Saturday, November 10, 2012

Bali Democracy Forum



Opini

BDF dan Ajal Perdamaian di Era Warm Peace
SUARA PEMBARUAN, Kamis, 8 November 2012

A Bakir Ihsan

Perhelatan Bali Democracy Forum (BDF) 8-9 November 2012 kali ini menjadi catatan menarik di tengah arus demokrasi yang tak terbendung di satu sisi, dan kecenderungan konflik dalam beragam bentuknya yang bergulir berbarengan di sisi yang lain. Baik demokrasi yang sedang bertiup di Timur Tengah maupun demokrasi yang sedang kita jalankan, selalu menyisakan konflik di dalamnya. Bahkan pada titik tertentu konflik mengarah pada instabilitas politik yang menghambat arah konsolidasi demokrasi. Karena itu, menjadi sangat relevan bila salah satu tema diskusi dalam BDF kali ini menyinggung masalah keamanan dan perdamaian dalam demokrasi. Masalah perdamaian dalam demokrasi menjadi agenda penting di tengah superioritas dan ketimpangan relasi baik pada ranah negara maupun dunia.
Dalam Sidang ke-67 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 25/9 lalu, Presiden SBY menekankan pentingnya perdamaian dan penataan konflik global. “How we can find better ways to peacefully resolve or manage conlicts around the the world.” Kemajuan berbagai bidang kehidupan saat ini, menurut SBY, tidak berbanding lurus dengan perdamaian. Antagonisme dan kekerasan masih terjadi. Bahkan, menurut Presiden, dalam beberapa hal, watak perang dingin masih mewarnai perdebatan-perdebatan dalam forum internasional, termasuk di dalam tubuh PBB sendiri. “the remnants of Cold War mentality still persist in parts of the geopolitical landscape, not least our own United Nations.”
Kalau ditarik pada konteks demokrasi, pernyataan Presiden SBY tersebut memotret adanya paradoksalitas antara semangat berdemokrasi (kebebasan) di satu sisi dan kecenderungan diskriminasi di sisi lain.  Dunia masih terancam oleh beragam konflik kawasan di tengah era yang, Presiden SBY sebut sebagai, “warm peace.” Yaitu sebuah era yang belum sepenuhnya bisa memastikan perdamaian pasca berakhirnya perang dingin (cold war). Kekerasan antar negara, intern negara, maupun pada ranah sosial terjadi dalam beragam bentuknya baik secara kultural maupun struktural.

Kesenjangan Persepsi
Kekerasan tentu bukan cacat bawaan demokrasi. Dalam sistem apapun konflik selalu ada, bahkan pada titik tertentu mengancam terhadap integrasi politik sebuah negara, terlebih di era warm peace  saat ini. Kita bisa menyaksikan beberapa konflik dan kekerasan dengan beragam faktornya. Intervensi satu negara kepada negara lainnya, seperti di Afghanistan dan Irak, “perang” antara pemerintah dan rakyat, seperti di Suriah, penindasan oleh negara terhadap rakyatnya seperti di Myanmar, konflik Israel-Palestina, ketegangan di Semenanjung Korea, konflik laut China Selatan, dan ketegangan Suriah-Turki adalah potensi yang bisa membalikkan langkah perdamaian menuju kekerasan global. Belum lagi, kekerasan antar masyarakat (horisontal) akibat beragam kesenjangan baik dalam aspek ekonomi, politik, maupun budaya.
Komitmen Presiden SBY dalam hal perdamaian merupakan komitmen ideal yang berhadapan dengan kesenjangan persepsi tentang perdamaian. Kehendak dan mimpi mulia tentang perdamaian berjarak dengan perdamaian itu sendiri. Atau meminjam istilah Kishore Mahbubani (2008) dengan mengutip Pratap Bhanu Mehta, sebagai open society with closed minds. Masyarakat secara budaya, ekonomi, politik, terbuka seiring arus globalisasi, namun pemikiran mereka masih bertahan dengan egosentrisme dan paternalismenya.
Akibatnya, keterbukaan masyarakat yang tidak dibarengi keterbukaan pemikiran dan sikap, menyebabkan suburnya konflik dan kekerasan. Melalui akses internet (teknologi informasi) orang bisa menonton film, membaca dokumen, menafsirkan kenyataan atau pernyataan yang justru membangkitkan kemarahan dan aksi anarkis karena sentimen agama, kelompok, maupun golongan. Melalui media sosial, orang menjadi pemarah karena penafsiran eksklusif terhadap fakta yang didapatnya.
Peran media yang membuat manusia terbuka (inklusif) dalam informasi adalah tahapan untuk menciptakan manusia dalam satu rasa untuk berdamai. Namun kemampuan masyarakat dalam membaca, menelaah, dan memahami teks dan informasi yang masih tertutup (eksklusif) menjadi kendala tersendiri yang bisa membalikkan arah perdamaian. Inilah warm peace sebagai tahapan pasca cold war (perang dingin) yang seharusnya bisa memperkuat perdamaian, tapi bisa juga berbalik mempercepat ajal perdamaian.

Persekutuan damai
Problem pembacaan masyarakat, termasuk pemerintah bahkan negara, dalam upaya menciptakan perdamaian merupakan agenda yang mendesak diselesaikan. Terjadinya kekerasan pada level sosial menunjukkan adanya problem kultural dan struktural. Egosentrisme dan paternalisme menjadi basis potensi konflik. Begitu juga pada level negara. Kekerasan yang melibatkan negara mengindikasikan kegagalan negara menerjemahkan dirinya sebagai jalan damai di antara keragaman sosial. Demokrasi sejatinya bisa mengurai silang sengkarut konflik melalui kebebasan untuk memperat simpul titik temu.
Tantangan inilah yang dihadapi oleh berbagai negara dalam mendorong perdamaian, terlebih di era warm peace ini. Karena itu, diperlukan beberapa pijakan kuat dalam mendorong perdamaian global dengan tetap mendorong proses konsolidasi demokrasi. Pertama, pada level global, yang terepresentasi pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perlu penguatan serius untuk menciptakan kesetaraan (equality). Paling tidak, kesetaraan relasi antar negara harus tercipta dalam bentuknya yang paling sederhana, seperti dalam dialog dan perdebatan yang saling menghargai. Seperti disampaikan Presiden SBY di depan sidang umum PBB, suasana superioritas negara-negara tertentu masih mewarnai dalam sidang-sidang PBB, karenanya harus segera diakhiri. Dengan equalitas, masing-masing negara punya hak yang sama untuk bersama-sama menciptakan perdamaian.
Kedua, pada level negara, seiring demokratisasi dan otonomi daerah, maka masing-masing lembaga harus memaksimalkan fungsinya untuk meminimalisasi antagonisme kelembagaan yang memancing kekerasan dalam masyarakat. Lembaga-lembaga negara, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, harus bersinergi dalam rangka “mendamaikan” beragam kepentingan di tengah kemajemukan masyarakat. Begitu juga pada level global. United Nations, sebagai persekutuan untuk bersama mencegah perang dan kekerasan baik yang bersifat terbuka maupun tersembunyi harus bekerja maksimal untuk perdamaian dunia sebagai jalan meretas ketegangan antar negara.
Ketiga, persekutuan baik pada level global (PBB) maupun nasional (negara) bukan jaminan perdamaian. Fakta kekerasan dalam beragam tingkatan dan bentuknya memperkuat rentannya persekutuan. Karena itu, dialog yang selama ini dilakukan baik pada level internasional, nasional, maupun lokal untuk menjembatani beragam kepentingan sekaligus meminimalisasi konflik harus diikuti kerjasama seluruh stakeholder dalam satu benang merah pada semua tingkatan.
Keempat, di era keterbukaan ini, perlu penyamaan persepsi dan pemahaman secara terbuka tentang konflik dan perdamaian.  Dialog mensyaratkan kesetaraan dan keterbukaan. Karena itu, melalui dialog yang intens, masing-masing orang atau lembaga bisa duduk bersama, memahami batas-batas “sensitivitas” sebagai bagian dari fatsun dalam kehidupan sosial, termasuk dalam hal keagamaan. Dengan demikian, orang atau masyarakat tidak mudah tersinggung, terhasut, dan terprovokasi di tengah arus demokrasi yang membuka luas ruang ekspresi dan di tengah arus informasi yang memberi peluang semua orang menyerap beragam informasi dengan segala kepentingannya. Di sinilah BDF dapat memberi sumbangsih bagi penurunan tensi warm peace menuju perdamaian sejati. Semoga.*



No comments: