Monday, July 16, 2012

Mexico, Brasil, dan Ekuador



Urgensi Diplomasi Selatan
Seputar Indonesia, Rabu, 4 Juli 2012
 
A Bakir Ihsan


Ada sinergi misi dalam rangkaian kegiatan Presiden SBY di luar negeri, mulai dari G-20 di Los Cabos, Mexico, KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, dan diplomasi bilateral di Quito, Ekuador. Upaya memperkuat relasi negara-negara berkembang (selatan) mendapatkan apresiasi dari beberapa pemimpin dunia, khususnya dari ketiga negara tersebut. Bukan sekadar karena ketiga negara yang dikunjunginya memiliki visi politik yang mirip, kalau bukan sama, tapi juga visi yang dibawa SBY sejak sebelum menginjak ketiga negara tersebut sudah terbaca jelas.
Dalam beberapa kesempatan Presiden SBY menjelaskan posisi Indonesia di tengah menguatnya neoliberalisme di satu sisi dan krisis yang melanda negara-negara maju di sisi lain. Sejak awal Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai “jalan tengah” di antara ragam dan tarik menarik kepentingan. Indonesia secara tegas menuntut kepeduliaan dan perhatian negara maju untuk mendukung keberhasilan negara berkembang. Negara maju tidak bisa hanya meminta negara berkembang melestarikan lingkungan, tanpa memberi peluang bagi negara berkembang untuk mengeksplorasi diri mencapai kemajuannya. Sebaliknya, negara berkembang harus berjuang keras untuk mencapai kemajuannya khususnya mewujudkan green economy dan blue economy
Ketika di Mexico, Presiden SBY memperkuat komitmen dalam bidang financial inclusion yang memberi ruang eksplorasi bagi usaha kecil dan menengah untuk mengembangkan perekonomiannya melalui kebijakan yang berpihak.
Di Brazil, Presiden menekankan pentingnya keadilan global yang ditunjukkan oleh keseriusan negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang memajukan perekonomian, sembari negara-negara berkembang merawat hutan dan lautnya sebagai jantung kehidupan.
Sementara di Ekuador, Presiden mempererat kerjasama dalam bidang investasi di tengah krisis yang melanda Eropa. Kerjasama antar negara-negara selatan atau berkembang menjadi momentum untuk membuktikan pada dunia bahwa tak ada lagi superioritas negara-negara maju (utara) terhadap negara-negara selatan. Sudah waktunya negara-negara selatan menoleh ke samping dan ke selatan setelah sekian lama terpesona dengan negara-negara Utara. Utara bukan segalanya, bahkan sebagian harus bertarung menghidupi dirinya kini.
Ketiga negara tersebut kebetulan merupakan negara-negara selatan yang memiliki kekuatan penting di daratan Amerika Latin. Sementara Indonesia sebagai negara terbesar dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang paling baik di kawasan ASEAN menjadi kunci untuk membentuk kaukus transpasifik dengan Amerika Latin yang belakangan menjadi ikon perlawanan berhadapan dengan hegemoni global.

Tak Sekadar Uang
Selama ini relasi antar negara lebih banyak digerakkan oleh kepentingan ekonomi. Sehingga yang menjadi fokus dari relasi tersebut adalah memaksimalkan mengambil keuntungan ekonomis daripada aspek lainnya. Dalam kondisi krisis ekonomi global saat ini, seharusnya orientasi tersebut bergeser dan direkonstruksi bagi kepentingan yang lebih besar.
Harus ada visi global yang menempatkan kepentingan dunia sebagai titik pijak yang setara. Inilah yang ditekankan oleh Presiden Ekuador, Rafael Correa Delgado dalam merespon kerjasama bilateral dengan Presiden SBY. Menurut Correa, walaupun hubungan bisnis dengan Indonesia tidak sebesar dibandingkan dengan negara lainnya, namun kesamaan visi untuk memperkuat selatan dan bersuara kritis konstruktif terhadap dominasi dan hegemoni negara maju jauh lebih penting. Investasi bisnis hanya bagian dari sinergi visi yang bisa termanifestasikan dalam beragam bentuk. Apalah arti investasi tinggi bila yang terjadi adalah relasi eksploitatif yang menguntungkan salah satu pihak.
 Karena itu, yang mendesak dilakukan untuk memastikan relasi yang tidak melulu ekonomi adalah membangun kesamaan visi tentang kehidupan yang lebih baik. Langkah konkret yang seharusnya diwujudkan adalah mendorong pencapaian target MDGs yang sampai saat ini lebih separuh negara-negara di dunia masih menunggaknya. Dari delapan target MDGs hampir semuanya masih jauh panggang dari api. Baik dalam hal pengurangan angka kemiskinan, penyediaan pendidikan, kesetaraan gender, maupun masalah lingkungan hidup.
Krisis yang terjadi saat ini justru karena agenda MDGs itu lebih ditarik pada kepentingan ekonomi an sich. Krisis lingkungan hidup misalnya terjadi karena adanya kepentingan untuk mengambil keuntungan dengan mengeksploitasi alam. Pendidikan menjadi semakin tak terjangkau karena aspek bisnis lebih diutamakan daripada substansi pembebasan dari kebodohan. Begitu juga kemiskinan dan agenda-agenda kemanusiaan lainnya.
Konsekuensinya, di tengah krisis ekonomi yang sedang berlangsung saat ini, sedikit banyak ikut memperlambat pencapaian target MDGs pada 2015. Karena itu, target MDGs tak bisa diharapkan terjawab pada 2015 sebagai batas akhir program tersebut. MDGs harus terus dilanjutkan dalam bentuk SDGs (Sustainable Development Goals) untuk memastikan pencapaiannya dengan reorientasi pada aspek substansi yang holistik, bukan pada ekonomi semata. 

Langkah komprehensif
Salah satu penekanan menarik yang dilontarkan Presiden SBY dalam Konferensi Rio+20 adalah komprehensivitas dalam upaya menjawab  problem ancaman lingkungan alam melalui blue economy. Konsep ini sebenarnya pelengkap dari green economy yang lebih menitiktekankan pada ekosistem darat. Alam tidak bisa dilihat hanya satu aspek (darat), tapi secara keseluruhan, termasuk ekosistem laut, yang akan menentukan nasib bumi.
Gagasan ini menarik untuk memastikan langkah komprehensif dalam penyelesaian problem global yang selama ini fokus pada persoalan tertentu, khususnya aspek ekonomi, dan lupa pada persoalan lain yang sejatinya memberi andil terhadap kebaikan alam. Karena itu, evaluasi sinergis harus dilakukan secara holistik baik secara internal dalam konteks kehidupan nasional maupun secara eksternal dalam konteks relasi antar negara.
Karena problem pencapaian target MDGs di setiap daerah dan di masing-masing negara berbeda-beda, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah pertama, memilah target-target yang belum tercapai. Kedua, mencari faktor-faktor penyebab kegagalan atau belum tercapainya target tersebut. Ketiga,  mencari strategi bersama untuk mengatasi kegagalan tersebut.
Ketiga langkah ini menunutut keseriusan pemerintah melalui kebijakan yang berpihak pada kelompok lemah, minoritas, dan yang terpinggirkan. Dalam konteks internasional, harus ada kebijakan global yang berpihak pada negara berkembang, miskin, dan gagal. Inilah evaluasi sinergis baik pada level nasional maupun global yang akan semakin mempererat hubungan antar negara karena adanya kepentingan kolektif bagi berdaulatnya hak-hak kemanusiaan dan bumi pada tingkat global, dan tegaknya kedaulatan nasional berkat kemajuan dalam beragam aspek yang dicapainya. Inilah yang harus terus diperjuangkan oleh negara-negara selatan, termasuk Indonesia, untuk mengurangi tensi kepentingan ekonomi an sich yang tidak jarang berujung pada penumpukan modal besar dan eksploitasi di satu sisi, namun tanpa basis kesejahteraan sosial dan lingkungan yang memadai di sisi yang lain.
Bila langkah komprehensif ini dimaksimalkan, melalui soliditas negara-negara selatan yang kuat, maka posisi tawar dalam kehidupan global akan berlangsung secara equal karena berpijak pada kedaulatan (kemajuan) nasional yang kuat. Semoga.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/508125/

No comments: