Wednesday, February 14, 2007

Opini

Legalisasi Uang Anggota Dewan
Koran Tempo, Rabu 14 Februari 2007

A. Bakir Ihsan

Masyarakat seperti keranjang sampah bencana. Di tengah bencana yang bertubi-tubi, masyarakat harus berduka atas ulah para wakilnya yang sibuk mengurusi tunjangan pribadinya berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 2006 tentang kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD. Walaupun pasal 14 huruf d terkait tunjangan yang sangat kontroversial dicabut (direvisi), namun hal tersebut masih disikapi beragam. Pada Senin (12 Februari), sekitar seribu anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota mendatangi gedung DPR, jakarta, untuk memprotes revisi tersebut.

Persoalan sebenarnya bukan pada pencabutan pasal atau pengembalian rapelan, namun kecenderungan money oriented di kalangan anggota dewan mulai dari pusat sampai daerah tak pernah lekang. Dalih mereka sangat mulia, yaitu untuk kepentingan rakyat. Ironisnya, rakyat tak pernah merasakan manfaatnya. Terbukti rakyat lebih sering menyuarakan kepentingannya melalui aksi demonstrasi, bukan melalui jalur anggota dewan sebagai wakilnya.

Misi PP 37 tersebut pun sangat mulia, yaitu untuk mencegah terperangkapnya anggota dewan di daerah dari jaring-jaring korupsi. Namun sayangnya PP ini menjadi tempat berlindung atas upaya legalisasi berbagai langkah anggota dewan untuk mendapatkan fasilitas tanpa terjebak dalam jerat korupsi, sebagaimana terjadi pada masa sebelumnya.

Krisis Kepercayaan
Peraturan-peraturan yang terkait dengan fasilitas anggota dewan selalu mendapat reaksi keras. Reaksi ini muncul akibat krisis kepercayaan rakyat terhadap para wakilnya. Belum hilang dalam ingatan kita, perilaku anggota dewan yang terjerat dalam korupsi berjamaah. Belum terhapus dari memori kita anggota dewan yang lebih suka studi banding daripada turun langsung pada rakyat. Belum lagi cacat moral yang selalu menerpa anggota dewan mulai perselingkuhan sampai perjudian.

Kenyataan ini mementahkan kembali mimpi kita tentang demokrasi yang meletakkan DPR/DPRD sebagai salah satu pilarnya. Ia sejatinya menjadi gerbang akhir bagi konsolidasi demokrasi, karena dari lembaga ini proses kekuasaan diawasi, seluruh kebijakan diseleksi, dan anggaran negara disetujui. Namun apa lacur, pilar demokrasi tersebut ternyata berdiri sejajar dengan rasionalisasi untuk menguras uang negara. Konsolidasi demokrasi terhambat oleh ulah anggota dewan yang lebih memberdayakan diri dengan memperdaya rakyat. Mereka terjebak dalam elitisme yang tercerabut dari akarnya dan sensitivisme yang mati.
PP 37/2006 hanyalah puncak gunung es dari problem relasi eksekutif-legislatif. Di dalamnya terkandung potensi perselingkuhan untuk meraih keuntungan bersama dengan mengorbankan nasib rakyat. Potret DPRD merupakan serpihan dari potret besar yang terjadi di Senayan yang mengedepankan “main mata” dengan penguasa dari pada rakyat jelata. Wajar apabila citra anggota dewan tak kunjung baik di mata publik. Masyarakat mempersepsi para wakilnya tak lebih sebagai lumbung korupsi sebagaimana dilansir Transparency International Indonesia (TII), berdasarkan survei Global Corruption Barometer (GCB).

Tak ada yang istimewa dari hasil survei tersebut, kecuali memperkokoh stigma bahwa moralitas semakin jauh dari para wakil rakyat. Wajar apabila anggota dewan khawatir survei ini akan mendelegitimasi eksistensi parlemen. Sebuah kekhawatiran yang tak perlu bila tak ada tingkahlaku. Bisa saja survei tersebut dibantah melalui beragam argumen anggota dewan, namun (opini) publik tak bisa dibohongi. Publik hanya menangkap citra dan hanya bisa dibantah melalui pencitraan sikap dan perilaku anggota dewan sendiri.

Opini publik muncul berdasarkan asumsi bahwa lembaga perwakilan rakyat merupakan lumbung uang. Persepsi ini mungkin tidak sepenuhnya benar, karena para anggota dewan tak punya anggaran besar. Menurut Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR, Gayus Lumbun, DPR hanya mengelola 0,3 persen dari keseluruhan APBN. Namun yang tak bisa dipungkiri anggota dewan “mengendalikan” anggaran (fungsi budgeting) negara. Para wakil rakyat menjadi pintu masuk uang yang mengalir dari ragam kegiatan mulai dari rapat komisi, serap aspirasi sampai studi banding keluar negeri. Intinya uang anggota dewan tak pernah kering.

Namun mengapa di saat uang (fasilitas) terus mengalir, indeks korupsi tambah bergulir. Di sinilah kita harus membalikkan asumsi yang selama ini diyakini pemerintah dan anggota dewan bahwa dengan anggaran yang besar, kinerja bisa lebih bagus dan korupsi bisa diatasi. Asumsi ini tak terbukti. Justru sebaliknya. Kenaikan fasilitas dan anggaran berbanding lurus dengan indeks korupsi. Sebagaimana diketahui indeks korupsi yang terjadi di lembaga wakil rakyat mengalami peningkatan dari 4,0 (2005) menjadi 4,2 (2006). Dari sini kita bisa membedah geneologi korupsi di ranah para wakil rakyat tersebut di tengah euforia demokrasi.

Tanpa kontrol
Demokrasi yang berhasil kita bangun dengan segala turunannya ternyata menyebarkan penyakit korupsi. Otonomi dan desentralisasi kekuasaan melahirkan dampak ikutan berupa korupsi yang tak terkendali. Demokrasi dan korupsi seperti sebuah sintesa yang saling berkejaran mengikuti irama kekuasaan. Ketika rezim otoriter yang sentralistik dipraktikkan oleh Orde Baru, korupsi pun menyempit di lingkungan istana dan cendana. Sebaliknya kini, ketika desentralisasi dan demokrasi disebar, korupsi pun menjalar ke berbagai jalur.

Sejak reformasi dimulai, lembaga legislatif dari pusat sampai daerah menjadi altar kekuasaan sejati bereksistensi. Ia merupakan lembaga superbody karena lingkup otoritasnya hampir tak terbatas. Mulai budgeting, legislasi, sampai kontrol kekuasaan (eksekutif). Lingkup kekuasaan yang luas tersebut wajar, karena sejatinya mereka adalah “penyambung lidah rakyat”.

Dengan lingkup otoritas yang serba mencakup dan hampir tanpa kontrol ini, kenaikan indeks korupsi menjadi sebuah keniscayaan. Di sinilah kaidah Lord Acton; power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely berlaku. Untuk menghindari jaring-jaring korupsi, para anggota dewan melakukan legalisasi praktik-praktik menyimpang melalui rasionalisasi anggaran. Ini merupakan bentuk penyimpangan kekuasaan (abuse of power) yang sejatinya dipersembahkan untuk rakyat.

Atas otoritas anggota dewan yang begitu eksesif, ia bisa menentukan besar-kecilnya anggaran di masing-masing departemen. Di sinilah wilayah gelap (black box) percumbuan antara legislatif dan eksekutif untuk meraup keuntungan bersama terjadi. Wajar apabila muncul istilah komisi basah di antara komisi-komisi yang ada di lembaga terhormat tersebut. Kenyataan ini merupakan cacat bawaan demokrasi yang tidak dibarengi penguatan budaya politik masyarakat yang terimplementasi dalam bentuk kontrol kuat terhadap perilaku para wakilnya.

Dengan demokrasi langsung dan perangkat hukum dan lembaga yang memadai bahkan dengan langkah-langkah terobosan yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sejatinya mampu membuat efek jera para koruptor. Paling tidak menjadi shocktherapy bagi semua pihak untuk berhati-hati dalam bertindak dan mengambil kebijakan. Namun hal tersebut belum sepenuhnya terealisasi. Tak berlebihan apabila Huguette Labelle, Ketua Transparency International, menyatakan di tengah negara berhasil melahirkan hukum dan peraturan anti korupsi, korupsi mengungkung jutaan warga dalam kemiskinan.

Rekonstruksi parpol
Kalau mau bercermin pada pengalaman negara-negara lain yang berhasil meminimalisasi tindak korupsi, seperti Cina, maka di tengah perangkat hukum dan lembaga yang cukup lengkap, diperlukan keberanian dan ketegasan untuk menindak para pelaku korupsi tanpa pilih kasih, termasuk anggota parlemen dan kepala daerah yang sering berlindung di balik partai-partai besar. Di sinilah masalahnya muncul. Pemerintah, termasuk Presiden SBY, harus berhitung seribu kali untuk mengambil tindakan tegas terhadap para koruptor yang memiliki ikatan kuat dengan partai politik besar.

Kenyataan ini terjadi karena kapasitas otoritas partai politik yang tak terbatas. Ia mengendalikan seluruh proses politik kekuasaan di negeri ini. Kecuali dalam kasus Aceh, seluruh jabatan politik mulai presiden sampai kepala daerah harus melalui seleksi partai.

Dalam kondisi demikian, diperlukan rekonstruksi kekuasaan parpol yang over ekstensif. Salah satu upaya ke arah tersebut adalah mengembalikan kekuasaan (kedaulatan) pada rakyat dengan memberi peluang bagi munculnya calon independen. Parpol harus diletakkan sekadar alat menifestasi kehendak rakyat melalui sistem rekrutmen anggota dewan secara terbuka dan langsung (proporsional terbuka murni). Masyarakat harus diberi kesempatan untuk memilih secara bebas para wakilnya di DPR dan calon terbanyaklah yang menjadi anggota dewan, tanpa terikat nomor urut. Dengan demikian, pilihan atau suara rakyat tidak terdistorsi oleh calon yang berada di urutan atas, sebagaimana yang terjadi pada pemilu 2004 lalu.

Dengan cara ini, para calon anggota legislatif (sebagai wakil rakyat yang berfungsi kontrol) akan berjuang sekuat tenaga untuk meraih simpati rakyat. Konsolidasi calon anggota dewan bukan lagi pada elit partai, tapi pada rakyat bawah. Cara ini juga menjadi pintu masuk bagi munculnya potensi-potensi lokal yang selama ini tergerus oleh hegemoni kekuasaan pusat partai.

Apakah sistem ini dengan sendirinya akan mengeliminasi korupsi? Inilah pertaruhan terakhir bagi demokrasi agar ia betul-betul menjadi antitesa korupsi. Dengan demokrasi yang mengedepankan transparansi dan koreksi, korupsi seharusnya teratasi. Kalau tidak, maka demokrasi hanya menjadi alat bagi konsolidasi korupsi melalui legalisasi yang mengamputasi aspirasi rakyat.*

No comments: