Wednesday, September 25, 2013

Konvensi dan Jokowi




Opini

Kontroversi Konvensi dan Jokowi
SUARA PEMBARUAN, Selasa, 24 September 2013

A Bakir Ihsan

Konvensi dan Jokowi adalah sebuah kontroversi. Paling tidak itulah mainstream wacana yang berkembang di media massa belakangan ini. Wacana ini akan terus bergulir mendekati masa kontestasi 2014. Konvensi yang sedang digelar oleh Partai Demokrat dipertanyakan terkait aturan main yang belum benderang. Bahkan beberapa pihak menyebutnya sebagai konvensi-konvensian. Pun Jokowi yang menurut beberapa survei menempati posisi tertinggi sebagai kandidat Capres, digugat karena amanah yang diembannya untuk Jakarta baru seumur jagung.
Kontroversi yang mengitari kedua isu tersebut menunjukkan apresiasi sekaligus koreksi atas dua problem besar kepartaian kita. Pertama, problem mekanisme kepartaian. Konvensi hadir, sejatinya, sebagai ikhtiar mengurai prosedur kepartaian, khususnya dalam rekrutmen kepemimpinan agar lebih terbuka dan melibatkan banyak partisipasi. Kedua, krisis kepemimpinan. Mencuatnya sosok Jokowi menunjukkan krisis calon pemimpin. Jokowi menjadi pemecah di tengah kebuntuan regenerasi kepemimpinan. Dari beberapa kandidat Capres yang beredar di media, wajah-wajah lama masih mendominasi.
Sayangnya kedua isu tersebut dilihat sekadar agenda partai tertentu. Wacana yang berkembang cenderung menyempit pada kepentingan dua partai; Jokowi pada PDIP dan konvensi pada Partai Demokrat. Akibatnya wacana yang berkembang kehilangan makna bagi kepentingan rekonstruksi problem kepartaian ke depan.

Alienasi meritokrasi
Kecenderungan umum keberadaan partai politik di era reformasi adalah ketergantungannya pada sosok. Partai muncul dan bertahan karena sosok pemimpinnya dengan segala status dan modalnya. Munculnya sosok Jokowi merupakan fenomena di luar mainstream kepartaian. Walaupun dia berasal dari partai (PDIP), namun kemunculannya lebih sebagai sosok personal. Ia lahir di tengah involusi kaderisasi partai. Wajar bila kemunculannya melampaui popularitas partai, termasuk partai yang menaunginya.
Fenomena Jokowi, dan sosok-sosok lain di luar mainstream kepartaian, muncul sebagai konsekuensi logis dari dua faktor. Pertama, secara internal, sirkulasi kepemimpinan di tubuh partai politik didasarkan pada sistem oligarki dan dukungan materi. Tak berlebihan bila sosiolog politik sekaliber Robert Michels (1984) menyebut organisasi (partai) sebagai sisi lain dari oligarki. Akibatnya ruang kaderisasi berdasarkan meritokrasi teralienasi. Dan sosok pun lahir di luar “kehendak” partai.
Kedua, secara eksternal, popularitas lebih menjadi pertimbangan daripada identitas (ideologis) kader. Partai berebut belanja komoditas (calon) di pasar bebas daripada memproduksi dan atau memasarkan calonnya sendiri dengan kaptif pasar yang jelas. Sosok terpilih tak lebih sebagai komoditas yang digandrungi pasar pemilih. Pilihan ini secara perlahan semakin menenggelamkan partai, karena kemenangan sosok tidak serta merta menaikkan elektabilitas partai. Terbukti, sosok yang diusung oleh partai tertentu pada satu periode, bisa menang kembali pada periode berikutnya walaupun diusung oleh partai lain, seperti yang terjadi di Bali, NTB, dan sebagainya. Di tengah menurunnya popularitas partai, maka popularitas sosok menjadi pilihan.

Structural & Attitudinal
Ketergantungan partai politik pada sosok berakibat pada tersendatnya pelembagaan partai. Perpindahan anggota partai ke partai lain dan menurunnnya kepercayaan masyarakat terhadap partai menunjukkan lemahnya pelembagaan partai (party-institutionalization). Partai politik tak lebih sebagai paguyuban tempat mencari posisi khususnya menjelang kontestasi.
Minimnya pelembagaan partai politik dengan sendirinya mendegradasi kinerja partai di mata rakyat dengan segala konsekuensinya, termasuk tergerusnya kepercayaan masyarakat terhadap politisi. Seperti release jajak pendapat “Kompas”, (16/9/13), 86 persen responden tak yakin elite politik konsisten melaksanakan janjinya. Dalam demokrasi, krisis kepercayaan ini merupakan ancaman serius bagi kelanjutan konsolidasi.
Karena itu, meminjam perspektif Vicky Randall dan Lars Svasand (2002), konvensi bisa dilihat dalam dua perspektif. Pertama, perspektif structural. Yaitu sebagai ikhtiar untuk merekonstruksi mekanisme partai yang lebih terbuka dan transparan. Dalam hal ini diperlukan kepastian konvensi sebagai ajang rekrutmen yang diatur secara formal dan berlangsung secara berkesinambungan. Di sinilah aspek kelembagaan partai menjadi penting.
Kedua, perspektif attitudinal. Yaitu sebagai momentum untuk meraih sekaligus merangkul kehendak rakyat terkait pemimpin yang diinginkan. Konvensi menjadi salah satu instrumen partai untuk mempertarungkan kualitas sekaligus popularitas calon pemimpin. Pada titik ini aspek sikap dan perilaku kader (sosok) diperlukan.

Inklusi politik
Kontroversi konvensi dan Jokowi harus dimaknai dalam konteks yang lebih konstruktif dan inklusif, sehingga politik tak sekadar saling negasi dan diskriminasi. Ruang politik kita memerlukan sinergi dalam jalinan interaksi yang lebih lapang. Bukan menyesakkannya untuk kepentingan sesaat dan sempit.
Substansi kontroversi konvensi dan Jokowi sama. Ia merepresentasikan krisis kerja partai. Karena itu, keterbukaan partai secara internal (mekanisme stuktural) dan penyertaan (inklusi) politik secara eksternal (pelibatan sosial) menjadi kunci penguatan partai politik, khususnya dalam hal seleksi kepemimpin. Penguatan yang akan meleburkan oligarki dan mencairkan dominasi kaum elit dan berduit sebagai sisi gelap reformasi.
Dalam jangka panjang, inklusi politik bukan hanya untuk kepentingan partai. Inklusi politik akan memperkuat soliditas anak bangsa yang dalam beberapa kasus masih dihantui oleh diskriminasi dan negasi sebagai ekses dari eksklusi politik (political exclusion) para elite.

No comments: