Opini
SBY dan Citra Politik Internasional
Bisnis Indonesia, 10 Februari 2006
A. Bakir Ihsan
Walaupun kita didera berbagai derita, mulai gempa bumi, longsor, banjir, dan rasa aman yang belum maksimal, namun secara umum kondisi ekonomi, politik, dan hukum di Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Indikatornya bisa dilihat dari adanya stabilitas ekonomi, penegakan hukum, dan ruang publik politik yang semakin terbuka saat ini. Namun hal tersebut belum diikuti oleh langkah-langkah konstruktif lainnya yang tidak kalah pentingnya bagi eksistensi negara Indonesia, khususnya di mata internasional.
Memasuki tahun 2006 ini ada beberapa peristiwa penting yang seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah dan DPR, bagi kepentingan citra Indonesia di mata internasional. Pertama, laporan Komisi Penerimaan Kebenaran dan Rekonsiliasi atau Commissao de Acolhimento e Reconciliacao (CAVR) tentang pelanggaran HAM oleh Indonesia yang disampaikan Xanana Gusmao ke PBB. Menurut laporan ini operasi militer yang dijalankan Indonesia sejak 1975-1999 telah memakan korban sedikitnya 183.000 orang.
Kedua, tuntutan suaka politik 43 warga Papua ke Australia dan rencana pencarian suaka jamaah Ahmadiyah karena merasa terancam di Indonesia. Kedua kasus ini merupakan puncak gunung es dari persoalan yang bisa menjadi bumerang bagi citra Indonesia di mata internasional. Selain kasus Ahmadiyah, kedua kasus lainnya tidak saja menyeret eksistensi negara, tapi juga mendiskreditkan lembaga TNI yang mulai pulih citranya di mata dunia internasional. Isu yang mereka hembuskan sedikti banyak akan menjadi pertimbangan dunia internasional dalam menyikapi Indonesia.
Hegemoni Wacana
Walaupun secara politik Presiden SBY telah mengambil sikap terhadap langkah Xanana dengan menggagalkan pertemuannya dengan Xanana, namun tanpa respon serius dan seimbang dari pemerintah, sedikit banyak masalah Papua dan Timor Leste dapat mempengaruhi citra Indonesia di mata internasional. Apa pun motif laporan yang diberikan Xanana kepada PBB tentang masa lalu sejarah Indonesia di Timor Timur tetap akan membasuh luka lama yang mulai mengering.
Fenomena Xanana adalah kerikil kecil yang dapat menghambat perjalanan diplomasi Indonesia. Begitu juga dengan Papua dan wilayah lainnya yang berusaha menarik perhatian internasional melalui manuver-manuver politik yang melibatkan negara lain. Pendekatan hegemoni wacana yang dilakukan kaum separatis maupun negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia dapat menjadi sangat ampuh dan strategis di era informasi dan komunikasi ini.
Di abad informasi ini, separatisme telah masuk melalui penguatan jaringan informasi, termasuk menciptakan simulakra yang dapat mempengaruhi diplomasi internasional. Oleh sebab itu, pendekatan kaum separatis ini harus diimbangi oleh kecanggihan negara membangun image internasional tersebut, sambil membangun basis budaya yang bisa mengikat dan memperkuat rasa kebangsaan masyarakat khususnya yang ada di daerah perbatasan dengan negara lain.
Bukti kuatnya pengaruh pendekatan diplomasi di abad informasi ini adalah persepsi dunia internasional tentang penembakan 3 WNI di perbatasan Timor Leste yang menurut mereka adalah penyusup sehingga sah untuk ditembak. Seperti disampaikan oleh Sekjen PBB, Kofi Annan bahwa penembakan terhadap 3 WNI karena mereka adalah penyusup. Asumsi tersebut tentu melahirkan stigma negatif bagi Indonesia. Paling tidak Indonesia dianggap sebagai negara yang telah dengan sengaja memakai rakyat sebagai martil untuk menyusup secara illegal ke negara tetangga yang notabene bekas wilayahnya sendiri. Kenyataan ini membuktikan bahwa diplomasi yang dilakukan oleh Timor Leste telah menjadi kekuatan hegemonik yang mempengaruhi PBB sebagai badan internasional. Wacana ini sungguh berbeda dengan opini yang muncul di dalam negeri yang justru menyalahkan Timor Leste karena melakukan penembakan terhadap warga yang masih ada di wilayahnya.
Stigmatisasi tersebut patut ditanggapi karena bila dibiarkan akan menjadi blunder dan simulakra yang akan menjatuhkan kualitas diplomasi dan citra Indonesia di mata internasional. Begitu juga dengan kasus pencarian suaka yang dilakukan oleh warga Papua. Di abad informasi ini, setiap wacana yang berasal dari manapun, bahkan dari rumor sekalipun akan menjadi simulakra yang akan menyulap segala kata menjadi nyata. Walaupun alasan pencarian suaka dianggap tak berdasar, tetapi karena ia telah menjadi bagian dari dunia simulakra, dengan sendirinya ia seakan benar adanya.
Membangun Citra
Walaupun SBY banyak dihadapkan pada agenda dalam negeri yang begitu luar biasa, tetapi tidak ada salahnya apabila juga dilakukan upaya-upaya penguatan diplomasi yang dapat mengubah stigma negatif internasional menjadi citra positif bagi Indonesia. Paling tidak dari citra positif tersebut dapat mendorong pihak luar untuk membantu menyelesaikan persoalan yang melilit dalam negeri, khususunya di bidang investasi dan penguatan kesejahteraan yang belum beranjak bagus.
Sebaliknya apabila kasus-kasus kecil yang mempengaruhi politik internasional dibiarkan atau tidak mendapat respon yang maksimal, dikhawatirkan dapat menyurutkan simpati dunia internasional terhadap Indonesia.
Setiap masalah selalu memiliki akar historis. Begitu juga dengan Timor Leste ia mengandung bara persoalan yang mengalir sejak lama, bahkan sebelum bergabung dengan Indonesia. Ketika Portugis dan Belanda berkuasa, wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste telah menjadi ajang perebutan dan pencurian di antara kedua belah pihak. Ketika Timor Timor bergabung dengan Indonesia hal tersebut tidak terjadi lagi, karena berada dalam satu wilayah. Saat ini, ketika kedua wilayah berada dalam otoritas yang berbeda, maka saling mengambil hasil bumi di antara penduduk kedua wilayah tersebut terjadi lagi. Masalah ini tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan keamanan karena sudah menyangkut otoritas antar negara. Kita tidak perlu terpancing untuk menembak warga Timor Leste untuk membalas dendam. Begitu juga menghadapi potensi-potensi separatisme di wilayah lainnya, seperti di Papua, Maluku, atau lainnya. Di sinilah pemerintahan SBY-JK ditantang untuk mengambil langkah-langkah yang lebih bermartabat dengan membangun pendekatan budaya terhadap masyarakat dan terus memproduksi wacana di tingkat internasional tentang langkah-langkah konstruktif yang dilakukan Indonesia terhadap persoalan dalam negeri. Dalam konteks Timor Leste dan wilayah perbatasan lainnya, pemerintah perlu membangun demarkasi yang tegas dan mengembangkan masyarakat Indonesia di wilayah perbatasan secara maksimal, sehingga tidak mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan pelanggaran. Indonesia jangan sampai tercemar oleh ulah segelintir orang yang bisa jadi memang sengaja memancing di air keruh. Inilah agenda politik internasional yang harus terus dikembangkan oleh SBY-JK di tengah pertempuran wacana yang diproduksi oleh beragam kepentingan di abad informasi ini. Semoga.
No comments:
Post a Comment