Thursday, January 24, 2008



Opini

Agama dalam Budaya Politik Numerik
KORAN TEMPO, Kamis, 24 Januari 2008

A. Bakir Ihsan

Tindak kekerasan atas nama agama menjadi catatan kelam 2007. Menurut data Setara Institute for Democracy and Peace selama Januari-November terjadi 135 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama. Klaim sesat menjadi pemicu diskrimnasi dan penindasan atas nama agama. (Detikcom, 18/12) Kenyataan ini membuktikan adanya problem pada ranah budaya keberagamaan.

Sementara pada ranah politik, para elite masih sibuk memperdebatkan persoalan asas Islam dan Pancasila (negara). Walaupun pada akhirnya menjadi keputusan paripurna DPR, namun adanya catatan beberapa fraksi atas RUU Partai Politik pengganti UU No. 31 Tahun 2002 menandakan, persoalan relasi agama dan politik (negara) belumlah selesai. Dan sewaktu-waktu akan terkuak kembali menguras energi untuk mencapai kepuasan simbolik (asas).

Kedua realitas keberagamaan (budaya dan politik) tersebut akan menjadikan negara ini berada dalam posisi mengambang. Agama pada ranah budaya belum mencerminkan misi asasinya sebagai rahmat, dan para ranah politik agama berkutat pada proses simbolisasi yang jauh dari perilaku politik. Agama, dengan sendirinya, tidak berfungsi maksimal karena terkebiri oleh kepentingan elite politik dan dominasi kelompok atas nama agama.

Wajah paradoks
Terjadi sebuah paradoks ketika Islam di Indonesia diklaim sebagai agama yang moderat. Klaim ini tidak hanya bertebaran pada tataran wacana sebagaimana banyak diwartakan oleh para pengamat asing, tapi juga pada tataran praksis. Moderatisme Islam Indonesia telah mendorong sebagian negara berharap banyak atas peran Islam Indonesia khususnya dalam mengatasi konflik-konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, seperti di Lebanon, Irak, Thailand (Pattani), Filipina (Moro), maupun negara lainnya. Namun di sisi lain, terjadi arus balik yang memunculkan wajah Islam Indonesia menjadi ancaman bagi kelompok lain. Kekerasan terhadap agama lain dan intern agama menjadi bukti arus balik tersebut.

Paradoksalitas wajah keberagamaan ini merupakan agenda kultural yang tercerabut akibat orientasi yang lebih mengarah ke luar dirinya (outward oriented) daripada ke dalam dirinya (inward oriented). Agama lebih difungsikan untuk mengadili orang lain daripada menjadi inspirasi yang menggerakkan kebersamaan melalui perilaku dan sikap setiap umat beragama. Akibatnya agama menjadi sumber kegelisahan atas realitas berbeda yang hadir di luar dirinya.

Di samping itu, waham mayoritas (mainstream) sebagai sumber otoritas dan kebenaran ikut menyumbang terjadinya diskriminasi kelompok mayoritas atas minoritas. Waham mayoritas ini memacu kelompok tertentu memaksa semua kekuatan di luar dirinya untuk tunduk sebagai bentuk kesamaan iman (tidak sesat). Inilah konsekuensi dari dominasi mayoritarianisme yang menyelusup dalam ranah budaya dan politik di negeri ini.

Agama numerik
Pertimbangan mayoritas untuk mendapat prioritas baik dalam politik maupun budaya dapat mengarah pada dominasi mayoritas dan memupuk tirani minoritas. Karena secara silogisme, mayoritas merupakan antonim dari minoritas. Karena itu, agenda yang akan diselesaikan berdasarkan kuantitas adalah memperhadapkan mayoritas versus minoritas. Dan mayoritas ini akan selalu mengendalikan minoritas.

Dengan demikian, ketika umat Islam lebih berpikir tentang kuantitas, maka persoalan dominasi mayoritas akan selalu mengemuka, sehingga selalu merasa punya hak untuk mendapat hak-hak eksklusif termasuk dalam undang-undang publik. Inilah agama numerik, yaitu agama yang dilekatkan pada angka-angka, jumlah jamaah, dan eksistensi personal. Dan hal ini didukung oleh politik numerik dan simbolik melalui koalisi berdasarkan kesamaan agama untuk membangun mayoritarianisme yang diskriminatif. Inilah yang disebut discriminate in favor of majority.

Karena itu perlu transformasi pola pandang sehingga apa yang terbayang dalam masyarakat luar tentang moderatisme Islam Indonesia dapat dirasakan secara nyata. Dan itu bisa terjadi apabila kualitas keberagamaan lebih dikedepankan daripada kuantitas. Bayang-bayang kebesaran kuantitas-mayoritas harus direduksi menjadi entitas yang berkualitas. Hal ini penting karena secara kuantitas, umat Islam sudah mayoritas. Tinggal bagaimana mendayagunakan kemayoritasan ini bagi ranah yang lebih luas. Bukan malah berkutat pada persoalan-persoalan yang justru mengusik eksistensi minoritas. Karena itu pula sejatinya persoalan asas Islam sudah tidak menjadi agenda signifikan dalam penyusunan undang-undang, karena Islam sudah menjadi basis massa.

Penekanan pada sisi kualitas akan menjadikan kompleksitas problem sosial menjadi agenda yang terus diperjuangkan. Dari sini dengan sendirinya, eksistensi Islam baik dalam politik maupun budaya betul-betul dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat sebagai warga bangsa.

Dan langkah ini tidak mudah karena mengharuskan adanya kesepahaman khususnya di kalangan elite agamawan untuk menempatkan kualitas di atas persoalan kuantitas. Hal ini dengan sendirinya umat tidak disibukkan untuk mengadili, mencurigai, atau mengancam kelompok lain. Tapi justru berbuat untuk kemaslahatan masyarakat. Peran kaum elite agamawan ini sangat penting karena pada kenyataannya organisasi-organisasi keagamaan menjadi sumber legitimasi bagi umat untuk bertindak.

Dalam kasus Ahmadiyah, elite agama bersikap ambigu. Satu sisi fatwa penyesatan (penyimpangan) dikeluarkan, namun di sisi lain perusakan oleh kelompok tertentu atas nama sesat, dibiarkan. Dalam kondisi demikian, negara diminta untuk menyelesaikan problem yang ditimbulkan akibat penyesatan tersebut. Pada titik ini elite agama telah melibatkan negara untuk mengadili kepercayaan.

Di sinilah diperlukan kejernihan dalam melihat problem. Sehingga terlihat jelas faktor pemantik kekerasan untuk kemudian diselesaikan oleh elite agama. Bukan oleh negara yang secara konstitusi menjamin seluruh masyarakat menjalankan kepercayaannya. Inilah agenda para elite agama, begitu juga elite politik, agar pengadilan sekelompok orang atas nama agama terhadap kelompok lain tidak berlanjut, karena itu melanggar konstitusi.

Apabila agenda ini tidak terselesaikan, maka agama baik secara politik maupun budaya tidak akan memberi sumbangsih apa-apa kecuali keresahan yang menodai asasi eksistensi agama sebagai sumber kedamaian.*

No comments: