Opini
SBY dan Politik Formalin
Lampung Post, 6 Februari 2006
A. Bakir Ihsan
Formalin tiba-tiba menjadi kata yang begitu masyhur. Bahkan di kalangan masyarakat awam yang selama ini lebih sibuk bergulat dengan nasib hidupnya dari pada terbuai oleh kata-kata. Tragisnya, formalin ternyata banyak bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kelas bawah. Mulai dari tahu, ikan asin, mie basah sampai peralatan makan dari melamin yang murah yang biasa dikonsumsi masyarakat bawah tercemar formalin. Belum lagi makanan lain yang berserakan di pasar tanpa jaminan kualitas menjadi konsumsi masyarakat bawah. Gejala ini menunjukkan bahwa masyarakat dibiarkan berkubang dalam ketidakpastian hidup sebagai warga negara dan berada dalam ancaman yang tak terduga. Lebih jauh gejala tersebut secara tidak langsung dapat berimplikasi pada awet tidaknya sebuah kekuasaan. Tulisan ini mencoba membedah persoalan formalin dalam konteks kekuasaan, yaitu sejauhmana kekuasaan bisa awet atau diawetkan dalam konstelasi politik negara bangsa.
Sebagaimana dimaklumi, formalin merupakan zat pengawet untuk jenazah. Di dalamnya terkandung paradoksalitas. Ia murah, tapi mahal akibatnya. Ia mengawetkan, tapi membusukkan pemakainya. Dalam konteks politik kekuasaan hal ini biasa dipergunakan untuk kepentingan status quo. Kekuasaan cenderung berusaha, dengan segala cara, untuk mengawetkan kekuasaannya. Inilah yang penulis sebut sebagai proses formalinisasi politik, yaitu proses pengawetan kekuasaan dengan cara-cara yang membahayakan kedaulatan warganya. Pertanyaannya mengapa kekuasaan harus diawetkan?
Kekuasaan pada dasarnya fana dan fluktuatif. Itulah sebabnya kekuasaan harus dibatasi jangka waktunya, sehingga tidak terjadi gonta-ganti kekuasaan dalam waktu yang sangat singkat yang menyebabkan terbengkalainya agenda kehidupan bernegara. Hal ini sebagaimana terjadi pada masa orde lama. Gonta-ganti kabinet merupakan implikasi dari tidak maksimalnya proses formalinisasi kekuasaan, sehingga mengancam stabilitas politik.
Sebaliknya formalinisasi politik seringkali menyebabkan kekuasaan terlalu awet dan mengeras, sehingga membunuh kedaulatan rakyatnya dan merongrong eksistensi kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan yang terlalu lama cenderung tak terkontrol dan mengkristal menjadi otoriter. Inilah praktik kekuasaan orde baru yang secara perlahan tapi pasti menyebabkan terjadinya pembusukan politik yang berpuncak pada 1998.
Dalam khazanah ekonomi-politik, stabilitas kekuasaan diperlukan demi tercapainya tujuan bernegara secara maksimal. Namun karena cara-cara pengawetan kekuasaan sering dilakukan secara illegal dan membahayakan, maka di balik awetnya kekuasaan terkandung zat (faktor) yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan itu sendiri.
Dari realitas historis tersebut terlihat bahwa rekayasan pengawetan (formalinisasi) kekuasaan dalam rentang waktu yang begitu lama hanya menghadirkan kenikmatan sesaat dan sedikit demi sedikit mengancam eksistensi sebuah negara bangsa. Bubarnya Uni Soviet merupakan contoh paling gamblang betapa pengawetan kekuasaan melalui hegemoni kekuasaan menjadi awal dari pembusukan politik (political decay) yang berakhir dengan bubarnya imperium negara komunis itu.
Deformalinisasi Politik
Reformasi yang lahir sebagai antitesa dari otoritarianisme orde baru, seharusnya menjadi momentum berakhirnya formalinisasi politik. Formalinisasi politik merupakan jalan pintas yang murah meriah untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi dengan ancaman bahaya yang mengerikan; yaitu pembusukan politik warga negara.
Bahwa kekuasaan memerlukan stabilitas dalam menjalankan programnya, merupakan sebuah keniscayaan. Penguasa harus memiliki orientasi untuk menstabilkan kekuasaannya secara elegan dan bertumpu pada pilar-pilar kerakyatan, sehingga mampu mengejawantahkan aspirasi masyarakatnya secara maksimal. Kegagalan Gus Dur menyelesaikan masa jabatannya, salah satunya, karena ia gagal menggunakan modal kepercayaan rakyat untuk mengawetkan kekuasaannya. Ia bermain sendiri dan merasa yakin bahwa kekuasaannya akan berjalan dan bertahan secara alamiah. Gus Dur yang dikenal sebagai kampiun demokrasi, ternyata gagal untuk menampilkan tradisi demokrasi yang apik melalui proses pergantian kepemimpinan yang reguler.
Sebaliknya Megawati dengan mengantongi suara terbanyak di DPR RI waktu itu tidak mampu menggunakannya secara maksimal, sehingga harus rela menjadi wakil presiden, dan baru kemudian menjadi presiden menghabiskan sisa masa jabatan Gus Dur. Namun ia gagal “mengawetkan” kekuasaannya setelah kalah dalam pilpres langsung 2004.
Kemenangan SBY dalam pilpres langsung (direct democracy) sebenarnya merupakan modal yang sangat ampuh untuk mengawetkan kekuasaannya secara konstitusional. Dan hal ini akan terjadi apabila SBY mampu mengimplimentasikannya melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Dari sini kekuasaan yang dipegangnya dengan sendirinya akan awet dan langgeng.
Di alam demokrasi, rakyat begitu sangat penting bagi kekuasaan, karena kedaulatan rakyat merupakan kedaulatan Tuhan. Begitu juga suara rakyat adalah suara Tuhan, kepercayaan rakyat merupakan kepercayaan Tuhan. Landasan demokrasi tersebut dengan sendirinya akan menjadikan setiap kekuasaan yang berpijak pada kedaulatan, suara, dan kepercayaan rakyat akan langgeng tanpa rekayasa apalagi melalui siksa. Dan SBY saya kira sudah belajar banyak dari masa lalu, sehingga wajar apabila ia mendambakan sebuah demokrasi dan suksesi berlangsung secara reguler.
Formalin apa pun bentuknya akan melahirkan kematian, karena ia memang bahan pengawet untuk orang mati. Bila kekuasaan menerapkan formalinisasi politik, maka demokrasi tinggal menunggu ajalnya. Sebaliknya, bila kekuasaan dibiarkan terombang-ambing atas nama kebebasan atau demokrasi, maka kekuasaan itu akan tercabik-cabik oleh berbagai kepentingan dan secara perlahan ia menggali kuburnya sendiri.
Di tengah transisi sosial-politik, ekonomi, dan hukum saat ini segala kemungkinan bisa terjadi, termasuk formalinisasi kekuasaan. Namun kita tetap memiliki modal kuat untuk tidak terjerumus ke sana, karena kita sendirilah yang menentukan pilihan dan pemegang kedaulatan. Dan SBY dipilih oleh masyarakat bukan melalui rekayasa apalagi kudeta. Oleh sebab itu, SBY harus mampu menggunakan modal tersebut secara maksimal dengan memperhatikan dan mengakomodir kepentingan rakyat. Karena hanya melalui cara itulah kekuasaannya akan awet dan langgeng secara bermartabat, paling tidak sampai 2009, bahkan bisa lebih dari itu. Kalau tidak, maka tinggal waktu lah yang akan memutuskan.*
No comments:
Post a Comment