Opini
Panglima TNI dan Persetujuan DPR
Republika, Senin, 23 Januari 2006
A. Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UIN Jakarta
Setelah hiruk pikuk pencalonan panglima TNI mulai mereda, gagasan menarik dilontarkan oleh Panglima TNI, Endriartono Sutarto dan Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono. Keduanya mengusulkan perlunya revisi UU TNI khususnya pasal 13 ayat 5 terkait dengan perlunya persetujuan DPR dalam pengangkatan panglima TNI. Menurutnya pengangkatan TNI tidak perlu persetujuan DPR, tapi cukup meminta pertimbangan DPR. Usulan tersebut dilatarbelakangi oleh perdebatan yang selalu muncul menjelang pergantian panglima TNI. Perdebatan tersebut telah menyeret TNI menjadi komoditas politik. Selama UU tersebut tidak direvisi, maka pergantian panglima TNI akan selalu berpotensi mengundang perdebatan politis.
Gagasan revisi UU TNI tersebut mendapat tanggapan tajam dari anggota DPR. Namun dari sekian tanggapan, alasan utama penolakan mereka lebih dilatarbelakangi oleh trauma historis berupa ketakutan-ketakutan atas tindakan TNI masa lalu yang menjadi kuda troya kekuasaan dan mengancam kebebasan sipil.
Dengan mengedepankan ketakutan historis tersebut, berarti sipil tidak begitu yakin dengan agenda reformasinya sendiri yang secara tegas telah dirumuskan dalam bentuk undang-undang. Inilah problem kebangsaan kita saat ini di tengah upaya menegakkan supremasi sipil. Secara yuridis kita sudah menapaki ranah reformasi, tetapi secara budaya kita masih konservatif dan sering bersimpang jalan dengan aturan itu sendiri. Itulah realitas politik yang terjadi di republik sipil saat ini. Dari sini kita patut khawatir bahwa sipil hanya mampu melakukan politisisasi daripada serius menegakkan agenda reformasi.
Kalau problem utama penolakan terhadap rencana revisi UU TNI tersebut adalah trauma historis terhadap tindakan militer masa lalu, maka kita patut belajar dari cara TNI mengosongkan seluruh kesadarannya sebagai kelompok yang pernah mengendalikan kekuasaan yang telah diwarisinya sejak zaman kemerdekaan menjadi kelompok yang dikendalikan oleh sipil. Bagaimana dwifungsi yang telah mendarahdaging dan membeku dalam kesadaran TNI mampu dicairkan dalam waktu singkat seiring dengan tuntutan reformasi. Mereka mampu menepis postpower syndrom di tengah sipil bereuforia dengan kekuasaannya. Sementara sipil terus dihantui oleh sejarah kelam TNI yang disebabkan oleh politik kekuasaan masa lalu yang secara faktual mulai terbantahkan, TNI semakin mantap dengan agenda reformasinya.
Transformasi Kesadaran
Sejak awal reformasi, beberapa langkah penting sudah diambil dalam rangka “mengandangkan” TNI dari sirkus politik. Bahkan sejak awal reformasi peran politik tentara telah berada pada titik terendah, terutama pada masa Abdurrahman Wahid yang secara radikal mereposisi dan merestrukturisasi lembaga tentara (TNI). Beberapa kebijakan penting dari “pelumpuhan” hegemoni tentara adalah dihapuskannya Badan Kordinasi Ketahanan Nasional maupun daerah (Bakortanas dan Bakortanasda) yang selama Orde Baru menjadi lembaga mata-mata tentara dari pusat sampai daerah.
Walaupun pada awalnya langkah reformasi tersebut mendapat resistensi, tetapi setahap demi setahap TNI mampu berbenah diri. Bahkan kalau keterlibatan politik TNI diukur melalui keterlibatan mereka di lembaga legislatif, TNI jauh lebih cepat merealisasikan agenda reformasinya dibandingkan sipil. TNI yang sebenarnya masih memiliki kesempatan di legislatif sampai tahun 2009, mereka justru keluar dari legislatif lebih awal dari rencana semula, yaitu 2004.
Lebih jauh, reformasi di tubuh TNI telah sampai pada proses internalisasi nilai-nilai kemanusiaan (HAM) yang tercantum dalam kurikulum pendidikan mereka. Ini merupakan perubahan yang sangat fundamental, karena TNI selama ini sering dianggap sebagai monster yang paling bertanggungjawab atas pelanggaran HAM masa lalu. Dalam kurikulum pendidikan mereka masalah penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan lebih dikedepankan sebagai bagian dari reformasi internal TNI.
Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa transformasi kesadaran di kalangan sipil berlangsung lamban dan cenderung konservatif dibandingkan dengan proses transformasi kesadaran yang dilakukan TNI. Bahkan lebih dari itu, transformasi kesadaran dalam tubuh TNI tersebut telah menjelma menjadi sikap pengakuan atas supremasi sipil.
Supremasi sipil
Salah satu keberhasilan sipil dalam proses reformasi selama ini adalah kemampuannya membangun sebuah kerangka struktural bagi bangunan reformasi itu sendiri. Secara logika, dengan segala perangkat reformasi yang telah disusunnya, sipil seharusnya bisa menjadi kampiun reformasi. Namun kenyataan berbicara lain. Sipil masih sering memainkan TNI untuk meraih kepentingan politiknya. Selain terlibat dalam perdebatan pergantian panglima TNI yang sebenarnya merupakan hak prerogatif presiden, juga sipil telah memancing TNI masuk ke ranah politik melalui pilkada yang lalu. Keterlibatan TNI dalam pilkada tidak sepenuhnya merupakan hasrat politik TNI, tetapi lebih disebabkan adanya celah secara yuridis dan faktual yang ditawarkan oleh kaum politisi. Sebenarnya kalau sipil betul-betul hendak menegakkan supremasinya, maka konsistensi reformasi harus dijaga dan menutup rapat-rapat bagi kemungkinan keterlibatan TNI.
Dalam rangka itulah, maka segala aturan main yang memungkinkan celah politik hadir, harus ditutup rapat-rapat, termasuk dalam hal penentuan (persetujuan) terhadap calon panglima TNI. Kalau pengunduran TNI/Polri dari lembaga legislatif dianggap sebagai monumen terakhir keterlibatan TNI dalam ranah politik, maka sipil seharusnya bisa menjadikan revisi UU TNI dengan segala pertimbangannya sebagai akhir dari upaya politisisasi TNI. Lebih dari itu, seiring dengan mundurnya TNI dari ranah politik, maka seharusnya supremasi sipil bisa lebih ditegakkan melalui sikap dan budaya politik sipil yang dapat dipertanggungjawabkan.
TNI, begitu juga kekuasaan, bukanlah wilayah yang bebas dari hasrat dan kepentingan. Tetapi dalam masyarakat yang demokratis dengan perangkat undang-undang yang cukup komprehensif, maka hasrat dan kepentingan tersebut bisa ditekan sedemikian rupa oleh pemegang kedaulatan, yaitu masyarakat sipil. Dan ini akan terwujud apabila sipil betul-betul mampu menegakkan supremasinya yang direpresentasikan oleh anggota DPR. Bahkan secara ekstrem dapat diyakini bahwa tanpa UU TNI pun, di tengah euforia dan heavy politics yang dimiliki DPR RI dan kesadaran politik yang semakin merekah di masyarakat, TNI tidak akan bisa bertindak melebihi wewenangnya. Di sinilah tanggungjawab dan peran anggota DPR sebagai kontrol eksekutif harus dipertaruhkan. Yaitu kontrol yang kuat agar TNI tidak terjerumus dalam lubang kelam sejarah masa lalunya, apalagi terseret ke ranah politik karena ulah sipil sendiri. Di sinilah revisi UU TNI mendapatkan signifikansinya. Tanpa revisi, maka secara implisit UU tersebut masih menyisakan hasrat sipil untuk menyeret TNI dalam ranah politik praktis.*
No comments:
Post a Comment