Saturday, September 01, 2018

Kompas: Agenda Politik Agama Publik


Sumber: Tempo


Agenda Politik Agama Publik
Kompas, Jumat, 13 Juli 2018

A. Bakir Ihsan

Posisi agama di Indonesia tak hanya memantik analisis, tapi menuntut langkah praksis. Agama tak sekadar urusan privat, tapi menjadi ranah yang Jose Casanova (2012) sebut sebagai “agama publik” (public religions). Paling tidak, ada dua agenda penting terkait keterlibatan agama di ranah publik di Republik ini. Pertama, ekstremisme paham keagamaan. Keterlibatan agama di ranah publik memberi ruang beragam ekspresi keberagamaan, termasuk munculnya ekstremisme keberagamaan dengan beragam aktualisasinya, seperti diskriminasi, persekusi, bahkan upaya negasi terhadap eksistensi yang berbeda. Bom gereja di  Surabaya (13/5) dan penyerangan Ahmadiyah di Lombok Timur (19/5) adalah eksemplar negasi yang sangat gamblang dibaca.
Kedua, perselingkuhan agama dan politik. Kehadiran agama di ranah publik membuka ruang munculnya beragam model relasi agama dengan aspek kehidupan lainnya, termasuk dengan politik. Perselingkuhan agama dan politik tampil dalam dua wajah yang sama-sama distortif sekaligus destruktif bagi bangunan kebangsaan dan misi agung agama itu sendiri, yaitu politisasi agama atau agamaisasi politik (religionization of politics).
Munculnya ekstremisme maupun politisasi agama atau agamaisasi politik menunjukkan adanya kontestasi di ruang publik yang dapat “mengancam” pasar kebebasan. Era reformasi memberi ruang kontestasi bagi politik dan agama dalam langgam yang cenderung tanpa batas bahkan melibas fatsun politik kebangsaan. Problem tersebut hadir karena perbedaan tafsir publik di negara yang memberi ruang luas pada agama tanpa menjadi negara agama.

Ragam tafsir
Baik pada ranah awam maupun elite, terjadi ragam penafsiran dalam menempatkan agama di ranah publik. Walaupun agama publik tetap menahbiskan batas antara agama dan publik, namun faktanya kecenderungan perselingkuhan keduanya sangat kuat. Bahkan dalam beberapa kasus di masyarakat (negara) muslim, diferensiasi keduanya sulit diurai (Esposito, 1991).  
Berdasarkan diskursus yang berkembang selama ini, relasi agama dan negara (publik) di Indonesia mencerminkan tiga corak. Pertama, pandangan integralistik. Walaupun secara sistem kenegaraan, Indonesia menempatkan agama dalam posisi diferensial, namun kesadaran tentang agama yang serba mencakup (kaffah) dan harus diaktualisasikan secara formalistik-simbolik masih menjadi sudut pandang sebagian warga. Pernyataan Aman Abdurrahman, pendiri Jamaah Anshorut Daulah (JAD), misalnya, bahwa hukum dan pemerintahan di Indonesia adalah kafir karena tidak berlandaskan Alquran (Kompas, 25/5) menunjukkan puncak gunung es dari rapuhnya konstruksi kebangsaan warga.
Kedua, pandangan dominatif. Sebagian umat beragama memandang agama memiliki hak menguasai ranah publik dengan simbol-simbolnya yang khas. Misalnya muncul Perda Syariah, Perda Injil, Perda Hindu, dan peraturan berwajah agama lainnya yang memicu kegaduhan dan mempertebal sekat perbedaan antar agama. Begitu juga penggunaan idiom agama yang spesifik di ranah publik, merupakan ekspresi dominatif. Misalnya klasifikasi partai politik menjadi partai setan dan partai Allah sebagaimana disinyalir Amien Rais. (Tempo.Co, 14/4).
Ketiga, pandangan diferensial. Pandangan ini menempatkan agama dan politik sebagai dua ranah yang pada titik tertentu bisa berpotensi memecah belah, karenanya perlu dipisah. Hal ini bisa dibaca, salah satunya, dari pernyataan presiden Joko “Jokowi” Widodo pada awal 2017 tentang urgensi pemisahan agama dan politik dalam kehidupan publik. "Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik," ujar Presiden Jokowi. (Kompas.com, 24/3/17).
Ragam pandangan di atas menunjukkan perbedaan persepsi baik di ranah awam maupun elite dengan implementasi yang berbeda pula. Karena itu, diperlukan sinergi konsepsi atau kesamaan persepsi, sebagai alat pijak dalam pengembangan kehidupan agama publik yang konstruktif bagi masyarakat yang majemuk.

Pijakan publik
Ruang kebebasan yang hadir di era reformasi sejatinya melahirkan penguatan paradigma posisi agama di ranah publik sebagai lokus kebangsaan. Apalagi kontestasi diskursus agama dan politik di ranah publik sudah lama berlangsung, dan negara, terutama di era reformasi, telah memproduksi banyak institusi, termasuk kebijakan yang dirancang untuk mempercepat capaian agenda transformasi. Namun keberadaan institusi dan dinamika wacana belum sepenuhnya efektif berkelindan, sehingga problem terus berulang seakan tanpa ujung. Karena itu, agenda relasi konstruktif agama dan negara bisa dilakukan melalui optimalisasi atau institusionalisasi lembaga yang sudah ada.
Pertama, selama ini persoalan kehidupan beragama lebih dipandang sebagai agenda sektoral. Dalam konteks institusi, masalah tersebut menjadi ranah kementerian agama, sementara agama semakin menguat menjadi nafas publik dalam beragam ranah. Karena itu, keagamaan harus menjadi ruh semua lembaga negara sebagai penguat sinergi antar lembaga dan aktualisasi misi profetis agama. Keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), misalnya,  bisa mengkontruksi Pancasila melalui semangat agama publik, sehingga lahir warga yang pancasilais sekaligus agamis. Bangga mengatakan; saya Pancasilais, justru karena saya agamis. Dengan demikian, masyarakat merasakan kesenyawaan antara agama yang diyakini dengan ideologi yang dipahami melalui sikap dan perilaku kebangsaan.
Kedua, revitalisasi kaukus civil society keagamaan. Agenda kaukus ini adalah penguatan inklusivitas keberagamaan publik. Langkah ini penting untuk membangun solidaritas dan soliditas substantif antar civil society keagamaan yang inklusif. Melalui diseminasi inklusivitas tersebut akan mempersempit ruang gerak eksklusivitas keberagamaan yang mengancam kebhinnekaan.
Ketiga, reorientasi politik keagamaan. Seiring tampilnya politik sebagai panglima dan agama yang semakin menguat di ranah publik, maka diperlukan reorientasi yang menempatkan agama sebagai kekuatan konstruktif (profetis) poltik, bukan legitimatif. Selama ini partai, sebagai pilar penting politik dalam demokrasi, hanya merayakan simbol agama sebagai legitimasi dan justifikasi (politisasi agama) untuk kepentingan diri. Akibatnya terjadi distorsi atas agama yang universal menjadi sektoral. “Payung keagamaan” yang dimiliki partai politik saat ini perlu direorientasikan dari formalistik-simbolik menjadi substantif-esensialistik dalam sikap dan perilaku politik kadernya yang bermoral.

Dengan tiga langkah tersebut, agama publik diharapkan hadir sebagai kekuatan yang menggerakkan semangat kebersamaan (kebangsaan). Tentu ini bukan jalan mudah, karena sebagaimana pasar, relasi agama dan politik di tangan publik tergantung pada supply and demand-nya. Karenanya perlu langkah simultan dan komprehensif.*

https://kompas.id/baca/opini/2018/07/13/agenda-politik-agama-publik/ 

No comments: