Thursday, May 10, 2012

Resensi Buku

Mengingatkan Kepantasan dalam Berpolitik

Koran Jakarta, Rabu, 09 Mei 2012
Mengingatkan Kepantasan dalam Berpolitik
IST
Meskipun setiap orang atau individu memiliki hak untuk berkontestasi, etika sosial, agama, kepatutan, serta kepantasan dalam berpolitik harus senantiasa dipegang teguh. Jika tidak, sebuah kontestasi hanya akan melahirkan kalah menang yang tidak bermartabat. Ujung-ujungnya melahirkan banyak kemudaratan, baik yang hanya sesaat maupun berkepanjangan
"Kerap kali kehidupan ini sangat diwarnai yang serbapolitik. Memang politik itu penting dan tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi kalau semuanya serbapolitik, yang ada hanya menang dan kalah." Ini adalah salah satu kutipan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ada dalam buku tersebut. Buku itu juga menceritakan kehadiran era reformasi menjadi pintu gerbang baru bagi tatanan kehidupan nasional yang lebih demokratis.

Kini terbuka luas kebebasan berpendapat dan berekspresi, berpartisipasi, dan pintu kritik bagi masyarakat. Di balik harapan indah perbaikan dan perkembangan berbagai kehidupan, baik bidang ekonomi, politik, sosial budaya, maupun keamanan, muncul juga kerisauan masyarakat, di antaranya, bias-bias kebebasan yang melampaui batas kepatutan, baik dalam ekspresi maupun aksinya.

Kebebasan sering membawa distorsidistorsi. Dalam batas-batas tertentu, keadaan sekarang merupakan antitesis dari era sebelumnya (tesis) dengan prinsip bahwa demi pertumbuhan ekonomi, stabilitas harus dikedepankan. Demi stabilitas, kebebasan menjadi barang mahal, sementara kehidupan demokrasi dan politik diposisikan sebagai potensi ancaman.

Terbukanya keran reformasi menjadi sumbu yang mengorbankan euforia kebebasan berpolitik, menyampaikan kritik, dan berasosiasi atau berorganisasi (hlm vii). Euforia kebebasan ini di satu bagian bisa jadi akan menyandera sisi lainnya. Di antara persoalan yang krusial adalah ketika sebagian elite mengartikulasikan dan memaknai politik sebagai sebuah kebebasan dan alat untuk berkuasa semata.

Jika kekuasaan menjadi tujuan berpolitik semata, segala cara akan dilakukan untuk merebut kekuasaan itu. Agenda-agenda kerakyatan yang seharusnya diimplementasikan menjadi terabaikan. Yang ada justru hanya upaya mempertahankan kekuasaan dari satu periode menjadi dua periode atau melanggengkannya dalam satu lingkaran keluarga dengan mengabaikan norma berpolitik dan berdemokrasi yang bermartabat.

Meskipun setiap orang atau individu punya hak untuk berkontestasi, etika sosial, agama, kepatutan, serta kepantasan dalam berpolitik harus senantiasa dipegang teguh. Jika tidak, sebuah kontestasi hanya akan melahirkan kalah menang yang tidak bermartabat.

Ujung-ujungnya melahirkan banyak kemudaratan, baik yang hanya sesaat maupun berkepanjangan. Atas keprihatinannya terhadap kondisi ini, dalam beberapa kesempatan, Presiden SBY mengingatkan dan mengajak, "Mari pelihara dan kembangkan perilaku politik yang cerdas, bersih, toleran, dan santun."

Politik itu tidak hanya terkait dengan kekuasaan, tapi juga harus bermartabat. Politik menjembatani pelaku dalam meraih kekuasaan. Reformasi yang berlangsung di Indonesia merupakan perubahan bertahap melalui proses yang terusmenerus dilakukan secara bersamasama untuk kebaikan bersama. Ada proses, tahapan, mekanisme yang harus dilalui dengan sabar dan tekun agar perubahan tetap berjalan dan terarah.

Tidak hanya dalam konteks perubahan sosial, dalam pergantian kepemimpinan juga ada tahapan, mekanisme, dan aturan mainnya. Semua pemimpin sejatinya lahir melalui proses, bukan lewat cara-cara instan, apalagi menghalalkan segala cara. Para pemimpin perlu melewati proses untuk memastikan visi dan misinya berdasarkan pemahaman terhadap beragam masalah dan mencari solusi (hlm 7).

Diresensi Juniaty Ginting, pustakawati Koran Jakarta.

Judul : Politik Tak Hanya Kekuasaan
Penulis : A Bakir Ihsan
Tahun : Cetakan I, 2012
Tebal : 220 halaman
Penerbit: Expose

 http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/90497

No comments: