Thursday, June 07, 2007

Opini

Politik Representasi Partai Politik
Koran Tempo
, Kamis, 7 Juni 2007

A. Bakir Ihsan

Salah satu problem sistem presidensial kita adalah kerancuan aplikasinya: presidensial berwajah parlementarian. Di antara penyebabnya adalah otoritas partai politik yang begitu eksesif mengendalikan eksekutif. Seluruh nafas kekuasaan tak bisa lepas dari jaring-jaring otoritas parpol. Karenanya menarik dianalisa ketika Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berusaha menarik tali demarkasi terkait representasinya di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Sebagaimana diberitakan, rapat pleno gabungan DPP PKB “melepaskan” Lukman Edy, menteri negara Pembangunan Daerah Tertinggal, sebagai sekjen sekaligus representasi PKB di KIB. Hal yang sama berlaku juga untuk Erman Suparno (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) dan Zannuba Arifah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny) sebagai staf khusus Presiden. Sejak terpilih menjadi Sekjen, PKB menarik Yenny dari staf khusus presiden (Koran Tempo, 26/5)

Keputusan PKB ini mengandung tiga konsekuensi. Pertama, para kader PKB di kabinet tidak memiliki ikatan struktural dengan partainya sehingga mereka punya ruang luas untuk mencurahkan segala kompetensinya bagi kepentingan negara. Ini berbeda dengan beberapa parpol lainnya yang justru menempatkan ketua umumnya di jajaran kabinet.

Kedua, parpol (PKB) tidak memiliki tanggung jawab (beban) pembelaan atau dukungan atas segala kebijakan yang diambil kadernya di kabinet. PKB dapat mengambil sikap atas kebijakan pemerintah sesuai dengan arahan partai.

Ketiga, bagi-bagi kursi politik (kabinet) pada partai menjadi tidak terlalu signifikan bagi eksistensi pemerintahan Yudhoyono. Dengan kata lain, dukungan partai tidak sepenuhnya menjadi jaminan bagi efektivitas kerja eksekutif. Terbukti beberapa partai yang memiliki perwakilan di kabinet tetap menunjukkan “sikap kritisnya” pada kebijakan pemerintah.

Dilema
Dalam sistem politik yang berbasis pada sistem presidensial, sejatinya presiden memiliki kekuatan penuh menentukan warna-warni kabinetnya. Namun yang terjadi, presiden harus “berbaik hati” dalam mengagregasi kepentingan parpol. Mengapresiasi berbagai aspirasi, tentu merupakan sikap demokratis agar semua representasi dapat diakomodasi. Namun di sisi lain, sikap ingin menyenangkan semua pihak ini berdampak pada terkurasnya energi presiden atas kepentingan pragmatis parpol. Sementara banyak agenda lain yang tak kalah pentingnya bagi kepentingan rakyat.

Eksistensi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) mencerminkan representasi politik multipartai. Dukungan yang diberikan parpol terhadap Yudhoyono pada pemilu 2004 menjadi jasa yang tak mungkin diabaikan. Lebih-lebih Yudhoyono sendiri berasal dari partai baru yang belum memiliki akar kuat di Senayan. Oleh sebab itu, mencari tambahan partner (kongsi) politik di Senayan menjadi alternatif yang tak terelakkan.

Kongsi politik tentu tidaklah kekal. Ada saatnya ia melebur, ada saatnya pula bubar. Inilah yang terlihat dalam reshuffle jilid II. Peran parpol pendukung mulai disusutkan sesuai dengan konstelasi politik yang ada. Hal ini terutama dirasakan oleh Partai Bintang Bulan (PBB).
Kalau berdasarkan kalkulasi dan konsistensi representasi politik sejatinya pencopotan kader PBB dicarikan gantinya dari PBB juga. Hal ini sebagaimana dialami PKB. Namun yang terjadi sebaliknya. Justru jatah tersebut diberikan pada partai lain (PAN untuk posisi Mensesneg) yang memiliki dukungan lebih besar di Senayan.

Pilihan representasi multipartai ini sebenarnya agak riskan melihat sikap para anggota dewan dari parpol pendukung tidak sepenuhnya mensuport kebijakan pemerintah. Kita bisa melihat beberapa anggota dewan yang bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah justru berasal dari partai yang menjadi pendukungnya. Seperti PAN dan Golkar dalam kasus dukungan Indonesia terhadap resolusi DK PBB 1747 terkait nuklir Iran. Begitu juga dalam kasus impor beras yang ditentang keras oleh PKS yang beberapa kadernya tetap dipertahankan di kabinet.

Fenomena ini akan tetap berlangsung selama kongsi politik dibiarkan di atas altar yang begitu luas (koalisi tak terbatas). Parpol akan memainkan kartu truf atas nama koalisi-kritis yang sesungguhnya tak lebih sebagai taktik bargaining parpol terhadap kekuasaan. Hal ini sekaligus kurang menguntungkan bagi efektivitas policy pemerintah. Kongsi politik sejatinya melahirkan win-win solution atau simbiosis-mutualistik secara politik bagi pemerintah dan partai. Dan itu dimungkinkan apabila kursi politik di kabinet dibangun secara terbatas (koalisi terbatas) sebagaimana yang diidamkan Yudhoyono ketika Pilpres lalu. Kongsi terbatas ini dengan sendirinya akan memudahkan penyamaan persepsi terhadap sebuah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah.

Split loyalty
Sulit dimungkiri bahwa presiden Yudhoyono memerlukan dukungan politik parpol. Siapapun presidennya, selama UU Politik tetap meletakkan partai sebagai pintu tunggal meraih kekuasaan, maka parpol akan selalu menjadi penentu. Keterlibatan multipartai di dalam kabinet saat ini menjadi bukti urgensi parpol di mata presiden.

Sayangnya parpol memahami posisi kadernya di kabinet sebagai representasi dan lumbung obsesi parpol. Konsekuensinya para kader di kabinet lebih kental identitas kepartaiannya daripada eksistensi dirinya sebagai abdi negara. Inilah yang menyebabkan terjadinya split loyalty atau loyalitas ganda yang dapat menghambat kinerja pemerintah. Hal ini tidak saja terjadi di lingkaran kabinet, tapi juga di jajaran kepala daerah sehingga menghambat komunikasi pemerintah pusat dengan daerah. Dampak lebih jauh dari loyalitas kepartaian ini adalah lambannya akselerasi pembangunan (program pemerintah) bagi kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Dalam kondisi demikian, keputusan PKB di atas bisa dimaknai secara positif dalam konteks pembelajaran politik. Yaitu bahwa semua kader partai yang masuk di kabinet atau menjadi abdi negara harus melepaskan (dilepaskan) identitas kepartaiannya. Sehingga kader tersebut bisa berkreasi sesuai kompetensinya tanpa intervensi kepentingan parpolnya. Para kader partai yang terpilih menjadi abdi negara harus mentrasformasikan loyalitasnya dari partai ke negara. Di sinilah prinsip my loyalty to my party ends, when loyalty to my country begins ditegakkan. Dengan demikian, representasi multipartai di kabinet tidak akan menjadi problem dalam sistem presidensial ketika loyalitasnya dipersembahkan hanya untuk rakyat.*

2 comments:

Oman Fathurahman said...
This comment has been removed by the author.
Oman Fathurahman said...

Bakir, selamat atas berbagai tulisannya yah, keep writing....Salam