Opini
Melihat Kembali Substansi Interpelasi
Republika, Rabu, 6 Juni 2007
A Bakir Ihsan
Interpelasi sebagai hak anggota DPR memiliki makna penting. Ia menjadi media transparansi atas kebijakan yang dijalankan eksekutif. Sebagai sebuah hak, interpelasi adalah sebuah keniscayaan. Walaupun interpelasi melibatkan dua ranah, yaitu DPR dan presiden (pemerintah), namun keduanya harus merujuk pada satu kepentingan, yaitu kepentingan rakyat. Anggota DPR sebagai wakil rakyat menjadi garda terdepan dalam mengagregasi aspirasi rakyat. Oleh karenanya, urgensi interpelasi harus diukur dari relevansinya bagi kepentingan rakyat. Hal ini penting karena seluruh napas anggota DPR digadaikan untuk rakyat, bukan untuk kepentingan parpolnya apalagi dirinya. DPR hadir dengan segala fungsi dan tanggung jawabnya karena menerima mandat rakyat. Tanpa rakyat mereka tak berarti apa-apa.
Sementara pemerintah merupakan sebuah lokus yang memiliki tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyatnya. Kepentingan rakyat harus menjadi perhatian utama dan prioritas penyelesaian. Sejak krisis 1997, bangsa ini memiliki problem yang sangat berat. Seluruh elemen masyarakat berharap krisis ini bisa diselesaikan oleh pemerintah yang dipilihnya. Tanggung jawab ini semakin penting karena reformasi yang bergulir seiring krisis mengantarkan masyarakat untuk semakin dekat dengan pemimpinnya yang dipilih langsung. Demokrasi yang dirayakan warga secara langsung sejatinya menjadi modal penting bagi asa masyarakat akan kehidupan yang lebih baik.
Stabilitas politik
Dari beberapa evaluasi atas eksistensi kekuasaan selama reformasi, terjadi beberapa deviasi. Paling tidak stabilitas dan keberdayaan politik yang sejatinya menjadi antitesa dari sistem kekuasaan otoriter belum hadir secara maksimal di era reformasi ini. Politik kekuasaan hadir dengan tingkat kegaduhan yang tak perlu.
Kegaduhan ini sebenarnya menjadi khas masyarakat transisi. Sayang hal tersebut diperparah oleh sikap politik elite yang justru mengambil keuntungan dari kegaduhan tersebut. Pemakzulan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden menjadi awal dari kegaduhan politik dalam sistem presidensial. Pemakzulan menjadi tujuan bukan jalan untuk mencari kebenaran. Terbukti proses lanjutan atas kasus yang menyebabkan Gus Dur lengser tak pernah terungkap.
Fenomena politik kekuasaan sebagai tujuan masih terus mewarnai kesadaran elite politik saat ini. Terbukti agenda-agenda politik yang dikembangkan khususnya di kalangan anggota legislatif adalah 'mengebiri' kekuasaan. Wacana yang mengemuka lebih banyak terkait dengan transaksi politik mulai reshuffle sampai strategi koalisi untuk pemilu yang akan datang. Selama dua setengah tahun yang lalu, waktunya dihabiskan untuk mewacanakan evaluasi kekuasaan melalui reshuffle dan kini dua setengah tahun ke depan dipenuhi wacana meraih kekuasaan.
Terkurasnya energi politik kekuasaan ini, menyebabkan perhatian pada dimensi lainnya terbengkalai. Akibatnya banyak letupan-letupan instabilitas sosial yang mencabik nilai kemanusiaan. Penanganan korban lumpur Lapindo yang lamban dan murahnya nyawa rakyat yang runtuh di hadapan moncong senjata di Pasuruan merupakan bukti liarnya tata kelola negara. Para politisi dan pejabat negeri sibuk mengunjungi korban, tanpa solusi yang pasti. Padahal dalam situasi transisi, yang sangat dibutuhkan adalah antisipasi agar anomali dapat diminalisasi dan anarkhi bisa dicegah.
Personifikasi kekuasaan
Kolektivitas yang menjadi energi eksistensi negeri ini semakin pudar. Hal ini terjadi karena masyarakat kehilangan elan vitalnya sebagai realitas yang majemuk. Keragaman disadari hanya membawa mudarat, bukan manfaat. Realitas ini merupakan efek domino dari hegemoni monolitik yang dioperasikan rezim masa lalu. Keragaman disubordinasi karena dianggap mengancam stabilitas. Akibatnya penyeragaman menjadi kesadaran terbaik.
Kemajemukan ini akan menjadi ancaman ketika tali kolektivitas kebangsaan semakin rapuh. Tampaknya hal ini diabaikan. Yang tumbuh justru kolektivitas sempit (sektarian) baik atas nama kepentingan politik, ekonomi, maupun budaya. Masing-masing berbicara atas nama kepentingan kelompoknya, bukan atas nama kepentingan warga bangsa yang majemuk tersebut. Akibatnya politisasi yang telanjur menguat menjadi lahan subur yang memperlebar egoisme kelompok itu. Di sinilah substansi bernegara menjadi hambar. Prosedur-prosedur tumbuh subur tanpa makna dan manfaat bagi keharusan warga bernegara.
Dalam kondisi inilah, hak-hak para wakil rakyat harus ditegakkan, baik melalui interpelasi, angket, atau menyatakan pendapat. Namun hak ini akan bermakna apabila para politisi mampu mentransformasikan orientasi kekuasaannya menjadi orientasi kerakyatan. Anggota DPR harus bisa mencitrakan dirinya sebagai wakil rakyat daripada wakil parpol yang sarat kepentingan pragmatis parpolnya. Dan hal ini akan terlihat dari agenda-agenda yang diperjuangkan anggota dewan melalui hak-haknya tersebut.
Dalam kasus nuklir Iran, misalnya, kita bisa melihat sejauhmana urgensi dan relevansi interpelasi tersebut bagi kepentingan rakyat. Apalagi belakangan terlihat sikap akomodatif Iran terhadap badan atom internasional (IAEA) dalam pengembangan nuklirnya. Paling tidak anggota DPR bisa melihat skala prioritas dalam pelaksanaan interpelasi di tengah beragam problem sosial yang menghimpit masyarakat dan mendesak diselesaikan. Dan harus mendapat perhatian pula bahwa interpelasi, di samping menguras energi, juga menguras dana yang tidak sedikit.
Dengan demikian, interpelasi bisa dilakukan secara selektif dengan mempertimbangkan kepentingan rakyat seperti masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan, dan penyelesaian problem sosial yang betul-betul sulit dicerna. Lebih penting lagi, problem sosial tersebut harus diletakkan sebagai masalah bersama (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang harus diselesaikan sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Oleh sebab itu, tugas ini tidak terikat oleh kelompok (partai) apalagi person, tapi kolektivitas kenegaraan. Di sinilah sikap kenegarawanan dipertaruhkan oleh semua elite politik yang diberi amanah oleh rakyat.
No comments:
Post a Comment