Friday, November 23, 2007



Opini

Safari Janji Megawati
Seputar Indonesia, Rabu, 21 November 2007

A. Bakir Ihsan

Sejak 18-23 November, Megawati Soekarnoputri mengadakan safari lintas Jawa dengan tema “Megawati Menyapa Rakyat”. Tak kurang 21 tempat ia lalui untuk menyapa rakyat. Sesuai temanya, acara ini sekadar menyapa. Tak berlebihan apabila juru bicara presiden mengomentarinya sebagai acara tebar pesona karena tanpa karya nyata.

Inilah atmosfer politik yang menggelayut satu setengah tahun menjelang pemilu 2009. Menurut catatan media massa, safari politik Megawati memunculkan beragam ekspresi, ada yang bangga ada yang kecewa. Bangga karena, sebagaimana layaknya kampanye, ada janji-janji di tengah penderitaan rakyat. Tentang rotan dan bawang merah yang anjlok harganya, Megawati memberi janji bahwa bila dirinya dipilih nanti, hal ini tidak akan terjadi.

Tapi ada juga yang kecewa karena Megawati tak memberikan kesempatan untuk dialog. Sebagaimana dilansir Okezone (19/11) ribuan nelayan Kota Tegal kecewa atas kunjungan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri karena tidak bersedia berdialog dua arah dengan nelayan yang didera banyak persoalan.

Beragam respon masyarakat terhadap safari politik Megawati ini menyiratkan makna bahwa kompleksitas problem yang dihadapi masyarakat tidak bisa diselesaikan oleh satu orang pemimpin atau satu periode kepemimpinan. Problem sosial mengalir dari satu rezim ke rezim berikutnya. Oleh karena itu, penyelesaiannya pun sejatinya mengikuti alur problem tersebut secara berkesinambungan. Dan itu akan terjadi apabila masing-masing pihak mau bekerjasama. Tanpa itu, maka setiap rezim akan melakukan bongkar pasang atas problem yang dihadapinya yang belum tentu bisa diselesaikan dalam satu periode kepemimpinannya.

Realitas ini saya kira dirasakan oleh Megawati karena pernah mengalami hal serupa ketika menjadi presiden. Ia mewarisi problem dari pemimpin sebelumnya dan menyisakan agenda yang harus diselesaikan oleh presiden sesudahnya, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejatinya dari pengalaman tersebut bisa dibangun sintesa penyelesaian berupa penyempurnaan atas apa yang pernah dilakukan oleh masing-masing rezim secara bersama-sama.

Konsekuensi deklarasi
Safari politik Megawati merupakan konsekuensi dari deklarasi dini pencalonannya sebagai presiden pada pilpres 2009. Karenanya aneh ketika Megawati membantah bahwa dirinya berkampanye. Tidak dipakainya simbol PDIP dalam safari ini justru bisa dipahami sebagai taktik untuk memobilisasi massa yang lebih banyak melampaui kader partainya.

Ada beberapa problem yang akan menghadang Megawati melalui safari ini. Pertama, tebar janji. Deklarasi layaknya sebuah janji yang mengharuskan implementasi. Dan kini Megawati menjawabnya melalui safari. Lagi-lagi dalam safari Megawati hanya bisa mengumbar janji yang akan diimplementasikannya, jika terpilih pada 2009, nanti. Janji-janji ini merupakan konsekuensi logis dari posisi Megawati di luar kekuasaan. Megawati tidak bisa mengambil kebijakan untuk menyelesaikan problem yang dihadapi masyarakat. Seperti dalam merespon harga bawang merah dan rotan yang rendah. Megawati hanya bisa berjanji bahwa hal ini tak akan terjadi bila dirinya terpilih nanti.

Kedua, menanam apatisme. Bisa jadi janji-janji yang diselingi kritik terhadap pemerintah dapat memupuk optimisme di kalangan masyarakat. Tapi sangat tidak menutup kemungkinan janji-janji itu justru berbuah apatisme karena mereka sadar dan tahu apa yang mereka rasakan ketika Megawati berkuasa. Apalagi rentang waktu satu setengah tahun menuju 2009 cukup lama, sehingga semua janji bisa menguap jadi mimpi.

Ketiga, menumpuk harapan. Safari dini ini secara tidak langsung menumpuk janji dan harapan. Bisa dibayangkan berapa janji yang harus Megawati tebarkan dalam safari mengelilingi Jawa ini. Belum lagi safari di wilayah luar Jawa. Janji-janji akan tumbuh sebanyak problem yang dikeluhkan masyarakat. Semakin banyak janji, semakin membuka peluang bagi menumpuknya kekecewaan-kekecewaan baru dalam masyarakat. Janji-janji akan menjadi senjata ampuh yang bisa menjadi bumerang bagi Megawati sendiri.

Menjual kegagalan
Banyak pintu masuk yang bisa dilakukan Megawati untuk mendongkrak citranya di mata publik. Salah satunya adalah memblow up kegagalan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menurut survei terakhir masih lebih unggul dibandingkan calon presiden lainnya, termasuk dengan Megawati sendiri.

Di tengah berbagai problem yang mendera masyarakat, dengan mudah orang bisa mengambil simpati. Wajar apabila orang-orang mudah terpesona dengan orang-orang yang memberi janji. Fenomena aliran sesat dengan janji-janji penyelamatan mudah menghanyutkan orang untuk “terjerumus” ke dalamnya. Begitu pun dalam politik. Para calon presiden memiliki banyak peluang dan cara untuk menghipnotis masyarakat demi kepentingan politiknya.

Namun janji-janji penyelamatan ini tidak akan bertahan lama apabila tidak diiringi oleh langkah konkret yang dirasakan langsung masyarakat. Dan untuk mewujudkan langkah konkret ini hanya bisa dilakukan apabila ada gerak bersama seluruh komponen bangsa untuk mengedepankan kepentingan negara dan bangsa daripada kelompoknya.

Inilah problem kita selama ini. Masing-masing bergerak berdasarkan kepentingan kelompok atau organisasinya. Aksi muncul ketika ada peluang, dan reaksi muncul ketika kelompoknya terancam. Menguatnya pengelompokan berdasarkan komunalitas baik agama, ideologi, ekonomi, politik justru menjadi bumerang yang akan melanggengkan problem dan krisis yang melanda negeri ini. Karenanya hanya mimpi bila para calon pemimpin (presiden) negeri ini selalu yakin dengan kemampuan dirinya dan menafikan kemampuan orang lain dalam menyelesaikan problem masyarakat yang plural ini.

Kejujuran politik
Karenanya yang dibutuhkan negara ini bukan menjual kesalahan orang lain dan menafikan kelemahan diri masing-masing. Justru perlu pembalikan cara pandang dengan mengedepankan kejujuran (transparansi) politik. Jujur mengakui keberhasilan pihak lain (pemerintah) sebagaimana jujur membongkar kekurangannya. Kejujuran ini penting, karena pada dasarnya kedua sisi (keberhasilan dan kegagalan) itu merupakan ranah kognitif yang dirasakan langsung masyarakat. Karenanya ia tidak bisa ditutup-tutupi atau dibesar-besarkan.

Kejujuran politik ini penting karena kalau membaca hasil survei tentang popularitas calon presiden 2009 masih didominasi wajah-wajah lama dengan segala track record-nya masing-masing. Ini berarti masyarakat sudah bisa menilai apa yang sudah diperbuatnya pada masa lalu. Karena itu, menjual kesalahan orang lain justru akan menjadi kontraproduktif dan ancaman bagi proses pendidikan politik kewargaan (civic education).

Politik kewargaan selama ini terancam oleh perilaku politik yang distorsif. Politik tidak lagi memberi harapan apa-apa kecuali kekecewaan demi kekecewaan. Wajah politik menjadi menyeramkan akibat perilaku politik elite yang hampa manfaat dan mengalienasi rakyat. Bahkan para wakil rakyat yang sejatinya menjadi tameng terdepan bagi aspirasi rakyat, lebih sibuk mengurus urusan internalnya, mulai studi banding ke luar negeri tanpa henti sampai aliran dana yang mengalir penuh misteri. Bila realitas ini dibiarkan, masyarakat pun tahu, kampanye politik hanya safari janji-janji.*

No comments: