Wednesday, July 18, 2012

Pertumbuhan Ekonomi



AGENDA PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
 SUARA PEMBARUAN, Selasa, 17 Juli 2012

A. Bakir Ihsan
 
Dalam sebulan terakhir ini Presiden SBY seperti tanpa jeda membangun peluang-peluang bagi kepentingan ekonomi Indonesia. Kurang sepekan kembali dari rangkaian acara KTT G-20, Rio+20 di Brazil, dan bilateral di Ekuador, Presiden bertolak ke Australia. Sepulang dari Australia, di Jakarta sudah menunggu kunjungan dua pemimpin negara penting, Presiden Republik Ceko Vaclav Klaus dan Kanselir Republik Federal Jerman Angela Merkel. Dengan dua pemimpin ini kerjasama ekonomi menjadi titik fokus. Tak kalah pentingnya, Presiden memberikan sambutan pada ASEAN-Latin Business Forum yang merupakan bagian dari obsesi Presiden SBY untuk memperkuat trans-pasifik antara kawasan ASEAN dan Amerika Latin. Pada waktu hampir bersamaan, Presiden menerima Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Christhine Lagarde, dan Bank dunia. Pertemuan-pertemuan tersebut menjadi indikator betapa pentingnya Indonesia di mata dunia, khususnya dalam aspek ekonomi yang semakin menjanjikan di tengah kelesuan ekonomi global.
Walaupun Fund for Peace menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mendekati gagal (failed state), namun secara faktual dan finansial, Indonesia justru diperhitungkan di ranah dunia. Dalam pertemuan dengan para pelaku bisnis (Business 20 Summit/B20) di Los Cabos, Mexico, 17/6 lalu, misalnya, Presiden SBY mendapatkan sambutan positif dari para pelaku ekonomi global. Bahkan Presiden SBY menargetkan Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara dengan perekonomian terbesar dunia.  Intinya Presiden mengajak para pelaku bisnis untuk menanamkan modalnya dan berpartisipasi dalam ikut menumbuhkan perekonomian Indonesia.
Semua langkah dan citra positif perekonomian Indonesia di mata internasional merupakan modal penting bagi prospek ekonomi Indonesia ke depan. Namun yang tak kalah pentingnya adalah adanya korelasi positif antara pertumbuhan dengan pemerataan. Hal ini penting ditekankan karena dalam beberapa kesempatan Presiden SBY selalu menyandingkan pertumbuhan dengan pemerataan (growt with equity). Pertumbuhan dan pemerataan merupakan sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Dalam konteks inilah, kita bisa mengevaluasi, sejauhmana korelasi gerilya ekonomi yang dilakukan Presiden SBY dengan pemerataan. Dalam konteks yang lebih luas, sejauhmana optimisme dunia internasional terhadap perekonomian Indonesia berkorelasi dan mendapatkan ruang implementatif di lapangan? Inilah agenda yang seharusnya dijawab oleh para pejabat mulai tingkat pusat sampai daerah. Karena proyek pertumbuhan ekonomi bukan hanya bicara angka, tapi bagaimana ia mendapatkan lahan subur dan kuat serta merata bagi seluruh wilayah di pelosok negeri.

Problem bottlenecking
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cenderung membaik menjadi alasan yang sangat rasional untuk membungkus citra Indonesia di mata dunia. Dalam laporan triwulan Bank Dunia tentang perekonomian Indonesia yang direlease pada 12 Juli 2012 menunjukkan Pertumbuhan PDB Indonesia pada kuartal pertama tahun 2012 masih tetap kuat pada 6,3 persen, sedikit turun dari rata-rata 6,5 persen di tahun 2011. Konsumsi masih bertahan kuat pada kwartal pertama 2012, pertumbuhan investasi menurun, sementara ekspor netto memberikan kontribusi negatif terhadap pertumbuhan.
Namun sebagaimana sering digugat oleh para ahli, pertumbuhan tersebut tidak serta merta lahir dari kondisi yang membanggakan pada ranah praktik. Ada problem kebijakan dan implementasinya yang menjadi duri pertumbuhan. Lemahnya aspek kebijakan, berakibat pada belum meratanya pertumbuhan. Bahkan pertumbuhan tersebut berjalin kelindan dengan kesenjangan yang semakin lebar. Persentase Gini Index Indonesia 2011 menunjukkan kenaikan, yaitu 41% dari 38% pada 2010 (Susiyati B Hirawan, 2012).
Di sisi lain, pada aspek implementasi, kendala-kendala struktural masih menjadi agenda penting. Masalah pungli yang menyebabkan biaya investasi tinggi sulit dimungkiri dan masih terus terjadi. Pungli dan biaya tinggi ini tidak saja dialami oleh para pelaku bisnis asing atau pebisnis skala besar. Pungli-pungli recehan di pasar-pasar, beban biaya bagi para kreditor kendaraan di kepolisian, “uang terima kasih” yang ditentukan merupakan matarantai yang menggerogoti kepercayaan sekaligus menjadi beban bagi pertumbuhan maksimal perekonomian Indonesia. Inilah bagian dari bottlenecking karena mentalitas pemeras di jajaran pejabat publik yang merusak mekanisme pasar yang sejati.
Korupsi yang tak juga jera menjadi bagian dari penghambat percepatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Kasus suap yang melibatkan pegawai pajak, secara tidak langsung menjadi kontraproduktif bagi “pemasaran” (marketing) yang dilakukan Presiden SBY dalam pasar global. Terlebih peringkat indeks persepsi korupsi kita yang belum bergerak membaik. Sebagaimana dirilis Transparency International pada akhir tahun 2011 lalu Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) Indonesia menempati skor CPI sebesar 3,0 dan berada pada peringkat 100.
Dalam survei yang dilakukan terhadap 183 negara di dunia tersebut, Indonesia mengalami kenaikan (perbaikan) 0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,8. Fakta ini bisa menjadi tantangan sekaligus modal untuk semakin serius memberantas korupsi. Apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4) yang masih lebih baik peringkatnya.
Problem ini tentu tidak mudah diurai seiring pembagian peran dan otoritas dalam otonomi daerah dan kepentingan politik sektoral yang semakin kental, terutama menjelang 2014. Ini merupakan problem latin kepemimpinan yang selalu menyisakan diskoneksitas dalam hal visi dan misi dalam banyak aspek, termasuk dalam hal strategi ekonomi karena adanya beragam kepentingan politik yang lebih mengemuka dibandingkan kepentingan bernegara. Apalagi bila hal ini dikaitkan dengan purna tugas kepemimpinan Presiden SBY yang tinggal 2 tahun. Sebagaimana diakui Presiden SBY sendiri, tahun 2012 adalah masa pemanasan kontestasi menuju 2014. Dengan kata lain, agenda kenegaraan akan banyak tersita oleh agenda politik partai, terlebih di antara anggota kabinet adalah kader, bahkan ketua partai politik. Secara tidak sadar hal ini bisa menjadi bagian dari problem bottlenecking akibat ketidakmampuan menteri (pejabat) dalam menempatkan dan menjalankan fungsi antara tugas negara dan kepentingan partai.

Kesamaan komitmen
Problem-problem yang dihadapi pemerintahan Presiden SBY tentu tak bisa diselesaikan dengan tangan besi. Apalagi diserahkan hanya pada seorang SBY. Selain tak ada ruang untuk itu, juga kontrol institusional dan personal begitu kuat saat ini, bahkan tak jarang menjadi “sandera politik”. Karena itu, yang bisa dilakukan adalah memperkuat kerjasama dan kesepahaman komitmen baik secara vertikal, mulai dari daerah, pusat, sampai dunia global, maupun secara horisontal, mulai dari para pelaku bisnis sampai seluruh stakeholder dari semua level, termasuk para pekerja.
Di sinilah perlunya komitmen seluruh elemen terkait untuk memastikan agenda pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan dan dipromosikan Presiden SBY. Pertumbuhan akan mendapatkan dukungan luas, apabila masing-masing elemen merasakan dampak baiknya. Yaitu kesejahteraan rakyat dan kenyamanan (keuntungan) para investor. Kesejahteraan dan keuntungan juga setali tiga uang. Langkah ke arah tersebut sebenarnya sudah dirumuskan oleh Presiden melalui instruksi pengetatan pemecatan karyawan karena akan berdampak buruk bagi stabilitas perekonomian itu sendiri. Di sisi lain, pemerintah menyediakan beragam aturan untuk menjaga agar beragam industri terus berjalan melalui pinjaman lunak dan fasilitas lainnya.
Sekali lagi, langkah-langkah tersebut akan efektif apabila problem bottlenecking di atas bisa diselesaikan secara serius, cepat, dan tepat. Khususnya terkait korupsi yang bersumber dari mark up pembiayaan pengadaan barang dan jasa maupun biaya perizinan usaha yang menyebabkan biaya tinggi dan berdampak pada lemahnya daya beli masyarakat di satu sisi dan lambannya pembangunan infrastruktur yang menjadi bagian penting dari mobilitas perekonomian masyarakat.
Secara institusional, sebagaimana dirilis Global Corruption Barrometer, ada lembaga-lembaga yang selama ini dianggap ikut berperan, paling tidak belum maksimal ikut memberantas korupsi yang dilakukan oleh para anggotanya, seperti kepolisian, parlemen, dan pengadilan. Sebagai institusi, problem korupsi yang terjadi di lembaga tersebut seharusnya menjadi beban kelembagaan untuk mengambil langkah radikal dalam memberantas korupsi. Bila tidak, maka ia akan terus menjadi duri yang memperburuk citra Indonesia di mata dunia.
Pada ranah global, ancaman krisis tak bisa dielakkan apabila tidak ada kesadaran kolektif berbagai negara, khususnya negara-negara maju, untuk memandang dunia sebagai sebuah kesatuan (unity), dan karenanya perlu langkah bersama untuk mengatasinya. Secara diplomatik, Indonesia punya posisi strategis untuk ikut menentukan jalan keluar dari ancaman krisis. Pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi modal bargaining terhadap dunia internasional. Bila tidak, maka sekuat apapun langkah pertumbuhan ekonomi yang kita rawat, sedikit banyak akan terkena dampak krisis yang pada akhirnya akan membalikkan semua mimpi kita dalam percaturan ekonomi global.
Inilah agenda-agenda penting yang saling terkait antara persoalan daerah (lokal), nasional, dan global yang memerlukan langkah holistik dan keterlibatan semua pihak. Dengan demikian, mekanisme pasar ekonomi kita akan bergerak tanpa menggerus kepentingan pihak-pihak tertentu, khususnya ekonomi kecil dan menengah, karena semua terlibat dalam tahapan perbaikan atau pertumbuhan ekonomi. Tinggal bagaimana pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah memastikan mekanisme tersebut berjalan secara efektif. Paling tidak dari regulasi yang dikeluarkan, memberi keuntungan bersama, sebagaimana janji Presiden di hadapan pelaku bisnis dunia. Semoga.*

http://www.suarapembaruan.com/pages/e-paper/2012/07/17/index.html

1 comment:

A. Bakir Ihsan said...

Sama-sama, terima kasih, semoga bermanfaat. Salam kenal juga.