Saturday, May 19, 2012


Presiden dan Pembangkangan Pejabat
Seputar Indonesia, Sabtu, 19 Mei 2012

A. Bakir Ihsan


Dalam pidato terbatas yang bocor ke media, Presiden SBY menyebutkan adanya pembangkangan, pemberontakan, dan perlawanan pejabat, (liputan6.com,11/4/12). Secara hermeunitik, ungkapan Presiden SBY tersebut menyiratkan tingkat kekecewaan yang memuncah terhadap pejabat daerah yang “menyimpang” dalam hal rencana kenaikan harga BBM.

Sebagai sebuah ekspresi hal tersebut sah-sah saja. Tapi sebagai ungkapan seorang presiden, ia menyiratkan sebuah problem relasi dalam sistem kenegaraan kita. Karena itu, ungkapan kekecewaan tersebut bisa tertuju pula pada ulah pejabat yang menyimpang dari kelaziman etis dan kemestian aturan. Mulai dari kinerjanya yang minus, loyalitasnya yang terpecah, sampai tindak korupsi yang menguras uang rakyat. Hal ini sangat penting disorot agar sengkarut kebobrokan pejabat tidak berlanjut.
Kita miris membaca data Kemendagri yang menunjukkan tingkat korupsi dan penyimpangan pejabat masih sangat tinggi. Selama kurun 2004-2012 terdapat 173 kepala daerah yang menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa. 70 persen sudah dijatuhi vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana. Ini lebih dari sekadar pembangkangan, tapi juga pengkhiatan terhadap rakyat.

Menerabas koneksitas
Persoalan “pembangkangan” ini tak bisa dibaca hanya sebagai problem hubungan pusat dan daerah atau atasan dan bawahan. Ada problem serius dalam tata kehidupan bernegara kita yang secara sederhana dapat disebut sebagai problem koneksitas.
Problem koneksitas menjadi akut karena dua hal. Pertama, adanya budaya suka menerabas (cutting-corner attitude) yang dianggap lazim. Birokrasi yang menurut Max Weber sejatinya menjadi lahan impersonalitas, menjelma menjadi domain personal. Birokrasi yang seharusnya fungsional menjadi transaksional. Hal ini didukung oleh, kedua, adanya kepentingan (backing) politik (partai) untuk meraup beragam keuntungan instan. Baik keuntungan finansial maupun modalitas lainnya bagi kepentingan citra dan kontestasi. Biaya politik yang  mahal mendorong mekanisme berlangsung secara tak normal.
Inilah ironi birokrasi di tengah euforia demokrasi. Birokrasi menjadi “sapi perah” politisi. Padahal birokrasi, kata Rod Hague (1998) who conduct the detailed business of government, advising on and applying policy decisions. Ia satu rangkaian struktural dalam sebuah sistem fungsional kenegaraan.
Pembangkangan pejabat semakin memperjelas keluhan Presiden SBY selama ini. Penolakan secara telanjang kepala daerah terhadap rencana kenaikan BBM, ketakjeraan pejabat untuk berkorupsi, dan ketidakseriusan anggota kabinet dalam memastikan keberhasilan pemerintah, mempertegas problem koneksitas pemerintahan sekaligus pembangkangan. Lalu dimanakah Presiden SBY?

Impersonalitas presiden
Pertanyaan ini sering muncul seiring keluhan Presiden di beberapa kesempatan. Sepintas, keluhan Presiden tentang diskoneksitas pemerintahan ini menunjukkan ambigu. Problem yang dikeluhkan Presiden seharusnya bisa diselesaikan oleh Presiden sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan.
Selama ini presiden sering dipahami sebagai person, sehingga muncul istilah SBY tidak tegas, lebay, dan banyak mengeluh. Begitu juga sebaliknya, keberhasilan pemerintah oleh sebagian orang diklaim sebagai keberhasilan SBY. Ini merupakan deviasi atas impersonalitas jabatan. Presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana disebutkan Max Weber, impersonal. Begitu juga pejabat lainnya, termasuk kepala daerah. Ia berada dalam sebuah sistem yang dibuat sekaligus mengikat dirinya. Presiden sebagai kepala negara tidak bisa serta merta menindak secara sepihak para “pembangkang” (bawahannya). Ada proses dan mekanisme yang harus dilalui yang pada titik tertentu harus berhadapan pula dengan tarik menarik kepentingan partai politik yang menyadera. Sehingga pernah tersiar kabar salah seorang anggota kabinet mengadu ke partainya setelah mendapat teguran keras dari Presiden.
Transformasi dan distribusi otoritas pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik cenderung dipergunakan sebagai bargaining position daripada ketaatan untuk menjalankan mekanisme kenegaraan secara fungsional. Inilah yang dihadapi SBY yang elektabilitas politiknya sangat signifikan, bahkan dibandingkan presiden lainnya di dunia, dan didukung 76 persen kursi di parlemen. Namun kalkulasi legitimasi kuantitatif tersebut tak menjadi jalan mulus bagi Presiden SBY. Justru tak jarang menjadi beban sekaligus duri yang menghambat bahkan menyandera jalannya pemerintahan.

Langkah korektif
Menguatnya kepentingan politik (partai) menjadi faktor dominan lemahnya koneksitas kelembagaan. Partai sering menyediakan sekat baru yang memberi ruang pejabat membangkang dengan segala intensitasnya.
Problem terbesar terletak pada pemahaman dan perlakuan partai terhadap kader atau orang yang diusungnya sebagai sumber pendapatan beragam modalitas. Ini tidak terlepas dari tuntutan partai, terutama untuk membiayai eksistensinya yang sangat mahal (high cost).
Karena itu, perlu langkah-langkah kolektif sekaligus korektif agar partai berperan penting dalam melokalisasi pembangkangan pejabat dalam beragam bentuknya. Pertama, perlu penyediaan dana yang cukup dari pemerintah bagi operasionalisasi partai, sehingga tak ada alasan partai bergantung pada kadernya yang sedang menjabat baik di kementerian maupun pemerintah daerah. Bila dana dari pemerintah tak cukup, dana bisa berasal dari publik. Untuk mendorong mobilitas dana dari publik, maka kedua, partai harus membangun akuntabilitasnya yang kuat di mata publik. Selama ini yang terjadi sebaliknya. Tingkat kepercayaan publik terhadap partai semakin merosot seiring korupsi dan segala bentuk deviasi melingkupi semua partai. Ketiga, perlu aturan main yang jelas dan tegas bagi alokasi dana minimal dan maksimal yang harus disediakan oleh partai. Sehingga tidak ada alasan partai menumpuk dana dengan menghalalkan segala cara dan menyebabkan biaya politik tinggi. Keempat, perlunya transparansi anggaran partai politik. Ini penting agar partai tidak menjadi black box yang menyuburkan politik transaksional yang mengorbankan rakyat.
Dari langkah-langkah tersebut partai politik bukan hanya bisa melahirkan pemimpin atau pejabat berkualitas, sekaligus menjadi kontrol efektif atas tindak korupsi yang cenderung menyebar.  Dari sana  sejatinya partai bisa mendapatkan tambahan citra. Tak perlu biaya tinggi  untuk merawat dan menaikkan citra politik. Citra partai akan terkatrol oleh konsistensinya dalam ikut meminimalisasi korupsi dan segala bentuk deviasi. 

  http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/496070/

No comments: