Wednesday, January 02, 2008



Opini

Post-Military dan Demokrasi
Seputar Indonesia, Sabtu, 29 Desember 2007

A. Bakir Ihsan

Penetapan Jenderal Djoko Santoso sebagai Panglima TNI memupuk banyak harapan. Salah satunya adalah kelanjutan reformasi di tubuh TNI. Agenda ini sangat penting karena secara faktual reformasi belum sepenuhnya membumi baik di ranah sipil maupun tentara. Kegamangan reformasi bisa menjadi jalan menelikung yang mengancam demokrasi. Gejala itu bisa dilihat di Thailand dan Filipina yang menyebabkan demokrasi selalu diintervensi oleh tentara.

Kenyataan ini tidak bisa diabaikan. Kudeta di Thailand setahun yang lalu dan rencana kudeta di Filipina setahun kemudian menunjukkan persoalan politik tentara belum selesai. Dan ini merupakan hantu demokrasi yang sewaktu-waktu bisa tumbuh di taman demokrasi yang masih rapuh, termasuk di negeri ini. Itulah sebabnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa perlu menyatakan kelegaannya atas keberhasilan pemerintah Filipina meredam kudeta yang dilancarkan tentara beberapa waktu lalu.

Itu pula, Presiden SBY mewanti-wanti agar panglima TNI baru menempatkan demokrasi sebagai pandu yang tidak boleh diintervensi, melalui independensi dan netralitasnya dalam proses-proses politik, termasuk dalam pemilu nanti. Atensi presiden SBY ini secara tidak langsung menengarai adanya upaya-upaya politisasi tentara (begitu juga polri) oleh sekelompok orang. Walaupun secara konstitusi tentara sudah dilucuti hak-hak politiknya, namun tidak ada jaminan bahwa hal itu berlaku efektif sebagaimana undang-undang lainnya yang masih sebatas deretan pernyataan daripada kenyataan. Lebih dari itu, transisi demokrasi selalu menyisakan agenda anomalis yang memungkinkan setiap kenyataan berjalan di luar kalkulasi politik.

Intervensi demokrasi
Gejala intervensi atas demokrasi merupakan sebuah paradoks di tengah globalisasi demokrasi. Globalisasi demokrasi ternyata tertatih-tatih berhadapan dengan geopolitik regional. Hal itu disebabkan adanya kepentingan yang lebih hegemonik daripada demokrasi, yaitu kepentingan ekonomi global. Kepentingan ekonomi global tak jarang menyebabkan demokrasi dinomorduakan. Inilah kenyataan yang oleh Martin Shaw (1991) disebut sebagai realitas post-military society di mana kepentingan ekonomi global menjadi penentu relasi antar negara. Intervensi atas demokrasi cenderung mendapat toleransi selama tidak berdampak pada stabilitas kepentingan ekonomi global (negara-negara maju).

Kenyataan ini harus diantisipasi agar tidak menjadi preseden buruk bagi konsolidasi demokrasi. Intervensi tentara di Thailand dan Filipina tidak terlepas dari prakondisi yang memungkinkan intervensi terhadap demokrasi. Di samping faktor kepentingan ekonomi global di atas, juga karena sikap politik sipil yang tak acuh terhadap nasib demokrasi yang merupakan tanggung jawabnya. Dengan kata lain, problem yang menyelimuti elite sipil, seperti korupsi, kolusi, maupun penyimpangan lainnya dapat memantik instabilitas yang mendorong terjadinya intervensi.

Intervensi tentara di Thailand dan Filipina dipicu oleh isu korupsi di lingkungan kekuasaan. Bahkan untuk kasus Filipina, sebuah lembaga survei independen, PulseAsia (11/12) menempatkan Gloria Macapagal Arroyo sebagai presiden terkorup di antara presiden Filipina lainnya. Terlepas dari akurasi pembuktiannya, persoalan yang menggrogoti politik sipil, khususnya korupsi, akan melapangkan jalan intervensi atas demokrasi oleh kelompok-kelompok strategis. Di sinilah urgensi evaluasi reformasi diperlukan agar tetap dalam koridor konsolidasi demokrasi.

Lebih dinamis
Beberapa waktu lalu, Presiden SBY meminta TNI pada 2008 memaparkan hasil evaluasi atas reformasi yang telah dijalankannya. Dan ini merupakan tugas penting bagi panglima TNI baru karena akan menentukan performa TNI ke depan. Evaluasi reformasi tidak bisa hanya dilihat secara internal dalam tubuh TNI. Ia harus ditempatkan secara holistik yang melibatkan seluruh komponen bangsa, termasuk elite politik.

Dengan kata lain, reformasi TNI akan banyak memberi makna ketika didukung oleh indikator-indikator konsolidasi demokrasi pada ranah perilaku politik sipil. Salah satu indikatornya adalah ketika demokrasi menjadi satu-satunya aturan main dan satu-satunya kerangka dalam bertindak bagi seluruh komponen masyarakat. Karena itu evaluasi reformasi TNI tidak bisa hanya dinilai dari sejauhmana TNI berbenah diri, tapi juga sejauhmana perilaku politik sipil mencerminkan nilai-nilai demokrasi.

Secara simbolik, upaya reformasi TNI dapat dilihat dari langkah yang dilakukan selama ini. Secara politik, TNI berhasil menarik posisi politiknya di DPR lebih awal, dari 2009 menjadi 2004. Begitu juga dengan hak pilih TNI. Melalui berbagai pertimbangan akhirnya TNI memutuskan untuk membiarkan proses hak pilih TNI dalam pemilu sampai waktu memungkinkan.

Dalam hal regenerasi, sirkulasi kepemimpinan TNI berlangsung dinamis. Sejak reformasi, sudah empat kali dilakukan pergantian panglima yang melibatkan semua angkatan. Hal ini jauh lebih dinamis dan agresif dibandingkan sirkulasi elite sipil yang berputar di antara wajah-wajah lama. Realitas ini menunjukkan keseriusan TNI dalam menapaki prosedur-prosedur reformasi. Dan prosedur-prosedur ini akan mengarah pada penyempurnaan profesionalisme TNI apabila didukung oleh konsistensi sipil dalam menentukan arah reformasi.

Untuk mengukur tingkat konsistensi reformasi sipil bisa dilihat, salah satunya, dari sejauhmana komitmen sipil menempatkan militer sebagai kekuatan pertahanan yang profesional. Atau dalam perspektif Juan Linz dan Alfred Stepan (1996) sejauhmana perilaku politik sipil menutup ruang toleransi bagi kepemimpinan politik tentara.

Selama ini para purnawirawan yang telah dan akan tampil ke kursi politik selalu dilihat sebagai representasi (personifikasi) tentara yang dianggap tegas (berani mengambil resiko), bukan sebagai warga bangsa yang memiliki kualitas dan integritas yang dapat diandalkan. Inilah mindset yang harus ditransformasikan, sehingga tentara yang akan tampil atau ditampilkan ke tampuk kekuasaan bukan karena ketentaraannya, tapi lebih pada integritas, kapabilitas, dan kualitas pribadinya.

Indikator minimal
Dalam jangka pendek netralitas TNI dalam proses-proses politik seperti pemilu dan pilkada menjadi indikator minimal reformasi. Dalam usia reformasi yang masih muda ini, TNI tetap merupakan kekuatan yang sangat efektif dalam politik. Dengan kekuatan teritorialnya, TNI khususnya angkatan darat dapat digunakan bagi kepentingan pragmatis (pemilu dan pilkada). Wajar apabila dalam beberapa pilkada, tentara masih dianggap sebagai kekuatan penyangga kemenangan.

Dalam Pilkada DKI Jakarta, misalnya, Fauzi Bowo yang didukung puluhan partai harus memensiunkan Aster KSAD, Mayjen Prijanto untuk mendampinginya sebagai wakil gubernur. Bukan tidak boleh menggandeng TNI. Tapi menggandeng tentara aktif, mengandaikan bahwa stok kepemimpinan sipil, termasuk militer yang sudah pensiun, sudah tidak ada. Ini sebuah ironi sipil di tengah reformasi. Kalau hal tersebut dibiarkan, tidak menutup kemungkinan terjadinya perselingkuhan politik tentara. Perselingkuhan politik tentara dapat menjadi celah yang menginvolusi reformasi dan membuat rapuh demokrasi. Rapuh karena fondasi yang menopang demokrasi tak bersinergi akibat kepentingan sempit dan pragmatis yang silang sengkarut di antar kaum sipil sendiri.

Inilah agenda yang harus terus diperjuangkan oleh kita semua agar demokrasi tidak sekadar pilihan yang dirayakan bersama tapi dengan kepentingan berbeda. Peristiwa yang terjadi di Filipina dan di Thailand bisa saja terjadi di sini, bila reformasi menjadi medan petualangan kekuasaan yang mencabik-cabik soliditas sebagai sebuah bangsa. Tentara bukanlah malaikat yang bebas syahwat. Ia sebuah kekuatan strategis yang punya senjata dan punya sejarah dengan segala warna-warninya. Di sinilah perilaku politik sipil yang reformis dipertaruhkan sebagai kontrol yang kuat agar tentara tetap dengan warna soliditas dan loyalitasnya pada negara, bukan pada kepentingan kelompok tertentu. Kalau tidak, reformasi akan terserang virus gigantisme yang mati karena “eforia”-nya.*

1 comment:

Anonymous said...

Halo, Bakir. Tentu ingat dong. Blog ente kan sudah ane link di blog ane. Lagi pula ente kan sering nulis di koran dan pernah nulis buku SBY. Jadi siapa sih anak AF yang gak kenal Bakir?

Ane tinggal di Menteng Metropolitan, Ujung Menteng, Jakarta Timur. Sukses ya!!! Btw teman2 lain ada yang punya blog juga nggak? Ane search di Google belum ada tuh. Baru Bakir aja yang nemu. Eh, ama Sahal ding.