Opini
Puasa dan Agama Ramah Budaya
Kompas, Jumát, 29 Oktober 2004
A. Bakir Ihsan
Selama ini penyelenggaraan ritual keagamaan, seperti puasa dan hari raya Idul Fitri dan Natal hanya menghadirkan kegembiraan subyektif atau sektoral. Puasa dan Idul Fitri hanya menjadi kebanggaan umat Islam, Natal menjadi milik umat Nasrani, dan begitu seterusnya. Kenyataan ini merupakan akibat dari pemahaman keagamaan yang teosentris. Agama hanya dipahami sebagai persembahan untuk Tuhan yang diyakini memiliki wilayah dan personifikasi berbeda antar agama. Pada titik ini Tuhan dibingkai sesuai dengan keyakinan masing-masing. Padahal Tuhan “memproklamirkan” dirinya sebagai penebar cinta kasih untuk semua umat manusia dalam keragaman budaya tanpa merendahkan satu budaya dan mengagungkan budaya lainnya. Tulisan ini berusaha menawarkan wacana untuk mengembalikan agama pada misi awalnya yang universal (spiritual) sekaligus segmental (multikultural). Yaitu agama yang lintas budaya tanpa membedakan ragam budaya, lintas etnik tanpa mengagungkan etnik tertentu, dan lintas gender tanpa memuliakan jenis kelamin tertentu. Semua agama harus menjadi kebanggaan bersama umat manusia. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu nilai yang perlu dikembangkan adalah sikap inklusif untuk menghargai secara sejajar terhadap semua corak budaya. Di sinilah perlunya ditumbuhkan multikulturalisme keagamaan atau agama yang ramah budaya.
Dalam multikulturalisme tidak ada dominasi budaya mayoritas dan tirani budaya minoritas. Semuanya tumbuh bersama dan memiliki peluang yang sama untuk menggapai kesejahteraan bersama. Masing-masing budaya memiliki kesempatan yang sama untuk menampakkan eksistensinya tanpa diskriminasi. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya pemberdayaan terhadap seluruh potensi yang ada dalam masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama maupun sosial-budaya.
Dimensi multikulturalisme ini sebenarnya tersirat kuat dalam Islam dengan pernyataan bahwa Islam adalah penebar kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Pengejawantahan dari pernyataan tersebut tidak hanya dalam konteks teologis, tetapi sosial budaya. Islam, seperti yang tercermin dalam sikap Rasulullah, sangat menghargai terhadap eksistensi pluralitas budaya dan agama. Salah satu ajaran yang memperlihatkan adanya kesamaan nilai dalam keragaman budaya adalah puasa. Ia merupakan ajaran agama yang diwariskan dari agama-agama sebelumnya.
Tafsir Multikultural
Agama merupakan formulasi dari idealisasi-idealisasi (firman) Tuhan tentang kehidupan. Deskripsi-deskripsi (tafsir) budaya terhadap firman Tuhan tersebut telah melahirkan warna-warni agama sesuai dengan keragaman budaya. Inilah tafsir multikultural agama yang lahir dari perbedaan sudut pandang budaya. Oleh sebab itu, tidak ada alasan sedikit pun untuk menegasikan satu bentuk agama karena dianggap minoritas atau mengagungkan agama lain karena dianut oleh mayoritas, karena masing-masing berangkat dari satu nilai yang sama, yaitu firman Tuhan. Dalam konteks budaya, maka tidak ada satu pun budaya yang berhak mengeliminer budaya lain, karena di dalamnya terkandung satu nilai yang sama, yaitu nilai kemanusiaan.
Problem multikulturalisme dalam konteks agama terkendala tidak saja oleh keberadaan agama lain, tetapi juga di dalam agama itu sendiri. Hal ini biasanya bermula dari model penafsiran terhadap firman Tuhan secara ekstrem. Secara umum pola tafsir atas firman Tuhan cenderung “terjebak” pada dua model yang diametral, yaitu antara tafsir tekstual dengan tafsir kontekstual atau antara tafsir formal dengan tafsir substansial. Antara wahyu sebagai realitas yang statis dan wahyu sebagai realitas progresif.
Penafsiran pertama lebih mengedepankan faktor personal-emosional, yaitu agama sebagai milik kelompoknya saja, sementara penafsiran kedua (kontekstual dan substansial) mengedepankan faktor sosial-rasional. Dua sisi ini sebenarnya bukan hal yang terpisah. Dalam kacamata multikulturalisme, kedua model penafsiran tersebut mendapat jawaban sintesis dalam konteks pengamalan puasa yang tidak hanya menjadi tradisi agama tertentu, tetapi menjadi ruh yang berlaku bagi seluruh agama dengan ajaran yang berbeda. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran (QS 2:183) bahwa puasa merupakan ajaran yang sudah diperintahkan pada kaum sebelum Islam. Puasa telah menjadi bagian dari budaya masyarakat sebelum Tuhan menurunkan wahyu kepada Muhammad. Pengakuan ini paling tidak menunjukkan dua hal. Pertama, legitimasi teologis (tekstual). Yaitu bahwa puasa merupakan ajaran Tuhan yang diturunkan untuk peningkatan kualitas diri. Kedua, legitimasi budaya (kontekstual). Yaitu bahwa puasa merupakan nilai luhur yang sudah membudaya dalam masyarakat sebelum Islam yang perlu terus dilestarikan.
Adanya legitimasi teologis dan budaya ini akan menyebabkan puasa berdampak pada wilayah sosial sekaligus spiritual. Dua sisi yang sering dipahami secara dikotomis dan segmented oleh sebagian umat Islam. Sebagian orang lebih mementingkan sisi sosial dan mengambangkan sisi spiritual. Sebagian orang bangga dengan beramal sosial sebanyak-banyaknya pada bulan Ramadhan, sebagian lagi merasa puas karena berhasil melaksanakan puasa sebulan penuh. Konsekuensinya semua amal baik dan cinta kasih hanya tertumpah ruah di kala Ramadhan, setelah itu selesai.
Langkah Reflektif
Multikulturalisme mengandaikan adanya kesadaran internal yang inklusif dan mengejawantah dalam prilaku sosial. Ritual puasa, idealnya mengantarkan para pelakunya menemukan kesadaran hati nurani (soulconsciousness) yang bersifat universal sehingga memiliki daya pandang egaliter terhadap sesama. Sebuah kesadaran yang mengikat kecerdasan emosi seorang hamba dengan Tuhannya dan menjadi landasan bagi terbangunnya kecerdasan relasi-rasional antar sesama.
Dalam konteks pelaksanaan ibadah puasa ini, maka refleksi-esoteris dan kesadaran-eksoteris harus tumbuh sebagai manifestasi dari proses internalisasi nilai-nilai ketuhanan (God consciousness atau rabbaniyah) yang berlangsung selama Ramadhan. Inilah sebuah proses yang oleh filosof Denmark Soren Kierkegaard (1813-1855) disebut sebagai proses dari aesthetic stage menuju religious stage. Puasa bukan sekadar firman (perintah) yang bersifat personal, tetapi juga amal (aktualisasi) yang bersifat sosial.
Puasa sebagai tradisi agama-agama yang memiliki makna universal harus dijadikan energi positif bagi menguatnya pemahaman multikultural yang disemangati oleh nilai-nilai ketuhanan (rabbaniyah) dan kemanusiaan (insaniyah). Transformasi spiritual dan semangat multikultural yang dicapai lewat puasa idealnya bisa dinikmati dan dirasakan oleh seluruh umat manusia tanpa terjebak oleh sekat-sekat budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun teologis, apalagi politis.
Dalam rangka itu, maka pemahaman terhadap agama-agama harus dilakukan dalam konteks kesamaan misi universal kemanusiaan. Universalitas ini tidak akan mematikan potensi-potensi khas yang ada dalam agama maupun budaya yang beragam. Justru potensi-potensi tersebut bisa tumbuh bersama dalam keragaman (multikultural). Dan ini hanya akan terselenggara apabila ada komitmen dan kesungguhan semua komunitas atau jamaah budaya dan agama baik sebagai mayoritas maupun minoritas untuk bersikap inklusif dan toleran secara setara untuk kepentingan bersama. Inilah semangat yang terkandung dalam pelaksanaan puasa, yaitu sebuah semangat keagamaan yang ramah terhadap ragam budaya. Dengan demikian, agama bisa tampil sebagai milik semua untuk bersama.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/29/opini/1352956.htm
No comments:
Post a Comment