Wednesday, September 26, 2012

General Assembly of the United Nations


Opini

PBB, Perdamaian, dan Agenda Kita
 Suara Pembaruan, Selasa, 25 September 2012

A Bakir Ihsan

Dunia saat ini dalam krisis multidimensi. Krisis ekonomi membuat sebagian negara yang maju sekalipun terancam, karenanya mereka berusaha bertahan. Di sisi lain, krisis kemanusian tak juga beranjak. Konflik dan tindak kekerasan semakin murah. Bahkan nyawa manusia tak berharga karena masalah yang tidak perlu. Film “The Innocence of Muslims”, misalnya, hanya bara intoleransi yang membangkitkan intoleransi lainnya dan menyebabkan puluhan orang mati tanpa arti. Di Pakistan, tidak kurang 15 orang meninggal dan puluhan lainnya luka-luka akibat aksi massa terkait film itu. (Financial Times, 22/9/2012).
Sekjen PBB menyebut film itu sebagai “...that appears to have been deliberately designed to sow bigotry and bloodshed.” (Ban Ki-moon, 14/9/2012). Atas nama kebebasan, orang abai terhadap “privasi” orang lain. Atas nama agama, orang “mendakwahkan” kebencian dan kekerasan.
Dalam bahasa yang berbeda, Imam Besar (grand mufti) Arab Saudi, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Al as-Syeikh, menyebut film tersebut sebagai tindak kejahatan yang keji dan serangan terhadap diplomat dan kedutaan besar asing sebagai tindakan tidak Islami. (Antara, 15/9/2012).
Substansi dari pernyataan kedua tokoh tersebut adalah kekerasan atas nama apapun tak bisa ditolerir dan karenya mendesak diakhiri. Terlebih di tengah ancaman alam, kemiskinan, dan kematian yang menuntut perhatian penuh dunia. Namun inilah fakta. Pasca perang dingin, kekerasan terpecah dalam ragam isu dan antagonisme yang siap meledak setiap saat.

Membangun Dialog
Jalan terbaik meretas krisis tersebut adalah menyemai perdamaian. Perdamaian tak sekadar terhapusnya kekerasan, tapi tumbuhnya kehendak kolektif untuk menata krisis global secara bersama-sama demi kemanusiaan universal. Masalah ini sebenarnya sudah menjadi agenda laten PBB dengan dideklarasikannya The International Day of Peace 30 tahun lalu, tepatnya 21 September 1982. Deklarasi ini dimaksudkan untuk menghapus perang dan kekerasan yang tak jarang terlegitimasi oleh kepentingan negara. Secara kuantitas perang berkurang, tapi kekerasan bermetamorfose dalam beragam bentuknya.
Pakar perdamaian, John Galtung (1969) mengklasifikasi kekerasan dalam tiga bentuk; kekerasan langsung (aktor), kekerasan struktural (structural violence), dan kekerasan kultural (cultural violence). Kekerasan yang terjadi belakangan ini merupakan akumulasi dari ketiga bentuk tersebut di tengah ketimpangan yang melanda dunia. Ketimpangan dan kesenjangan merupakan salah satu faktor yang mudah menyulut konflik dan kekerasan, terlebih di tengah transisi dan transformasi global yang belum selesai. Globalisasi yang didukung oleh perkembangan teknologi informasi menawarkan kegamangan antara keseragaman dengan keragaman, antara kesamarataan dengan kesenjangan. Inilah fakta yang tidak jarang memantik sensitivitas yang berujung pada konflik dan kekerasan.
Dalam kondisi tersebut, dialog diyakini bisa menjadi jalan peretas kegamangan. Bahkan Sekjen PBB, Ban Ki-moon menganggap dialog sebagai peredam tensi kemarahan, “....and stressed that at this time of tensions there is a need for “dialogue, mutual respect and understanding.” Ini pula yang didorong Presiden SBY melalui agenda dialog yang dibentuknya sebagai bagian dari soft power.
Dalam konteks regional, misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Malaysia (PM Abdullah Badawi), membangun jembatan dialog dalam bentuk Eminent Persons Group. Jembatan ini dimaksudkan agar perselisihan yang mudah mencuat bisa dikelola dengan baik, sehingga tidak mengganggu persahabatan di antara kedua bangsa. Dalam kaitan konflik masa lalu, bersama Timor Leste, Presiden SBY membangun Commission of Truth and Friendship untuk mengubur dendam masa lalu dan mengalihkannya pada agenda-agenda konstruktif ke depan bagi kemajuan kedua negara.
Bersama Norwegia, Presiden SBY membentuk Global Inter-media Dialogue (2006) yang dimaksudkan untuk mendorong kebebasan berekspresi, meningkatkan toleransi, dan memajukan perdamaian. Ini menjadi sangat penting di tengah peran eksesif media dalam menentukan pola pikir dan pola tindak masyarakat. Reaksi keras terhadap film “The Innocence of Muslims” tak lepas dari peran media yang memberi ruang tafsir dan ekspresi bebas bagi seluruh pembaca atau pemirsanya di seluruh pelosok bumi.
Dalam hal keagamaan, bersama kerajaan Inggris, Indonesia membangun dialog antar pemimpin Islam, Islamic Leaders dengan tujuan membangun pemahaman dan persepsi positif tentang Islam baik secara internal maupun eksternal. Agenda ini juga tak kalah pentingnya di tengah pemahaman simplistis sebagian masyarakat dunia terhadap Islam dan pemahaman distortif sebagian umat Islam yang menghalalkan kekerasan.

“Tekan” PBB
Langkah-langkah perdamaian melalui dialog yang intens sejatinya mempermudah terwujudnya jalan harmoni kehidupan global. Terlebih dengan terpilihnya Indonesia sebagai Ketua Komite 1 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada 9 September 2012, yang bertugas menangani pelucutan senjata dan keamanan internasional. Ini baru kali kedua bagi Indonesia setelah pada 1985 dipercayakan kepada Ali Alatas.
Kepercayaan yang diberikan secara aklamasi pada Indonesia tidak terlepas dari peran Indonesia dalam upayanya mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional. Sebagaimana kita tahu, lebih dari satu dasawarsa, Indonesia merupakan koordinator kelompok kerja pelucutan senjata gerakan non-blok. Indonesia berperan penting dalam penandatanganan protokol South-East Asia Nuclear-Weapon-Free Zone (SEANWFZ) oleh kelima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yakni Amerika, China, Rusia, Perancis, dan Inggris. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty (CTBT) dan aktif menjembatani kepentingan berbagai kelompok yang berbeda pandangan dalam isu perlucutan senjata dan nonproliferasi. Dalam konteks ini, Indonesia dinilai oleh banyak pihak sebagai bridge builder dan consensus builder dan menjadi bagian dari solusi.
Kepercayaan, pengalaman, dan komitmen Indonesia dalam hal perdamaian sejatinya menjadi senjata efektif untuk “memaksa” PBB lebih serius memastikan terwujudnya pedamaian dunia. Dan inilah salah satu misi yang dibawa Presiden SBY dalam sidang ke-67 Majelis Umum PBB kali ini. Bahkan Presiden mengusulkan kepada PBB dan OKI untuk membentuk protokol internasional antipenistaan agama sebagai manifestasi dari pasal 29 deklarasi hak asasi manusia (Declaration of Human Rights).
Upaya dan agenda perdamaian secara massif akan efektif apabila kekerasan dalam beragam bentuknya, baik struktural maupun kultural, sebagaimana dikonsepsikan Galtung, global maupun nasional, bisa diselesaikan. Pertama, kekerasan kultural yang menjelma dalam bentuk ajaran atau nilai yang melegitimasi diskriminasi dan memicu kekerasan, baik atas nama agama maupun ideologi harus direvisi. Termasuk dalam konteks kekerasan kultural ini adalah pemahaman yang menegasikan terhadap yang berbeda. Ini merupakan agenda para tokoh dan elit untuk bersama warganya menafsir ulang ajaran atau nilai yang terlanjur dipahami secara distortif, diskriminatif, dan paternalistik. Para elit dan tokoh yang berhubungan langsung dengan warga atau umatnya harus menjadi gerbang degradasi diskriminasi dan negasi.
Kedua, kekerasan struktural yang berwujud dominasi negara tertentu baik secara ekonomi, politik, maupun budaya terhadap negara lainnya harus terus ditekan sedemikian rupa sehingga memperpendek kesenjangan dan mempersempit sensitivitas. Dalam konteks nasional, hal tersebut berwujud pada peran negara untuk meretas kesenjangan dalam berbagai aspek yang terjadi dalam kehidupan warganya. Karena itu, ketiga, perlu rekonstruksi struktural untuk menempatkan semua negara atau warga negara secara equal. Yaitu dengan memberikan ruang dan hak yang sama dalam pengambilan keputusan. Hanya dengan kesetaraan (mutual respect), dialog sejati dan kesepahaman, sebagaimana menjadi agenda Sekjen PBB, bisa terjadi. Dominasi negara tertentu dalam penentuan kebijakan, seperti hak veto, merupakan wajah lain dari dominasi dan intervensi. Ini penting direkonstruksi di tengah upaya memperkuat democratic partnership antar negara secara global. Sekali lagi, Indonesia punya modal besar untuk semakin meyakinkan PBB bagi terciptanya dunia yang sejajar, damai, dan demokratis. Semoga.*

http://www.suarapembaruan.com/pages/e-paper/index.php

No comments: