Opini
Logika oposisi biner politisi menyesatkan
Bisnis Indonesia, Selasa, 19 Juni 2007
A. Bakir Ihsan
Ya atau tidak. Inilah atmosfer yang mewarnai politik kita belakangan ini. Masing-masing menempatkan diri sebagai tesa sekaligus antitesa dari yang lain (the others). Mari kita simak suasana politik di rumah wakil rakyat, Senayan. Nuansa menafikan dan menegasikan sangat kental terlihat.
Fakta mutakhir adalah interpelasi yang otoritas penafsiran atas tata tertibnya dimonopoli mereka sendiri. Akibatnya, logika yang muncul adalah keharusan bagi yang lain untuk menaati kemauannya tanpa reserve. Inikah potret yang hendak kita pamerkan di atas altar reformasi ini?
Logika politik biner (binary opposition) ini tentu bukan hanya monopoli anggota dewan. Di masyarakat pun sering terjadi yang berujung pada konflik, kerusuhan, dan tindak kekerasan lainnya. Namun kenyataan ini tidak berarti menjadi legitimasi bagi para wakil rakyat untuk melakukan hal yang sama. Justru kehadiran para wakil rakyat sejatinya memberi pembelajaran politik yang toleran dan berkualitas.
Di sinilah kehandalan anggota dewan dipertaruhkan dalam mendialogkan apa yang seharusnya (das sollen) dan apa yang terlihat (das sein). Para elite politik esensinya adalah alat mediasi bagi penguatan nilai-nilai demokrasi.
Logika biner yang berkembang di kalangan elite, termasuk beberapa pengamat, sangat mengancam bagi munculnya kemungkinan (alternatif) yang lain. Bahkan akan memicu mencuatnya prasangka-prasangka politik yang beakhir pada kesia-siaan. Ketika Amien Rais menerima undangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk islah terkait tuding-menuding antarkeduanya, para anggota dewan merasa keberatan dan mengkritiknya sebagai sebuah kooptasi dan 'perselingkuhan'. Mereka memandang pertemuan tersebut akan membunuh proses hukum atas dana ilegal pilpres 2004 yang mulai dikuak secara diskursif oleh Amien Rais. Penafsiran sepihak dan eksklusif ini menjadi benih pemborosan energi tanpa substansi apalagi solusi.
Kuras energi
Jalan buntu sebagai akibat dari pola pikir bipolar tersebut tentu mengu-ras energi kita semua. Bagi sebagian orang mungkin justru menikmatinya karena memperoleh manfaat pragmatis dari pola pikir tersebut. Namun apakah ini yang hendak kita tuju di tengah identitas warga negara yang pluralistik?
Justru realitas plural warga sejatinya menjadi pijakan bagi kita semua untuk terbiasa mengurai pola pikir kita seluas mungkin dengan membuka banyak kemungkinan dan alternatif. Tentu secara pragmatis akan memakan waktu dan cenderung bertele-tele. Namun sebagai sebuah proses pembelajaran berbangsa, tradisi (realitas) pluralistik tersebut harus disulut kembali setelah sekian lama terperangkap dalam logika monopolistik yang dikembangkan oleh rezim otoriter masa lalu.
Kalau atmosfer yang berkembang di lingkungan elite politik masih seperti saat ini, berarti kita sedang memupuk potensi-potensi konflik yang menguat di masyarakat akibat tersumbatnya saluran alternatif. Aksi kekerasan yang ditunjukkan masyarakat, merupakan bagian dari efek matinya logika pluralistik. Begitu juga dalam bidang lainnya, termasuk pemahaman agama (budaya). Ketika ia diletakkan dalam bingkai yang biner dan liner, maka radikalisme sering menjadi sumbu yang meledakkan kekerasan atas nama agama.
Inilah agenda-agenda yang sejatinya bisa diselesaikan melalui proses pembelajaran politik untuk membuka beragam alternatif penyelesaian dalam banyak hal di tengah krisis yang tak kunjung habis. Karena politik menjadi arus utama yang menentukan warna-warni kekuasaan saat ini maka para politisi sejatinya menjadi garda terdepan bagi penumbuhan berpikir taktis dan solutif, bukan statis, apalagi dogmatis.
Potret bangsa Indonesia yang pluralistik (bhinneka) ini sesungguhnya menjadi sumber kearifan kita, baik dalam berpolitik, berbisnis, maupun dalam beragama. Pluralitas yang kita kandung sejak republik ini lahir ternyata mampu menjadi energi yang mempersatukan (tunggal ika) seluruh warga. Ini menunjukkan bahwa kemanunggalan (kebersamaan) bisa ditegakkan ketika kebinekaan dihargai.
Justru keragaman bisa memuncah menjadi anarki ketika dia dilecehkan atas nama kemanunggalan atau dioposisikan (dipertentangkan) secara hitam putih (biner). Inilah makna terdalam dari realitas plural yang menyelimuti warga negara bernama Indonesia.
Ketika kita terjebak dalam logika biner maka kita telah meruntuhkan realitas budaya sekaligus sedang membangun tembok stigmatis yang secara ektrem berujung pada saling menyalahkan (mutually exclusive) dan memonopoli kebenaran. Dalam bentuk yang sederhana tercermin dari sikap acuh dan tak peduli (berjarak) terhadap yang lain.
Adanya kerenggangan antara konstituen dengan parpol, para wakil rakyat dengan rakyat dan kerenggangan antarlembaga atas nama kesataraan, adalah bukti konkret menguatnya logika biner di kalangan elite politik. Padahal dalam konsep kenegaraan yang diangankan oleh para pendulu kita adalah negara kesatuan.
Di sinilah perlunya rekonstruksi atas pola pandang kenegaraan kita, khususnya para elite yang menakhodai republik ini. Ini semua perlu dilakukan karena apa yang kita sebut realitas baik politik, ekonomi, hukum, maupun sosial-budaya, merupakan bagian dari realitas lainnya.
Meminjam Jacques Derrida, realitas tidak berdiri stabil (these oppositions are unstable) dan tidak mandiri (intertekstualitas). Manusia layaknya mesin yang selalu memproduksi makna-makna (internalisasi) dan memengaruhinya (eksternalisasi). Karena itu pemaknaan tunggal atas sebuah teks (politik) hanya berbuah otoritarianisme yang mengancam otoritas lainnya.
Di sinilah perlunya dikembangkan paradigma politik yang lebih terbuka, yaitu sikap dan perilaku politik yang merepresentasikan (merespons) kepentingan konkret masyarakat (politics, and therefore politicians, invariably have to respond to what society in general and individuals specifically want out of their community).
Kalau tidak, kebuntuan-kebuntuan politik yang secara historis sangat tidak efektif akan selalu terulang. Dan kita akan tetap menjadi bangsa yang selalu terjebak pada masa lalunya yang tak berhasil dipahami, karenanya selalu diulangi.
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id10714.html
No comments:
Post a Comment