Tuesday, January 29, 2008



Opini

Kekuasaan dan Paradoksalitas Uang
Media Indonesia, Selasa, 29 Januari 2008

A. Bakir Ihsan

Penggunaan uang di negara ini penuh paradoks. Beberapa waktu lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluhkan sulitnya penyerapan dana pembangunan, khususnya di daerah-daerah. Menurut menteri keuangan, penyerapan anggaran hingga kuartal ketiga 2007 baru mencapai 50%. Bahkan sebagian disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia dan obligasi dengan multiplier effectnya yang rendah. Padahal sampai 15 November 2007, pemerintah pusat telah mentransfer dananya ke pemerintah daerah Rp 246,8 triliun atau sekitar 80 persen.

Di sisi lain, anggaran (dana) begitu mudah terserap di Senayan. Baru-baru ini semua anggota DPR RI menerima insentif legislasi Rp39 juta di tengah kinerja legislasi DPR yang rendah. Dari 78 RUU yang ditargetkan selama 2007, hanya 39 RUU yang diselesaikan. Bahkan menurut Ketua DPR dalam pidato penutupan masa sidang kedua 2007, selama tiga tahun bertugas, DPR baru menghasilkan 30 persen atau 93 RUU yang disahkan menjadi undang-undang. Padahal dalam program legislasi nasional, DPR menargetkan 283 RUU. Dana lain yang terserap habis adalah dana renovasi rumah dinas (Rp 13 juta perbulan) untuk seluruh anggota dewan, padahal tidak semua anggota menempati rumah dinasnya.

Lebih paradoks lagi, lambannya penyerapan anggaran pembangunan justru untuk kepentingan publik (rakyat), sementara uang terserap begitu cepat untuk kepentingan elit (wakil rakyat). Kalau kekhawatiran dan ketakutan terjebak dalam perangkap korupsi menjadi alasan lambannya serapan anggaran pembangunan, maka uang insentif di Senayan habis tanpa alasan, apalagi rasa takut dan khawatir. Sekali lagi, inilah sebuah paradoks penggunaan uang di negeri ini.

Pusat kegaduhan
Penggunaan uang negara menjadi sangat krusial karena negara sangat membutuhkannya. Penyediaan pendidikan yang murah, fasilitas kesehatan yang terjangkau, dan program pengentasan kemiskinan yang merata membutuhkan dana besar. Bahkan anggaran minimal pendidikan 20% dari APBN belum terpenuhi. Namun hasrat uang para anggota dewan begitu mudah mengalir. Realitas inilah yang menyebabkan setiap rencana penggunaan dana negara oleh anggota dewan selalu mengundang kegaduhan.

Kegaduhan setiap penggunaan anggaran oleh anggota dewan menyiratkan tiga makna. Pertama, dana yang dianggarkan tidak proporsional; lebih besar pasak (anggaran) daripada tiang (kinerja), seperti penggunaan dana legislasi yang diberikan secara merata pada seluruh anggota DPR tanpa mempertimbangkan intensitas keterlibatan dan prestasi kerja legislasi. Kedua, tidak adanya korelasi antara pengeluaran anggaran DPR dengan kepentingan rakyat, seperti anggaran studi banding ke luar negeri yang tak jelas manfaatnya bagi rakyat. Ketiga, lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja DPR, sehingga apapun yang dilakukan DPR dianggap mubazir.

Ketiga hal tersebut akan menjadi pemantik kegaduhan setiap DPR menggunakan anggarannya. Namun dari ketiga hal tersebut ada satu point penting yang seharusnya menjadi stimulus kesadaran anggota dewan, yaitu bahwa kegaduhan tersebut mencerminkan kepedulian masyarakat terutama media massa terhadap eksistensi anggota dewan sebagai lembaga kontrol kekuasaan yang sampai saat ini belum efektif akibat perilaku internal mereka.

Dalam beberapa kasus, persoalan insentif dan tunjangan anggota dewan terkuak setelah media massa memberitakannya. Dengan kata lain, seandainya hal tersebut tidak terkuak ke publik, masalah insentif ini akan menjadi angin yang berlalu begitu saja dan uang negara akan terus tersedot untuk kepentingan-kepentingan yang tak berdampak bagi kepentingan rakyat.

Segala bentuk tunjangan dan insentif anggota dewan tidak mengucur sendiri. Pasti ada usulan, inisiatif, dan persetujuan anggota dewan. Apalagi di DPR ada Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) yang bertugas memperjuangkan kebutuhan anggota dewan. Negara tidak mungkin mengeluarkan secara cuma-cuma dananya untuk keperluan yang tidak dianggarkan. Karenanya aneh ketika sebagian anggota dewan merasa kebakaran jenggot dengan insentif legislasi. Namun yang lebih aneh lagi, sebagian anggota dewan tak ambil pusing dengan insentif ini.

Inilah potret para wakil rakyat yang sejatinya menjadi kontrol atas seluruh kinerja pemerintahan, termasuk penggunaan uang negara. Mereka justru tercebur dalam lumpur inefektivitas uang negara di tengah rakyat berkubang dalam lumpur bencana dan membutuhkan banyak dana.

Kesadaran elitis
Perilaku anggota dewan ini bukan hanya menjadi beban bagi rakyat, tapi bagi partai yang telah mengantarkannya duduk di Senayan. Ia secara tidak langsung telah mencoreng moreng partai yang citranya semakin runtuh di mata masyarakat. Partai semakin berjarak dengan rakyat akibat ulah kadernya yang tidak merakyat justru di tengah ajang kontestasi pemilu semakin mendekat.

Perilaku “menyimpang” yang ditunjukkan anggota dewan, menghapus jerih payah untuk mendekatkan diri pada rakyat. Program kunjungan dan komunikasi dengan konstituen tak akan memberi banyak makna tanpa dibarengi kesediaan untuk merasakan apa yang dirasakan rakyat melalui sikap dan perilaku politiknya. Kunjungan, yang sekali lagi dibiayai negara hanya seremonial yang tidak berbekas pada rakyat apabila tidak disertai sikap politik yang empatik. Salah satu bukti bahwa sikap empatik ini mulai luntur adalah ketika para anggota dewan lebih peduli pada rumah dinasnya daripada rumah rakyat yang masih jauh dari layak.

Akal sehat kita akan berkata bahwa sebagai wakil rakyat, sejatinya rakyatlah yang harus diperjuangkan, bukan dirinya. Inilah distorsi yang selalu membayangi sistem perwakilan elitis karena lahir dari partai yang sentralistik. Dan bila fenomena ini terus bergulir akan membentuk kesadaran elitis yang berjarak dengan nurani rakyat.

Hal ini mulai terlihat dari beberapa komentar anggota dewan yang melihat segala bentuk tunjangan yang diterimanya merupakan hal yang wajar. Standar yang mereka pakai bukan lagi rakyat, tapi kesadaran baru sebagai orang kaya baru. Mereka menjadi kelompok elitis dari gaji yang mereka dapat dari negara dan jabatan dari rakyat. Tampaknya partai tak ambil pusing dengan kenyataan ini. Bahkan sebagian partai merasa diuntungkan dengan berbagai insentif itu karena mempertebal keuangan partai.

Apapun alasan partai, dengan mengambil uang tersebut, berarti partai menghalalkan cara-cara mendapatkan uang yang sangat tidak etis, termasuk menerima uang insentif “tanpa keringat.” Fakta ini merupakan pembelajaran politik yang sangat tidak mendidik dan akan semakin menguatkan apatisme politik rakyat terhadap partai. Orientasi uang kaum politisi (parpol) seakan tak terbantahkan.

Menjelang pemilu, bisa jadi partai sangat berkepentingan dengan uang. Alasan bantuan untuk bencana dan sebagainya menjadi legitimasi untuk menyucikan uang yang bukan peruntukannya. Dan bila ini dibiarkan akan menjadi preseden buruk atas keuangan negara. Rakyat selalu menjadi alasan untuk mengeruk uang negara. Padahal negara punya cara sendiri untuk menyalurkan dananya bagi kepentingan rakyat. DPR bukan penyalur, tapi kontrol kekuasaan. Fungsi ini harus ditegakkan secara konsisten, agar konsolidasi demokrasi tidak terdistorsi oleh kepentingan pragmatis para elite.*

No comments: