Agenda Politik Agama Publik
Kompas, Jumat, 13 Juli 2018
A. Bakir Ihsan
Posisi agama di Indonesia tak hanya
memantik analisis, tapi menuntut langkah praksis. Agama tak sekadar urusan
privat, tapi menjadi ranah yang Jose Casanova (2012) sebut sebagai “agama
publik” (public religions). Paling
tidak, ada dua agenda penting terkait keterlibatan agama di ranah publik di
Republik ini. Pertama, ekstremisme paham keagamaan. Keterlibatan
agama di ranah publik memberi ruang beragam ekspresi keberagamaan, termasuk munculnya
ekstremisme keberagamaan dengan beragam aktualisasinya, seperti diskriminasi,
persekusi, bahkan upaya negasi terhadap eksistensi yang berbeda. Bom gereja di Surabaya (13/5) dan penyerangan Ahmadiyah di Lombok
Timur (19/5) adalah eksemplar negasi yang sangat gamblang dibaca.
Kedua, perselingkuhan
agama dan politik. Kehadiran
agama di ranah publik membuka ruang munculnya beragam model relasi agama dengan
aspek kehidupan lainnya, termasuk dengan politik. Perselingkuhan agama dan
politik tampil dalam
dua wajah yang sama-sama distortif sekaligus destruktif bagi bangunan
kebangsaan dan misi agung agama itu sendiri, yaitu politisasi agama atau
agamaisasi politik (religionization of
politics).
Munculnya ekstremisme maupun politisasi
agama atau agamaisasi politik menunjukkan
adanya kontestasi di ruang publik yang dapat “mengancam” pasar kebebasan. Era
reformasi memberi ruang kontestasi bagi politik dan agama dalam langgam yang
cenderung tanpa batas bahkan melibas fatsun politik kebangsaan. Problem
tersebut hadir karena perbedaan tafsir publik di negara yang memberi ruang
luas pada agama tanpa
menjadi negara agama.
Ragam tafsir
Baik pada
ranah awam maupun elite, terjadi ragam penafsiran dalam menempatkan agama di
ranah publik. Walaupun agama
publik tetap menahbiskan
batas antara agama dan publik, namun faktanya kecenderungan perselingkuhan keduanya
sangat kuat. Bahkan
dalam beberapa kasus di masyarakat
(negara) muslim, diferensiasi keduanya sulit diurai (Esposito, 1991).
Berdasarkan diskursus yang
berkembang selama ini,
relasi agama dan negara (publik) di Indonesia mencerminkan tiga corak. Pertama, pandangan integralistik. Walaupun
secara sistem kenegaraan, Indonesia menempatkan agama dalam posisi diferensial,
namun kesadaran tentang agama yang serba mencakup (kaffah) dan harus diaktualisasikan secara formalistik-simbolik
masih menjadi sudut pandang sebagian warga. Pernyataan Aman Abdurrahman, pendiri
Jamaah Anshorut Daulah (JAD), misalnya, bahwa hukum dan pemerintahan di
Indonesia adalah kafir karena tidak berlandaskan Alquran (Kompas, 25/5) menunjukkan puncak gunung es dari rapuhnya konstruksi
kebangsaan warga.
Kedua, pandangan dominatif. Sebagian umat beragama memandang agama
memiliki hak menguasai ranah publik dengan simbol-simbolnya yang khas. Misalnya
muncul Perda Syariah, Perda Injil, Perda Hindu, dan peraturan berwajah agama
lainnya yang memicu kegaduhan dan mempertebal sekat perbedaan antar agama. Begitu
juga penggunaan idiom agama yang spesifik di ranah publik, merupakan ekspresi
dominatif. Misalnya klasifikasi
partai politik menjadi partai setan dan partai Allah sebagaimana disinyalir
Amien Rais. (Tempo.Co, 14/4).
Ketiga, pandangan diferensial. Pandangan
ini menempatkan agama dan politik sebagai dua ranah yang pada titik tertentu
bisa berpotensi memecah belah, karenanya perlu dipisah. Hal ini bisa dibaca,
salah satunya, dari pernyataan presiden Joko “Jokowi” Widodo pada awal 2017 tentang urgensi
pemisahan agama dan
politik dalam kehidupan publik. "Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama,
mana yang politik," ujar
Presiden Jokowi. (Kompas.com,
24/3/17).
Ragam
pandangan di atas menunjukkan perbedaan persepsi baik di ranah awam maupun
elite dengan implementasi yang berbeda pula. Karena itu, diperlukan sinergi konsepsi
atau kesamaan persepsi, sebagai alat pijak dalam pengembangan kehidupan agama
publik yang konstruktif bagi masyarakat yang majemuk.
Pijakan publik
Ruang kebebasan yang hadir di era
reformasi sejatinya melahirkan penguatan paradigma posisi agama di ranah publik
sebagai lokus kebangsaan. Apalagi kontestasi
diskursus agama dan politik di ranah publik sudah lama berlangsung, dan negara, terutama di era reformasi, telah memproduksi banyak institusi,
termasuk kebijakan yang dirancang untuk mempercepat capaian agenda transformasi.
Namun keberadaan institusi dan dinamika wacana belum sepenuhnya efektif
berkelindan, sehingga problem terus berulang seakan tanpa ujung. Karena itu, agenda relasi
konstruktif agama dan negara bisa dilakukan melalui optimalisasi atau institusionalisasi
lembaga yang sudah ada.
Pertama, selama ini persoalan kehidupan
beragama lebih dipandang sebagai agenda sektoral. Dalam konteks institusi, masalah
tersebut menjadi ranah kementerian agama, sementara agama semakin menguat
menjadi nafas publik dalam beragam ranah.
Karena itu, keagamaan harus menjadi ruh semua lembaga negara sebagai
penguat sinergi antar lembaga dan aktualisasi misi profetis agama. Keberadaan Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), misalnya, bisa mengkontruksi Pancasila melalui semangat
agama publik, sehingga lahir warga yang pancasilais sekaligus agamis. Bangga
mengatakan; saya Pancasilais, justru karena saya agamis. Dengan demikian,
masyarakat merasakan kesenyawaan antara agama yang diyakini dengan ideologi
yang dipahami melalui sikap dan perilaku kebangsaan.
Kedua, revitalisasi kaukus civil society keagamaan. Agenda kaukus
ini adalah penguatan inklusivitas keberagamaan publik. Langkah ini penting untuk
membangun solidaritas dan soliditas substantif antar civil society keagamaan
yang inklusif. Melalui diseminasi inklusivitas tersebut akan mempersempit ruang
gerak eksklusivitas keberagamaan yang mengancam kebhinnekaan.
Ketiga, reorientasi politik
keagamaan. Seiring tampilnya politik sebagai panglima dan agama yang semakin menguat
di ranah publik, maka diperlukan reorientasi yang menempatkan agama sebagai kekuatan
konstruktif (profetis) poltik, bukan legitimatif. Selama ini partai, sebagai pilar
penting politik dalam
demokrasi, hanya merayakan simbol agama sebagai legitimasi dan
justifikasi (politisasi agama) untuk kepentingan
diri. Akibatnya
terjadi distorsi atas agama yang universal menjadi sektoral. “Payung keagamaan”
yang dimiliki partai politik saat ini perlu direorientasikan dari formalistik-simbolik
menjadi substantif-esensialistik dalam sikap dan perilaku politik kadernya yang
bermoral.
Dengan tiga
langkah tersebut, agama publik diharapkan hadir sebagai kekuatan yang
menggerakkan semangat kebersamaan (kebangsaan). Tentu ini bukan jalan mudah,
karena sebagaimana pasar, relasi agama dan politik di tangan publik tergantung
pada supply and demand-nya. Karenanya perlu langkah simultan dan
komprehensif.*
https://kompas.id/baca/opini/2018/07/13/agenda-politik-agama-publik/
https://kompas.id/baca/opini/2018/07/13/agenda-politik-agama-publik/
No comments:
Post a Comment