Opini
Visi Harmoni Presiden
Seputar Indonesia, Rabu, 27 Juni 2007
A. Bakir Ihsan
Sosok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah banyak yang menganalisisnya. Kesimpulannya pun beragam. Kalau dipetakan secara ekstrem beragam kesimpulan itu memunculkan dua potret SBY yang diametral. Satu sisi, ia hadir dalam wajah yang gagah, tutur kata yang tertata, dan wibawa. Inilah sisi yang mendorong orang mempertaruhkan ekspektasinya dan memilihnya pada pemilu lalu. Di sisi lain, SBY hadir dalam wajah yang peragu, tipis telinga, dan tebar pesona. Inilah sisi lain yang menyebabkan popularitas SBY menurun melewati batas psikologis (LSI, Maret 2007).
Kedua potret paradoks tersebut lahir karena SBY diletakkan dalam spektrum politik-pragmatis yang bertanggung jawab atas semua beban warisan sebelumnya. SBY ditempatkan layaknya imam mahdi (ratu adil) namun dalam ruang dan waktu yang terbatas. Akibatnya harapan yang memuncah tak tertampung dalam cawan mungil. Di sinilah anomali posisi SBY dengan setumpuk harapan dalam ruang politik yang menyesakkan.
Karena itu, diperlukan cara pandang lain yang memungkinkan pemotretan sosok SBY secara komprehensif, tanpa memoles (menyanjung) atau mendegradasi (memanipulasi) hasilnya. Salah satu caranya adalah menempatkan SBY sebagai manusia yang memiliki kesadaran intensionalitas dengan kemampuan logika dan estetikanya. Di sinilah kamera fenomenologis diperlukan agar SBY tampil sebagai manusia yang menampakkan diri dengan segala dimensinya (kekurangan dan kelebihannya), baik melalui bahasa kata maupun perilaku.
Merajut damai
SBY merupakan sosok yang kaya wacana. Salah satunya tentang harmoni yang tidak saja terlontar dalam bahasa sehari-hari (the ordinary language), tapi juga puisi.
Secara semiotik, wacana harmoni tersebut mengandung kegelisahan. Kegelisahan akan realitas politik yang lebih ekspresif dan eksesif daripada aspek-aspek lainnya. Sepanjang kursi kepresidenan diraih SBY, kegaduhan politik tak pernah reda. Di awal kekuasaannya, SBY berhadapan dengan koalisi kebangsaan yang dimotori Partai Golkar dan PDIP. Seiring hancurnya koalisi kebangsaan, SBY dihadapkan pada tuntutan reshuffle. Dan kini sedang semarak interpelasi yang cenderung melampuai substansi.
Kegaduhan tentu bisa ditafsirkan sebagai dinamika politik dalam demokrasi. Namun bisa juga ditafsirkan sebagai bidikan politik delegitimasi bagi kepentingan suksesi 2009 nanti. Inilah jagad politik yang tidak bisa dipahami secara biner. Di dalamnya sarat kepentingan yang hanya bisa dikira-kira dan ditafsirkan tanpa batas.
Wacana harmoni yang dilontarkan SBY menjadi menarik bukan hanya karena krisis kebersamaan dan menguatnya pengelompokan kepentingan belakangan ini. Namun juga sebagai langkah untuk menguatkan kembali agenda-agenda yang berhasil diejawantahkan oleh pemerintahan SBY yang cenderung terdistorsi akibat kegaduhan politik di atas. Salah satunya adalah resolusi konflik.
Sulit dimungkiri bahwa salah satu sukses pemerintahan SBY adalah keberhasilan resolusi konflik. Dari beberapa survei, masalah keamanan menjadi starting point yang paling menonjol dibandingkan aspek-aspek lainnya. Intensitas konflik yang cenderung menurun saat ini memperkuat legitimasi atas sukses tersebut.
Begitu pun harapan beberapa negara atas peran Indonesia dalam penciptaan perdamaian, baik di Timur Tengah maupun wilayah lainnya merupakan rangkaian keberhasilan yang sulit dibantah. Paling tidak harapan tersebut menyimbolkan satu makna penghargaan atas sukses Indonesia dalam resolusi konflik.
Semua proses ini tentu bukan hadir secara tiba-tiba. Ia merupakan perwujudan dari komitmen dan kerja yang berkesinambungan dalam merajut perdamaian. Setinggi apa pun komitmen dan kehendak seorang presiden untuk menebar harmoni tak akan banyak berarti tanpa partisipasi. Fakta ini mengisyaratkan bahwa keberhasilan sebuah komitmen ditentukan oleh kehendak untuk merangkainya dalam sebuah kontinuitas kerja kolektif dengan dan oleh semua pihak.
Kalau bercermin pada sukses perdamaian, diperlukan kesamaan visi dan kerja kolektif seluruh komponen bangsa untuk perbaikan di bidang-bidang lainnya, seperti ekonomi, politik, hukum, dan pendidikan yang masih jauh panggang dari api.
Selama ini sering terjadi simpang visi antara legislatif dan eksekutif serta elite politik lainnya. Dalam kasus perjanjian ekstradisi dan kerjasama pertahanan (Defense Cooperation Agreement) antara RI dengan Singapura misalnya terancam batal karena adanya perbedaan paradigma dalam melihat kerjasama bilateral tersebut. Begitu pun dalam bidang ekonomi. Perbedaan paradigma antara liberalisasi dan proteksi negara menjadi perdebatan panjang yang tak jarang menguras energi dan mengalihkan perhatian bagi kelancaran akselerasi pembangunan.
Harmoni vs kompromi
Kita tidak mungkin menyeragamkan paradigma. Masing-masing elemen memiliki hak yang sama untuk memasarkan pandangannya. Namun dalam konteks kebijakan, diperlukan sintesa (kompromi) yang tentu saja mendistorsi beragam paradigma. Di sinilah kearifan (legowo) dipertaruhkan untuk memahami proses kebijakan yang harus diambil bagi kepentingan bangsa. Kita punya mekanisme kenegaraan yang tidak memungkinkan orang menyengsarakan rakyatnya. Inilah yang sejatinya dijalankan pemerintah dan diperjuangkan oleh anggota dewan dalam menjalankan fungsi kontrolnya.
Masing-masing elemen memiliki fungsi dan perannya yang harus dijalankan di atas altar kebangsaan, bukan egoisme kelompok atau perorangan. Dari sinilah disharmoni yang menurut Johan Galtung berdiri sejajar dengan harmoni bisa dieliminasi. Harmoni tidak menafikan perbedaan. Ia mengacu pada terhamparnya keragaman yang beroperasi secara fungsional, sehingga tidak terjadi benturan yang menyengsarakan.
Secara politik, harmoni dapat tercipta ketika masing-masing lembaga negara berperan sesuai fungsinya. Disharmoni terjadi justru ketika intervensi dan monopoli lebih ditonjolkan. Relasi antara legislatif dan eksekutif yang disharmonis akibat perilaku politik yang melampaui batas-batas logika fungsional, yaitu logika politik yang berpijak pada sistem kenegaraan; presidensial. Akibatnya etika dan estetika bernegara runtuh yang menyebabkan rakyat luluh.
Revitalisasi fungsi
Harmoni sejatinya menjadi basis negara. Walaupun kaum Machiavellian dan penggagas teori konflik melihat disharmoni adalah dasar interaksi terbentuknya negara, namun asasi yang dikehendaki adalah kerelaan untuk berbagi (toleransi) ambisi. Sehingga konflik bisa diakhiri tanpa menafikan eksistensi masing-masing. Agenda inilah yang sampai saat ini belum tercapai. Justru fakta politik memperlihatkan pembenaran atas tesis “state of nature”nya Thomas Hobbes. Masing-masing menonjolkan ambisinya, sehingga harmoni tak kunjung terealisasi.
Proses demokrasi di negeri ini yang oleh majalah The Economist disebut sebagai shining example sejatinya mengantarkan kita semua mendekati asasi bernegara tersebut. Warga negara merasa nyaman hidup di negaranya, sehingga ia merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk mempertahankan negeri ini. Namun yang terjadi, rakyat belum sempat berpikir tentang negara, karena harus berjuang menghidupi diri. Mereka masih sampai pada tahap bagaimana bisa bereksistensi di negerinya sendiri. Ini semua akibat elite politik lebih peduli pada nasibnya sendiri dan menafikan nasib rakyatnya.
Di sinilah urgensi revitalisasi visi harmoni yang diwacanakan SBY dalam beberapa kesempatan. Yaitu penguatan operasionalisasi fungsi oleh masing-masing institusi. Untuk itu perlu langkah dan kebijakan (political will) yang dapat menyuburkan harmoni pada setiap nafas anak negeri. Salah satunya dengan memahami dan membumikan perannya masing-masing di bawah kendali logika bernegara (konstitusi). Dari sini, harmoni tidak sekadar narasi, tapi menjadi tata laksana dan fatsun (etika) politik dalam bernegara. Tanpa ini, maka harmoni hanya mimpi.*
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/visi-harmoni-presiden-3.html
No comments:
Post a Comment