Opini
Paradoksalitas Politik Wakil Rakyat
Media Indonesia, Kamis, 21 Juni 2007
A. Bakir Ihsan
Berharap banyak pada peran institusi politik saat ini mungkin harus kita tangguhkan. Kalau beberapa waktu lalu di koran ini penulis mengurai sisa asa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang semakin menipis, kini kita menyaksikan peran wakil rakyat yang semakin terasing dari rakyat.
Paling tidak beberapa peristiwa yang terjadi di Senayan memunculkan kesan bahwa DPR penuh paradoks. Salah satu paradoksalitas anggota dewan terlihat dalam sidang interpelasi yang agenda utamanya adalah mendengarkan jawaban pemerintah atas dukungannya terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB 1747 tentang nuklir Iran.
Sidang ini harus ditunda hanya karena perdebatan antara keharusan presiden hadir atau tidak. Penundaan berakibat pada dua hal yang merugikan. Pertama, DPR harus menjadwal ulang sidangnya sekaligus menyisikan waktu yang sejatinya bisa dipergunakan untuk kepentingan lain yang urgen. Kedua, anggaran DPR (negara) terkuras sidang yang lebih mengedepankan formalitas agenda dan capaian yang artifisial.
Realitas tersebut hanya puncak dari paradoksalitas para wakil rakyat. Paradoks karena mereka terbelit oleh persoalan tatibnya (internalnya) sendiri yang multitafsir. Sebagaimana diungkapkan Ketua DPR RI, Agung Laksono bahwa sidang interpelasi ditunda demi persatuan dan kesatuan fraksi. Pernyataan ini secara tersurat melegitimasi problem internal (fraksi) DPR. Perbedaan penafsiran atas tata tertibnya sendiri menjadi bagian dari problem DPR sekaligus merupakan bagian dari rangkaian paradoksalitas lembaga legislatif.
Paradoksalitas lainnya bisa dilihat dari rencana anggota DPR yang akan menggunakan hak menyatakan pendapat untuk mengusut dana ilegal yang diterima para calon presiden dalam pemilu 2004 (Media Indonesia, 31/5). Paradoks karena mereka sendiri terbelit aliran dana Departemen Kelautan dan Perikatan (DKP) yang justru mereka ambangkan. Bahkan menurut perkembangan terakhir anggota DPR yang menerima aliran dana nonbudgeter terus bertambah dan tidak hanya terjadi pada masa kementerian Rokhmin Dahuri, tapi juga kementeriaan Freddy Numberi saat ini (Kompas, 9/6). Oleh karenanya rencana anggota dewan menguak dana ilegal pilpres 2004 laksana membersihkan lantai kotor dengan sapu yang tak kalah kotornya. Hasilnya hanya absurditas dan ambiguitas.
Kecenderungan sensitivitas anggota dewan selama ini hanya bertumpu pada realitas (pihak) lain (the others). Hal ini menyebabkan mereka mati suri terhadap problem yang membelit dirinya. Salah satu faktornya karena mereka hadir tanpa kontrol. DPR mengontrol semua lembaga negara, namun tak ada satu pun lembaga yang mengontrolnya. Akibatnya otoritas yang dimilikinya begitu menggurita dan eksesif. Berbagai kritik dan evaluasi yang dilontarkan terhadap kinerja anggota dewan direspon bagai angin lalu.
Dalam kasus studi banding yang hampir setiap saat dikritik oleh berbagai kalangan tak pernah menggugah hati anggota dewan untuk mengevaluasinya. Pelaksanaan studi banding berbanding lurus dengan kritik yang disampaikan masyarakat. Wajar apabila kritik tak berhenti mengalir.
Baru-baru ini, Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie menguatkan kritik bahwa studi banding ke luar negeri khususnya dalam hal perundang-undangan hanya akal-akalan untuk jalan-jalan (Koran Tempo, 30/5). Mereka menghabiskan dana negara yang tidak sedikit. Untuk 2007 DPR mengalokasikan Rp92,566 miliar untuk kunjungan ke luar negeri dan sepertiganya (Rp32,972 miliar) untuk studi banding.
Belum lagi kecenderungan sensitivitas anggota DPR terhadap problem rakyat yang semakin hambar. Dari wacana yang berkembang di Senayan yang banyak disorot justru persoalan luar negeri. Selain masalah nuklir Iran, para anggota dewan sibuk bermanuver terkait perjanjian kerjasama pertahanan (Defense Cooperation Agreement/DCA) RI dengan Singapura. Tidak ada yang salah dengan sikap anggota DPR tersebut. Namun sebagai wakil rakyat, sejatinya mereka bisa memilah dan memilih skala prioritas agenda yang harus diperjuangkan, yaitu problem yang bersentuhan langsung dengan rakyat. Rencana interpelasi lumpur Sidoarjo sebenarnya lebih kontekstual, namun menjadi absurd ketika anggota dewan terjebak kembali pada perdebatan artifisial kehadiran presiden.
Relasi menyesatkan
DPR merupakan rumah yang sejatinya menjadi tempat yang nyaman bagi rakyat. Nyaman karena rakyat merasa dibela, diperhatikan, dan tak terlantar. Dan ini bisa terjadi apabila DPR mampu memainkan perannya secara maksimal bagi kepentingan rakyat. Salah satunya adalah menjaga agar penyelenggara negara (pemerintah) tidak terjebak dalam kecenderungan koruptif (tend to corrupts).
Eksistensi DPR justru menjadi tanda tanya ketika ia terjebak dalam “relasi gelap” dengan eksekutif untuk kepentingan kekuasaannya. Yang terjadi selama ini, legislatif-eksekutif berada dalam dua pola relasi yang ekstrem. Pertama, relasi legislatif-eksekutif yang begitu mesra sehingga menjadi tidak kritis. Ada kepentingan dan keuntungan bersama yang diperoleh masing-masing lembaga. Kasus aliran dana nonbudgeter ke DPR merupakan bukti dari perselingkuhan yang menyakiti nurani rakyat.
Kedua, relasi antagonisme legislatif-eksekutif. Masing-masing merasa sebagai lembaga yang sejajar secara de jure, namun saling menonjolkan superioritasnya secara de facto. Langkah eksekutif selalu dinilai negatif, begitu juga legislatif dianggap tak aspiratif. Akibatnya masing-masing berjalan sendiri sehingga kinerja keduanya tidak optimal.
Kedua pola relasi tersebut hadir melampaui batas-batas fraksi atau parpol. Hal ini terjadi karena parpol atau fraksi tidak berpijak pada kejelasan prinsip yang bisa dipertaruhkan dalam memandang (menempatkan) eksekutif. Masing-masing anggota dewan bergerak menurut irama kepentingan pragmatisnya tanpa titik pijak pada komitmen partainya. Wajar apabila Presiden Yudhoyono kecewa atas sikap kader partai pendukungnya yang justru menjadi pengkritik terdepan atas kebijakan yang diambilnya. Dan yang pasti, kedua relasi tersebut sama-sama merugikan kepentingan rakyat. Rakyat yang sejatinya bisa terlayani oleh lembaga-lembaga negara justru menjadi korban yang harus berjuang sendiri meraih harapannya sebagai warga negara.
Pragmatisme politik
Di antara modal penting bagi konsolidasi demokrasi adalah keterlibatan politik (political engagement) dan kepercayaan pada institusi politik (trust in political institutions). Modal pertama (keterlibatan politik) bisa dilihat dari antusiasme warga dalam proses pemilihan kepemimpinan secara langsung. Dalam Pilpres 2004 dan pilkada yang berlangsung selama ini mayoritas warga berpartisipasi. Ini menjadi modal penting yang harus dijaga sehingga demokrasi tak kehilangan ruhnya.
Salah satu cara menjaga modal pertama ini adalah menciptakan kepercayaan warga terhadap institusi politik. Partisipasi warga dalam pemilihan kepala negara dan pemerintahan selama ini lebih didorong oleh ekspektasi yang begitu kuat bagi munculnya tatanan baru yang menguntungkan. Partisipasi ini akan tetap terjaga apabila ekspektasi tersebut terealisasi, sehingga masyarakat percaya terhadap institusi politik yang ada. Inilah modal kedua yang seharusnya tumbuh mengiringi transisi saat ini.
Tampaknya modal kedua belum hadir di tengah masyarakat. Paling tidak dari beberapa survei menunjukkan bahwa institusi politik, seperti partai politik belum mendapat tempat di hati rakyat. Kondisi ini diperparah oleh sikap elite politik yang lebih peduli pada perjuangan mempertahankan kursi politiknya menjelang pemilu mendatang. Sebagaimana sering diungkapkan bahwa agenda dua setengah tahun ke depan adalah agenda meraih atau mempertahankan kekuasaan, bukan merampungkan tugas yang bisa dipertanggungjawabkan pada rakyat.
Inilah realitas yang menjadi pijakan hiruk pikuk politik yang berlangsung saat ini, khususnya di lingkungan lembaga wakil rakyat yang sejatinya menjadi garda terdepan bagi nyaman tidaknya rakyat menjadi warga negara. Akibatnya masyarakat teralienasi dari institusi politik. Apabila hal ini dibiarkan, stabilitas politik akan terus terancam dan demokrasi tidak akan pernah matang.*
No comments:
Post a Comment