Thursday, November 15, 2007



Opini

Parade Kuasa Tua-Muda
Koran Tempo
, Kamis 15 November 2007

A. Bakir Ihsan

Kekuasaan di negeri ini mengalami surplus. Setiap orang merasa punya hak untuk “merebut” kekuasaan. Dan itu dijamin oleh undang-undang. Tapi undang-undang juga mengatur regularitas kekuasaan itu secara periodik. Aturan main ini yang sering alpa di tengah euforia kuasa. Sehingga sepanjang masa kekuasaan selalu menjadi fokus yang diwacanakan, diperdebatkan, dan diperebutkan.

Beberapa waktu lalu (28/10) kaum muda mengaklamasikan; saatnya kaum muda memimpin. Tiga hari kemudian (31/10) para orangtua mendeklarasikan Komite Bangkit Indonesia (KBI). Keduanya mengkritik kekuasaan yang dinilainya telah menyebabkan rakyat sengsara. Yang beda, faktor penyebabnya. Kaum muda menuduh kekuasaan kaum tua (gerontokrasi) sebagai penyulut kegagalan, karenanya harus diregenerasi. Sementara KBI mengkritik kepemimpinan negeri ini sebagai penyebab kegagalan negara mensejahterakan rakyat.

Baik kritik kaum muda maupun KBI terjebak pada eksklusivisme. Kritik pertama lebih pada standarisasi (eksklusivitas) usia, sementara yang kedua pada eksklusivitas isu (kekuasaan). Namun kritik yang kedua ini bersifat ambigu, karena di antara partisan KBI pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang juga memberi saham bagi kegagalan negeri ini. Dengan demikian, kritik KBI sebenarnya buruk muka cermin dibelah.

Perubahan semu
Gerakan kaum muda sering didasarkan pada legitimasi historis yang menunjukkan peran pemuda dalam perubahan arus sejarah. Mulai sumpah pemuda sampai reformasi. Kaum muda menjadi penabuh perubahan. Tapi sayang perubahan berhenti pada perubahan. Perubahan menjadi antiklimak dari gerakan kaum muda. Konsekuensinya, perubahan tak menyisakan makna yang signifikan bagi kontinuitas eksistensi kaum muda itu sendiri. Bahkan kini kaum muda hanya bisa menuntut, bukan berbuat untuk perubahan.

Di sini sebenarnya tercipta pembelajaran sejarah bahwa perubahan bukanlah tujuan. Ia hanya alat untuk membongkar akar persoalan agar bersemi kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Ketika perubahan dijadikan tujuan, ia akan menciptakan lahan kosong yang menjadi arena bebas bagi petualang kekuasaan. Dan inilah yang terlihat kini. Kaum muda merasa kehilangan lahan ekspresi dan ekspektasi atas substansi perubahan terasa semakin sempit.

Walaupun sejarah negeri ini ditiupkan oleh semangat kaum muda, namun pada kenyataannya negeri ini masih jauh dari harapan. Soekarno dan Soeharto tampil meraih kekuasaan pada usia muda. Tapi apa yang mereka sumbangkan setelah kekuasaan mereka raih adalah fakta sejarah yang tertoreh dalam beragam warna. Namun yang pasti, kalau merujuk pada kritik KBI, semua itu berbuah kegagalan yang dirasakan sampai saat ini. Masa tua kekuasaan sering menggiring orang untuk bersikap otoriter bahkan totaliter.

Apa yang dirasakan masyarakat saat ini, sebagaimana kritik KBI, menunjukkan bahwa baik kaum tua maupun muda tak cukup memiliki referensi historis untuk melegitimasi keberhasilan mereka, kecuali perubahan semu. Dari revolusi sampai reformasi tak menyisakan apa-apa kecuali perubahan rezim, dari kolonial ke orde lama, dari orde lama ke orde baru, dan dari orde baru ke orde reformasi. Inilah fakta ketika sejarah digeneralisasi.

Karenanya, harus ada cara pembacaan yang lebih detail terhadap sejarah, sehingga bangsa ini bisa mengambil sesuatu yang baik untuk dikembangkan, dan menemukan yang buruk untuk ditinggalkan. Baik kritik KBI maupun kaukus anak muda tentang kekuasaan merupakan bentuk generalisasi yang hanya menyisakan ekspektasi pada dirinya, tidak pada orang lain (the others). Kebenaran hanya ada pada kelompoknya. Pola pandang ini cukup riskan untuk dikembangkan di tengah pluralitas yang terhampar di negeri ini.

Di sinilah standarisasi usia atau identitas sosial menjadi tak berguna. Sejarah telah membuktikan kemunculan pemimpin-pemimpin negeri ini bukan karena usia, tapi karena tuntutan sejarah. Karenanya, demarkasi usia sebagai standar perubahan sulit dipahami baik secara faktual maupun konseptual.

Keharusan sejarah
Bisa jadi gerakan yang muncul di dalam masyarakat, seperti yang dilakukan oleh sekelompok anak muda maupun tua, seperti KBI, didorong oleh kekecewaan karena ekspektasi yang luar biasa terhadap reformasi. Sejatinya kekecewaan tersebut terekspresikan melalui kerja konkret yang dapat memberi jalan keluar atas masalah yang dihadapi masyarakat.

Komitmen untuk meneruskan reformasi melalui berbagai cara tentu akan lebih efektif daripada merusak atau membongkar jalan yang sedang dibangun bersama. Pelurusan dan perubahan sistem kekuasaan yang ada sudah memiliki mekanismenya, yaitu melalui pemilu. Inilah titik penting untuk mengubah kekuasaan yang dianggap gagal. Apabila masing-masing pihak lebih sibuk dengan obsesi kekuasaannya tanpa mempedulikan mekanisme konstitusi, maka kerja-kerja kebangsaan tidak akan efektif. Bahkan bisa menyebabkan arah angin reformasi semakin lambat.

Regenerasi dari kaum tua ke yang muda sebenarnya merupakan keharusan sejarah. Dan ini sudah mulai terlihat baik di partai politik, lembaga swadaya masyarakat, maupun di dunia bisnis. Di partai politik sebagian posisi strategis sudah ditempati anak muda. Paling tidak kalangan muda menempati pengurus harian. Begitu juga di lembaga legislatif. Bahkan di beberapa daerah kaum muda tampil menjadi pemimpin daerah. Belum lagi di dunia bisnis yang saat ini dipegang oleh generasi kedua atau ketiga dari pemilik perusahaan. Bahkan muncul pengusaha-pengusaha muda baru. Dan tidak kalah pentingnya, di lingkungan LSM, tokoh-tokoh muda lebih dinamis memegang kendali bahkan sebagian menjadi pioner di level advokasi dan pendampingan masyarakat.

Berdasarkan fakta di atas, kepemimpinan penuh kaum muda tinggal menanti waktu. Dan di tengah penantian tersebut, kaum tua sejatinya menjadi inspirasi yang menumbuhkan semangat kebersamaan untuk perubahan yang lebih baik. Dan itu akan terjadi bila kaum tua mampu memberi teladan melalui perilaku politik yang jujur akan segala kekurangannya dan kuam muda jujur mengakui kelebihan kerja kaum tua. Bukan malah lempar batu sembunyi tangan.

Bahwa ada jarak antara harapan dan kenyataan reformasi, sulit kita pungkiri. Dan itulah tugas bersama (tua-muda). Kebersamaan ini penting karena reformasi bukan hak prerogatif usia muda atau kuasa kaum tua semata. Reformasi adalah ruh segala usia dan asa untuk memberi solusi bagi seluruh problem negeri ini. Dan itu akan dicapai apabila dibarengi kreasi konkret di tengah masyarakat. Kalau tidak, kita terjebak pada parade kekuasaan yang tak memberi makna apa-apa, kecuali seremonial yang memuakkan daya ingat.

No comments: