintah. Akibatnya pemerintah dipersepsi belum berbuat bahkan gagal dalam pengentasan kemiskinan.

Sulit dipungkiri bahwa secara kuantitatif jumlah orang miskin dan pengangguran masih menumpuk. Namun kerja yang dilakukan secara bertahap dan agenda yang disusun secara akurat oleh pemerintah bukanlah sulap yang menghasilkan sesuatu dalam waktu singkat. Justru di sinilah dibutuhkan sinergi demi rakyat banyak.

Provokasi Wacana
Reformasi merupakan buah dari energi-energi yang bersinergi. Namun kini sinergi itu kembali mencair menjadi energi-energi liar. Masing-masing energi (kelompok) menyuarakan kepentingannya dan menafikan kepentingan lainnya. Akibatnya reformasi belum menemukan jati dirinya, sampai kini. Energi liar ini tumbuh subur, salah satunya, akibat orientasi kekuasaan yang lebih mengemuka di lingkaran parpol daripada orientasi kerakyatan.

Ranah pengabdian pada rakyat yang sejatinya termediasi melalui parpol didistorsi menjadi pengabdian pada parpol. Inilah yang dalam khazanah politik disebut partyocracy. Kekuasaan mengalir dari partai, oleh partai, dan untuk partai. Dampak lebih jauh, rakyat harus menyelesaikan problemnya dengan caranya sendiri sekaligus roda aparatur negara tidak efektif. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah yang akhirnya harus melibatkan pusat (presiden). Idealnya persoalan di daerah dapat diselesaikan oleh daerah. Paling tidak bisa dimediasi oleh para wakil rakyat di daerah dan dikomunikasikan dengan pemerintah.

Kita tidak bisa berharap banyak apabila seluruh problem kebangsaan ditimpakan pada seorang presiden SBY. Tanpa dukungan dan peran serta seluruh komponen warga bangsa, semua rencana dan kebijakan yang dibuat Presiden SBY tak akan banyak bermakna. Dan akan semakin tak bermakna apabila semua proses kebangsaan dipolitisasi melalui provokasi wacana untuk kepentingan segelintir elite yang mengatasnamakan rakyat.

http://www.jurnalnasional.com/new2/?KR=JURNAS&NID=30088

No comments: