Tuesday, May 15, 2007

Opini

Paradoksalitas Prerogatif Presiden
Seputar Indonesia, Selasa, 15 Mei 2007

A. Bakir Ihsan

Sebagai sebuah kebijakan, reshuffle adalah masa lalu. Pelantikan kabinet pada Rabu, 9/5/07 lalu menjadi akhir kegaduhan reshuffle. Namun sebagai fakta politik, reshuffle layaknya sebuah teks yang menyisakan banyak makna. Pembacaan atas teks tersebut menjadi penting untuk menjernihkan substansi dari reshuffle sebagai hak prerogatif presiden.

Ada dua fenomena menarik terkait dengan reshuffle sebagai hak prerogatif presiden. Pertama, reshuffle menarik energi banyak orang. Sebagaimana disampaikan SBY, lebih dari 25 nama diusulkan berbagai kalangan untuk menjadi menteri. Secara tidak langsung usulan ini “mengintervensi” ranah prerogatif presiden. Hak prerogatif presiden disandera oleh kehendak (kepentingan) pihak lain.

Kedua, reaksi partai yang kadernya direshuffle. Fakta ini membuktikan bahwa reshuffle belum dipahami sebagai hak prerogatif presiden, karena partai masih merasa punya hak untuk menerima atau menolak reshuffle tersebut. Hal ini terlihat dari sikap Partai Bintang Bulan (PBB) akibat pencopotan Yusril Ihza Mahendra. Begitu juga Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merasa jatahnya dikangkangi akibat pencopotan Saifullah Yusuf dan Sugiharto.

Walaupun secara de jure reshuffle menjadi hak prerogatif presiden, namun secara de facto tetap menyisakan tanda tanya di sebagian masyarakat. Ini menunjukkan bahwa hak prerogatif tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diejawantahkan secara proporsional oleh kalangan elit politik sendiri.

Hak Prerogatif
Prerogatif dalam penyusunan dan pergantian kabinet merupakan privilese yang secara eksklusif dimiliki seorang presiden. Dalam hal ini, ia merupakan private matter yang cuma dipunyai Presiden SBY, karena dialah yang akan mempertanggungjawabkan semua kerja kabinetnya.

Walaupun pada kenyataannya SBY mengajak partai dan berbagai kalangan untuk sumbang saran, bahkan melibatkan kader partai dalam kabinetnya, bukan berarti hak tersebut menjadi berkurang (terbagi). Inilah yang sering disalahpahami dalam konteks prerogatif. Bahkan dalam perkembangannya hak itu seakan menjadi milik bersama, sehingga partai atau kelompok tertentu merasa berhak marah, kecewa, dan protes terhadap presiden atas langkah reshuffle dan susun ulang kabinet yang dilakukan SBY. Realitas ini merupakan konsekuensi dari hamparan kebebasan yang dirasa milik semua orang dan melampaui hak orang lain. Kebebasan menjadi kekuatan eksesif yang mencabik-cabik batas aturan main (rules of the game) yang sejatinya menjadi titik pijak bagi institusionalisasi politik. Sayangnya, kebebasan eksesif tersebut mengancam dan memperlemah institusi (weakness of the institution).

Hak prerogatif menjadi rancu ketika partai tertentu merasa dizalimi akibat reshuffle yang menimpa kadernya. Kalau mau konsisten berdasarkan kerangka aturan yang ada, maka segala keputusan presiden terkait dengan para pembantunya sepenuhnya merupakan hak istimewa presiden. Dengan demikian, semua kontrak dan deal-deal politik harus tunduk di bawah hak prerogatif yang dijamin oleh UUD tersebut. Di sinilah paradoksalitas hak prerogatif dimulai.

Paradoksalitas hak prerogatif tersebut dengan sendirinya mengaburkan esensi hak istimewa presiden. Kalau dirunut ke awal, munculnya paradoksalitas ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sikap overconfidence partai politik yang sejak awal diakomodasi dalam tubuh kabinet Indonesia bersatu. Kedua, terkait janji kampanye SBY yang akan membentuk kabinet terbatas. Ternyata dalam praktiknya kabinet yang dibentuk SBY merupakan kabinet gado-gado. Berbagai partai dilibatkan sehingga menambah percaya diri partai.

Namun pada reshuffle yang lalu partai harus kecewa, karena presiden SBY mengurangi representasi partai dan menambah unsur profesional. Atas hal tersebut beberapa partai kecewa, termasuk sebagian kader Golkar yang berharap banyak atas reshuffle jilid II ini. Rasa kecewa ini sejatinya tidak muncul apabila partai tidak terjangkit waham kebesaran yang hendak mempersempit wilayah prerogatif presiden. Kekecewaan itu kemudian diekspresikan dengan langkah-langkah diametral dari sikap sebelumnya. Bahkan PBB berencana menarik menterinya yang ada di kabinet. Walaupun secara politik sikap oposan tersebut sah-sah saja, namun oposan yang lebih disebabkan kekecewaan (emosi) yang tak berdasar bisa melahirkan kerancuan. Karena sejatinya reshuffle sepenuhnya merupakan hak prerogatif presiden. Inilah paradoksalitas atas prerogatif presiden akibat belum melembaganya nilai-nilai demokrasi.

Institusionalisasi demokrasi
Riak-riak paradoksalitas di atas dapat mengancam tatanan demokrasi yang sedang kita rayakan. Reaksi atas reshuffle yang merupakan hak prerogatif presiden akan memperlemah proses institusionalisasi demokrasi. Dan fenomena ini tidak hanya terjadi dalam kasus reshuffle. Beberapa aspek lainnya cenderung terjangkit virus pelemahan pelembagaan demokrasi akibat intervensi.

Perlawanan atas pemberantasan korupsi yang dikumandangkan Presiden dan pengangkangan otoritas dan ranah eksekutif oleh legislatif merupakan bukti rapuhnya proses institusionalisasi demokrasi. Belajar dari proses reshuffle yang selalu memunculkan kegaduhan dan mengganggu kinerja para menteri diperlukan rekonstruksi atas tata kelola demokrasi yang ada selama ini.

Kita sering berhenti pada demokrasi sebagai prosesi dan tak berpijak pada substansi. Akibatnya kita hanya bisa mempromosikan demokrasi tanpa makna bagi kehidupan nyata warga negara. Kita terjebak pada simbol-simbol demokrasi tanpa isi. Akibatnya rakyat tak pernah merasakan manfaat sejati dari demokrasi.

Prosesi demokrasi yang hambar di mata rakyat ini bisa menjadi bumerang bagi demokrasi itu sendiri. Apalagi salah satu pilar demokrasi, yaitu partai politik, mulai kehilangan martabatnya di mata rakyat. Dari hasil survei LSI, Maret 2007, menunjukkan degradasi representasi parpol di mata rakyat. Parpol kini hanya menyisakan 35% kepercayaan masyarakat sebagai modal eksistensinya.

Krisis kepercayaan di satu sisi dan rapuhnya proses institusionalisasi demokrasi di sisi lain menjadi ancaman cukup serius di tengah transisi sosial saat ini. Kita akan kehilangan arah dalam pelayaran reformasi apabila fenomena ini dibiarkan atau dianggap angin lalu. Dan gejala ke arah tersebut terlihat jelas dalam beberapa fakta di atas, termasuk dalam konteks reshuffle.

Sungguh ironis apabila pengorbanan nyawa dan raga para peramu reformasi harus sia-sia akibat ketakbecusan kita mengawal reformasi. Revitalisasi fungsi masing-masing lembaga demokrasi dan menaati aturan main yang telah disepakati merupakan salah satu wujud merawat reformasi. Inilah yang oleh de Tocqueville disebut the art of associating together. Kalau tidak, reformasi tak kan pernah mekar dan bersemi baik secara institusi apalagi substansi. Ia mati sebelum bereksistensi.*

No comments: