Opini
Skandal Gelar tanpa Nalar
Republika, 25 Agustus 2005
Oleh A. Bakir Ihsan
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dunia pendidikan kembali dikejutkan oleh keberadaan lembaga-lembaga pendidikan illegal. Gelar diobral berdasarkan modal yang disetor. Kasus Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI) hanyalah puncak gunung es dari jual beli gelar yang mewabah di Republik ini. Siapakah di antara para penyandang gelar palsu tersebut?
Sebelum kasus IMGI ini mencuat, Wapres, Jusuf Kalla menyampaikan keraguannya terhadap gelar sarjana, S2 dan S3 yang disandang para calon kepala daerah (Kompas, 01/7/2005). Seperti jamur yang tumbuh di musim hujan, tiba-tiba banyak kepala daerah bergelar ria, mulai dari SE, SH, MM, MBA, bahkan doktor. Keluhan serupa disampaikan oleh anggota DPR RI, Mahfud MD yang meminta tindakan tegas dari pihak kepolisian atas kemungkinan pemalsuan atau pemberian gelar yang lebih mementingkan uang daripada kualitas. Padahal menurut Mahfud, untuk mendapatkan gelar doktor apalagi guru besar sungguh sangat sulit persyaratannya terutama secara akademik. Keraguan Wapres dan anggota DPR RI tersebut patut muncul di tengah merebaknya ijazah palsu dan potret kelam dunia pendidikan kita setelah kegagalan para siswa dalam menempuh ujian nasional.
Kerisauan tentang dunia pendidikan seakan menjadi pelengkap atas carut marut dunia pendidikan kita yang menawarkan banyak cara tapi tanpa makna. Seorang kolega saya yang cukup punya nama, hampir setiap tahun ditawari gelar kehormatan, mulai sebagai man of the year, tokoh berprestasi, top excutive, sampai gelar doktor honoris causa dengan hanya bermodal jutaan rupiah. Bagi orang berduit dan haus penghargaan atau gelar, tentu tidak sulit mengambil jalan pintas untuk mendapatkan gelar tersebut. Namun efek lebih jauh dari formalisasi tersebut adalah hancurnya korelasi antara gelar dengan kualitas yang dimilikinya, sehingga muncul inflasi gelar.
Potret Ketakberdayaan
Dunia pendidikan saat ini memperlihatkan dua potret paradoksal. Di satu sisi, banyak orang yang dengan mudah mendapatkan gelar pendidikan melalui uang yang dimilikinya, sementara di sisi lain, banyak masyarakat yang tak mampu melanjutkan sekolah karena kekurangan uang. Kedua-duanya menunjukkan kelemahan atau ketakberdayaan. Mereka yang berduit tidak berdaya secara kualitas sehingga harus membeli atau mengambil jalan pintas, sementara mereka yang tak berdaya secara ekonomi harus memupus masa depannya.
Kenyataan paradoks ini patut diprihatinkan karena kualitas manusia merupakan penggerak utama keberlangsungan eksistensi sebuah negara. Negara hanya bisa digerakkan oleh mereka yang berpendidikan, punya pengetahuan, dan kemampuan untuk menjalankan negara ini. Sehingga tidak berlebihan apabila Plato menganggap seorang cerdik cendekia (philosopher king) sebagai sosok yang paling berhak untuk memimpin sebuah negara. Pernyataan Plato tersebut bukan mengacu pada formalitas pendidikan melalui gelar atau simbol-simbol akademik lainnya, tetapi lebih pada kualitas dan integritas intelektualnya. Pembelian gelar atau pemberian gelar tanpa seleksi yang ketat secara kualitas dengan sendirinya semakin memperparah nasib dunia pendidikan kita.
Belum lagi carut marut standar KBK yang sering diplesetkan menjadi Kurikulum Bagaimana Kita. Sebuah arah pendidikan yang idealnya menjadi landasan bagi pembentukan kualitas generasi bangsa seakan terpendam di antara narasi besar para elit untuk kepentingan citra diri, bukan citra generasi mandiri.
Problem dana, yang menyebabkan lembaga pendidikan seperti dihadapkan pada buah simalakama, merupakan problem lain dari dunia pendidikan kita. Lembaga-lembaga pendidikan harus berebut siswa atau mahasiswa agar bisa tetap eksis dan mendapat aliran dana dari peserta didiknya. Kondisi demikian, satu sisi bisa memacu lembaga pendidikan untuk meningkatkan kualitasnya, tetapi di sisi lain, bisa menyebabkan lembaga pendidikan melacurkan diri dengan menerima peserta didik tanpa penyaringan yang berarti. Proses ini pada akhirnya akan bermuara pada menumpuknya lulusan yang secara kualitas tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Kalau kita runut berbagai problem tersebut bisa dipilah dalam dua kerangka besar, yaitu problem kultural (cultural issues) dan problem struktural (structural issues). Secara kultur, masyarakat kita masih berkutat pada formalitas pendidikan. Pendidikan dilihat sebagai tujuan (final) dari proses pengembangan kualitas warga bangsa. Paradigma ini pada akhirnya mendorong munculnya kebijakan (structural issues) yang menekankan citra daripada fakta, merayakan simbol daripada substansi. Para peserta didik dipacu untuk mendapatkan citra dan simbol tersebut dengan menghalalkan segala cara, termasuk dengan cara membeli gelar atau mendapatkan kelulusan secara tidak wajar.
Kedua problem tersebut menuntut adanya rekonstruksi terhadap dunia pendidikan secara komprehensif dan berkesinambungan. Dunia pendidikan harus memiliki standar baku yang dapat diterapkan tanpa terjebak oleh pergantian menteri atau rezim. Standar tersebut bisa tercapai apabila didasarkan pada wacana-wacana yang berkembang dari para praktisi dan pengamat pendidikan yang ada di berbagai pelosok negeri ini. Sehingga pendidikan betul-betul berpijak pada kebutuhan masyarakat dan melahirkan manusia-manusia berkualitas, bukan kuantitas gelar yang hadir tanpa nalar.*
No comments:
Post a Comment