Sunday, April 28, 2013

KTT ASEAN XXII




Opini

ASEAN DAN POLITIK IDENTITAS
 SUARA PEMBARUAN, Rabu, 24 April 2013


A. Bakir Ihsan


Ada semangat yang tampaknya terus disinergikan dalam rangkaian KTT ASEAN. Saat KTT ASEAN ke-21 di Phnom Penh, Kamboja tahun lalu, (15-20/11/12) tema besarnya; One Community, One Destiny. Kini, tema KTT ASEAN ke-22 (24-26/4/13) di bawah kepemimpinan Brunei Darussalam adalah “Our People, Our Future Together”. Kebersamaan dalam sebuah komunitas ASEAN menjadi ujung yang hendak dicapai oleh 10 negara anggotanya. Namun sejauhmana kemungkinan itu akan terjadi, khususnya di 2015 sebagai target capaian?
Pertanyaan ini penting diajukan untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan ASEAN ke depan baik dalam konteks ekonomi, politik, maupun budaya. Membentuk satu komunitas dalam keragaman bukan pekerjaan mudah, tapi juga bukan tak mungkin terjadi. Tantangan yang lebih berat sejatinya melahirkan banyak peluang untuk semakin optimis mencapainya.
Dalam perjalanan penulis ke beberapa negara ASEAN, terlihat adanya perbedaan (inequality) baik dalam konteks ekonomi maupun politik yang dalam hal tertentu bisa berefek pada proses menuju satu komunitas atau kebersamaan. Kebersamaan secara formalistik-simbolik bisa saja disepakati di antara petinggi negara, namun yang tak kalah pentingnya adalah kebersamaan substantif yang merekatkan warga ASEAN. Ini penting ditekankan karena secara historis, negara-negara ASEAN punya “nasib” yang sama sebagai negara berkembang dan secara kultural tumbuh dari beberapa suku bangsa. Hal ini berbeda dengan negara-negara Eropa yang tumbuh dan besar dari satu suku bangsa. Negara-negara di ASEAN tumbuh dari beragam suku bangsa yang pada titik tertentu melahirkan politik identintas. Salah satunya adalah identitas etnis bercampur agama, seperti di Myanmar, Thailand, dan Filipina.

Identitas Agama
ASEAN merupakan wilayah dengan identitas keagamaannya yang beragam dan cenderung kuat. Kalau dilihat secara geopolitik, ada tiga agama yang dominan di ASEAN, yaitu Islam, Buddha, dan Kristen dengan konsentrasi di negara yang berbeda-beda. Islam dominan di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, Buddha dominan di Thailand, Kamboja, Vietman, dan Myanmar, sementara Kristen di Filipina dan Singapura. Masing-masing agama berpotensi memperkuat politik identitas warga, tapi juga rentan dalam sistem demokrasi yang mengedepankan kebebasan. Hal ini terlihat dari persoalan identitas agama yang muncul di beberapa negara ASEAN.
Kecenderungan menguatnya preferensi politik berdasarkan agama merupakan hal yang tak terelakkan dalam politik. Sebagaimana didedah David R Segal (1974), bahkan dalam masyarakat yang sangat modern sekalipun, seperti Amerika, orientasi agama tak bisa dilepaskan dari preferensi politik warganya. Namun di negara yang tingkat demokrasinya belum terkonsolidasi, persoalan politik identitas (identity politics) menjadi problem tersendiri.
Kebebasan yang bersemi di satu sisi memungkinkan kelompok minoritas yang sebelumnya tak bisa bersuara mulai menuntut hak-haknya. Di sisi lain, atas nama kebebasan pula, mayoritas memainkan logika dominasinya. Dalam kondisi tersebut negara harus menjadi jalan tengah yang bisa mendamaikan.
Langkah tersebut tidak mudah dilakukan, karena kehadiran negara bukan taken for granted. Gerak pemerintahannya didasarkan pada suara mayoritas. Karena itu, negara akan selalu berhitung pada arah angin besar dalam kehidupan masyarakat. Inilah salah satu kritik Robert A. Dahl tentang demokrasi yang menawarkan kebebasan di tengah ketaksetaraan yang berdampak pada dominasi mayoritas. Karena itu, beberapa negara demokrasi memberikan hak veto bagi minoritas untuk ikut menentukan kebijakan agar tak diskriminatif. Namun langkah ini juga menyisakan masalah, karena kebebasan kemudian melahirkan diskriminasi atas nama minoritas. Di sinilah pentingnya nilai-nilai yang bisa mendorong masing-masing kelompok untuk saling menghargai. Agama sejatinya memiliki peran profetis untuk menumbuhkan nilai tersebut karena kehadirannya memang untuk mengikis represi dan diskriminasi.
Nilai-nilai agung keagamaan yang dianut oleh warga ASEAN ini bisa bersinergi dalam kesamaan nilai. Apalagi dalam beberapa telaah historis ditemukan adanya corak keberagamaan yang relatif inklusif dibandingkan di kawasan lainnya. Kedatangan Islam, misalnya hadir dalam konteks akulturasi budaya, bukan aneksasi apalagi invasi, sehingga corak Islam di ASEAN berbeda dengan di Timur Tengah. Begitu juga agama lainnya yang relatif lebih inklusif, bahkan pada titik tertentu sinkritis, berhadapan dengan realitas budaya. Melalui proses akulturasi dan dialog yang intens dengan budaya-budaya lokal di ASEAN bisa menjadi ruh yang melampaui, tanpa harus merusak, perbedaan budaya.
Agenda ini sejatinya menjadi bagian yang intens dikonstruksi dalam rangka membangun komunitas ASEAN. Fokus pada pengembangan kerjasama dan penyatuan ekonomi dan politik yang sudah berlangsung selama ini sangatlah penting. Namun, pertumbuhan nilai-nilai inklusif yang berpijak pada ajaran agama dan budaya lokal tak kalah pentingnya untuk memastikan kelanggengan satu komunitas ASEAN. Pendekatan ekonomi politik semata akan terjebak pada pertimbangan untung rugi relasi antar negara, tanpa fondasi nilai substantif yang merawat kaitan antar warga.

Kaukus Agamawan
Langkah menempatkan nilai-nilai universal agama sebagai ruh bagi terciptanya satu komunitas ASEAN tidaklah mudah di tengah kecenderungan pengabaian nilai-nilai agama dalam praktik kenegaraan yang korup dan diskriminatif di satu sisi dan radikalisasi agama di sisi yang lain. Namun upaya tersebut sejatinya bisa dimulai dengan membentuk kaukus kaum agamawan pada level ASEAN. Kaukus ini diperlukan untuk, pertama, menyamakan persepsi urgensi peran agama di sebuah kawasan. Ini bukan berarti mengkotak-kotak agama secara geopolitik, namun lebih melihat keragaman budaya yang secara faktual ikut mempengaruhi terhadap pemahaman agama masyarakat.
Kedua,  memahami adanya aspek-aspek spesifik yang memerlukan perhatian khusus dari kalangan agamawan. Langkah ini  perlu untuk mempribumisasikan agama yang selama ini didakwahkan secara universal. Melalui kaukus ini, universalitas agama dikontekstualisasikan dalam kehidupan faktual masyarakat yang majemuk. Lebih jauh, akan terjadi infiltrasi terhadap pemahaman keagamaan yang eksklusif yang mengancam terhadap perbedaan.
Ketiga, menyadari adanya realitas yang beragam yang masing-masing punya hak untuk hidup di sebuah kawasan. Dari sini diharapkan selalu ada upaya jalan keluar bagi problem kehidupan beragama yang cenderung berjalan menurut logika mayoritas dan di tengah negara belum mampu berbuat maksimal untuk menjembataninya.
Kaukus agamawan tidak berpretensi untuk menyeragamkan pemahaman agama, karena masing-masing agama punya ajaran. Ia lebih pada penyelesaian konflik melalui kerja-kerja kultural dengan dukungan kuat (political will) dari pemerintah (struktural) di masing-masing negara. Karena itu, diperlukan komitmen dan sinergitas kultural dan struktural melalui pemahaman agama yang inklusif  dalam ranah sosial dan adanya etika dan kemauan politik  secara struktural. Di sinilah momentum yang sejatinya menjadi bagian dari agenda KTT ASEAN menyongsong 2015, sehingga one community, one destiny dan our people, our future together tak sekadar semboyan. Semoga.

No comments: