Opini
Praktik Percaloan di DPR
Republika, 14 September 2005
A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta
DPR kembali disorot. Setelah mendapat banyak kritik terkait usulan kenaikan gaji, kini mereka tersangkut dunia percaloan. Kedua kasus ini sebenarnya sama saja; DPR sangat bersyahwat dengan uang. Mengapa demikian?
Kawan saya sebagai newcomer di DPR pernah mengeluh gajinya tidak cukup. Padahal sebelum menjadi anggota legislatif, ia tidak pernah mendapatkan gaji sebesar itu. Selidik punya selidik, ternyata pengeluarannya semakin banyak. Selain harus ganti mobil yang lebih prestise, ia kini harus “lebih dermawan” daripada sebelumnya. Menjelang lebaran yang lalu, misalnya, ia membagi-bagikan 6000 sarung untuk konstituennya. Di kantornya hampir setiap hari tetamu tak diundang berkunjung sekadar berbasa-basi dan kawan ini tak enak kalau tidak ngasih uang saku ala kadarnya. Sebagai ketua organisasi kepemudaan, kawan ini juga harus menyisihkan uangnya untuk proposal-proposal yang minta sumbangan, baik untuk seminar maupun kegiatan sosial. Di akhir bulan, kawan ini hanya menyisakan sekian persen dari gaji yang diterimanya setelah dipotong untuk partainya.
Ini hanya satu potret dari sekian potret anggota DPR RI lainnya dalam memperlakukan uang. Saya tidak ingin mengeneralisir prilaku semua anggota dewan sama dengan prilaku kawan saya itu. Tapi melihat gelagat nafsu anggota DPR terhadap urusan uang, mulai kasus permintaan kenaikan gaji sampai kasus percaloan, memperlihatkan bahwa uang telah menjadi candu yang membuat mereka tidak sensitif terhadap problem sosial yang berkubang dalam krisis tanpa akhir.
Tiga Basis Finansial
Realitas tersebut sebenarnya bukan fenomena baru. Bahkan dalam beberapa kasus anggota dewan baik di pusat maupun di daerah memiliki kecenderungan yang sama. Urusan uang, DPR tak terbendung, karena posisi mereka menentukan. Mereka tidak sekadar mengantongi legitimasi atas nama rakyat, tapi juga secara kuantitas mereka cukup banyak, sehingga memiliki daya tawar (pressure) yang kuat. Namun yang lebih menentukan atas “perselingkuhan” DPR dengan urusan uang adalah karena uang telah menjadi basis eksistensi, kinerja, dan citra diri anggota DPR yang sejatinya sebagai pengemban amanat rakyat, bukan pembeban uang rakyat.
Pertama, uang sebagai basis eksistensi. Keberadaan anggota DPR merupakan bukti keberhasilan mereka meraih simpati masyarakat. Namun simpati tersebut tidak sepenuhnya, bahkan sebagian mungkin tidak sama sekali, berdasarkan pada integritas dan komitmen yang dimiliki oleh anggota dewan tersebut. Simpati muncul karena pendekatan yang bersifat semu. Masyarakat dipaksa atau terpaksa bersimpati karena pendekatan uang yang terlanjur dijadikan ikon kedekatan dan kepedulian untuk meraih simpati tersebut. Dalam Pemilu yang lalu misalnya, kawan saya menghabiskan 140 juta untuk kampanye. Sebuah nilai yang mungkin tidak besar bagi mereka karena berharap dapat ditutup dengan gaji atau pemasukan lainnya. Pada titik ini, mereka bukan wakil yang berbasis sosial, tetapi finansial.
Kedua, uang sebagai barometer kinerja. Tinggi rendahnya kinerja mereka tergantung pada jumlah uang yang diterimanya. Secara nalar bisnis, logika tersebut sangat logis, walaupun DPR sendiri bukan lembaga bisnis. Namun sayangnya, secara fakta logika tersebut tidak berbanding lurus dengan kinerja mereka. Selama ini seluruh aktivitas anggota DPR tidak pernah lepas dari uang, mulai dari kunjungan kerja sampai rapat-rapat komisi, namun tetap saja kinerja mereka tidak maksimal. Mereka yang bolos atau yang hanya datang dan tidur dalam sidang tetap terima gaji yang sama.
Ketiga, uang sebagai basis citra diri. Pada titik tertentu uang bagi anggota DPR bukan lagi kebutuhan, tapi menjadi media pembentukan citra diri dan keluarganya. Mereka harus ganti mobil atau membeli mobil bagus untuk sebuah prestise. Belum lagi para istri-istri anggota dewan yang harus menampilkan diri sesuai dengan identitas dan status suaminya. Sehingga tidak heran apabila pada awal tahun ini kita dikejutkan oleh ulah Persatuan Istri Anggota (PIA) DPR yang sibuk membicarakan pembelian apartemen mewah di saat suami-suami mereka membahas kenaikan BBM yang sungguh menyengsarakan rakyat. Mereka tidak memposisikan dirinya sebagai wakil atau representasi dari, oleh, dan untuk rakyat, tetapi menjadi elit-elit baru baik secara politik maupun finansial yang tercerabut dari akarnya yang sejati.
Ketiga realitas tersebut merupakan implikasi lebih jauh dari kondisi parpol yang belum meletakkan dirinya sebagai medium agregasi dan artikulasi aspirasi masyarakat. Parpol masih bertingkah sentralistik sehingga melahirkan politisi-politisi elitis yang tidak berbasis sosial. Pendekatan uang terhadap konstituen membuktikan bahwa eksistensi mereka tidak berakar secara sosial, tapi finansial. Konsekuensinya partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi, baik dalam pemilu maupun pilkada, tak lebih sekadar hiburan dan pesta uang. Masyarakat “dibutakan” akan implikasi-implikasi yang bisa mendera dirinya akibat salah pilih.
Karena eksistensi anggota dewan identik dengan uang, maka masyarakat menganggap mereka sebagai sumber uang yang selau siap untuk berbagi. Image demikian dengan sendirinya telah “memaksa” anggota dewan untuk memeras sumber-sumber dana yang ada dengan berbagai cara, baik melalui kenaikan gaji, manipulasi masa kunjungan kerja (kunker), maupun praktik percaloan untuk kepentingan eksistensi dan citra diri.
Nalar dan Moral Politik
Realitas money oriented yang menyeruak dari Senayan tersebut tidak bisa dibiarkan, karena akan merusak tatanan politik yang hendak dibangun di alam reformasi ini. Dalam kondisi demikian, peran partai politik sangat menentukan, karena dari situlah politisi-politisi dengan segala prilaku politiknya dilahirkan. Oleh sebab itu, diperlukan rekonstruksi sekaligus revitalisasi parpol sebagai medium pemberdayaan politik masyarakat. Parpol harus menjadi garda terdepan untuk membongkar paternalisme politik yang membungkam partisipasi rakyat. Di sinilah kecerdasan nalar politik dan kekuatan moral politik dipertaruhkan, yaitu sebuah prilaku politik yang dibangun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional, kritis, dan bermartabat. Seluruh proses politik, termasuk di dalamnya usulan kenaikan gaji, harus bisa dilogikakan dan dikalkulasi secara akal sehat serta dikritisi berdasarkan nalar dan realitas sosial.
Kecerdasan nalar politik tidak identik dengan gelar kesarjanaan para politisi, tetapi lebih pada kecerdasan dalam mencerna, mengapresiasi, dan mengagregasi aspirasi masyarakat serta mengkritisi langkah pemerintah. Begitu juga moral politik tidak diukur oleh identitas sosial para politisi, apakah ia seorang ustad atau tokoh masyarakat, tetapi pada kepedulian, komitmen, dan sensitivitas terhadap problem yang dihadapi masyarakat.
Kemampuan mensintesakan antara kecerdasan nalar dan kekuatan moral akan membentuk sebuah integritas politik yang menempatkan rakyat sebagai akar pengabdiannya dengan karya nyata bukan harta. Kondisi ini pada akhirnya akan mempercepat pemberdayaan politik masyarakat yang selama ini terbengkalai oleh elitisme para politisi dan orientasi finansial yang belakangan lebih sering “dipertontonkan” oleh anggota dewan terhormat.*
No comments:
Post a Comment