Opini
Runtuhnya Komunikasi Politik Senayan
Investor Daily, Sabtu 1 April 2006
A. Bakir Ihsan
Baru-baru ini Lembaga Survei Indonesia (LSI) melansir hasil surveinya tentang kinerja lembaga-lembaga politik. Dan hasilnya sungguh tidak mengejutkan. Hasil survei menyebutkan bahwa partai politik (parpol) merupakan lembaga paling buruk kinerjanya. Kenyataan ini harus disikapi secara serius karena bisa mengancam kelangsungan konsolidasi demokrasi. Parpol merupakan medium politik paling strategis dan menjadi pintu masuk kekuasaan, mulai presiden dan wapres, anggota DPR, sampai kepala daerah. Ranah kekuasaan hanya bisa dijamah melalui parpol.
Konsekuensi dari buruknya kinerja parpol adalah munculnya kader-kader parpol yang tidak maksimal. Dari fenomena yang berlangsung di Senayan terlihat jelas potret suram kinerja anggota DPR, sebagai kader parpol. Gagalnya penggunaan hak interpelasi dan nafsu menaikkan gaji menjadi bukti runtuhnya integritas anggota dewan. Salah satu keberhasilan anggota DPR menggunakan hak interpelasinya adalah dalam kasus busung lapar dan polio pada sidang paripurna 7 Maret lalu. Namun keberhasilan tersebut hanya simbolik belaka.
Sebagaimana diketahui dalam rapat interpelasi tersebut, tak ada satu pun persoalan substansial yang diajukan oleh anggota DPR, kecuali mempertanyakan ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang secara konstitusi dibenarkan.
Dari dinamika politik di Senayan, khususnya terkait pengajuan hak interpelasi dan rencana kenaikan gaji di atas, memunculkan empat fakta politik. Pertama, politik merupakan wilayah yang begitu kental dengan kepentingan, sehingga sulit diseragamkan. Pengajuan hak interpelasi yang disepakati bersama, ternyata tidak berjalan maksimal dan terpecah di tengah jalan. Bahkan PDIP sebagai penggagas interpelasi kasus busung lapar dan polio tidak menunjukkan taringnya sebagai oposisi sebagaimana yang sering digembar-gemborkan.
Kedua, DPR belum memiliki isu yang cukup kuat, akurat, dan komprehensif untuk mengontrol pemerintah. Masalah impor beras dan kasus busung lapar dan polio tidak berdasarkan data yang jelas dan akurat, sehingga mentah di tengah jalan dan tidak mendapatkan respon substantif dari pemerintah. Kenyataan ini menunjukkan fakta politik yang ketiga, yaitu penggunaan hak-hak DPR baik interpelasi maupun angket, lebih bernuansa politis daripada substansi dan fungsi dari hak interpelasi itu sendiri, yaitu meminta penjelasan dari pemerintah secara detail dan transparan, sehingga bisa diterima oleh para anggota dewan sebagai wakil rakyat.
Keempat, matinya sensitivitas anggota dewan terhadap derita orang-orang yang diwakilinya, yaitu rakyat. Dengan logika apapun, kenaikan gaji di tengah tak terjangkaunya kebutuhan pokok masyarakat, tidaklah rasional dan tidak etis secara sosial.
Fakta-fakta politik di atas patut menjadi catatan, karena ini merupakan potret politik DPR yang semakin hari semakin tidak jelas jenis kelaminnya. Agenda-agenda mereka tidak solid, tergantung pada kepentingan politik mereka. Kandasnya hak angket dan hak interpelasi semakin memperpanjang daftar absurditas sekaligus paradoksalitas politik anggota dewan yang sering mengatasnamakan rakyat. Masyarakat dengan telanjang mata menyaksikan betapa carut marutnya perilaku anggota dewan terkait dengan minimnya sensitivitas mereka di tengah derita rakyat.
Sensitivitas politik anggota DPR muncul ketika ada masalah yang terkait langsung dengan kekuasaan, tanpa melihat substansi persoalannya. Sehingga gerakan politiknya menjadi sporadis dan berakhir dengan sia-sia (tanpa hasil). Lebih dari itu, orientasi politik anggota DPR lebih bersifat outward looking daripada inward looking. Mereka lebih sensitif terhadap masalah eksternal daripada problem internal yang terjadi pada diri mereka sendiri. Ini akan menjadi ancaman atau bahkan bisa menjadi duri dalam daging reformasi. DPR yang seharusnya menegakkan kontrol secara permanen terhadap pemerintah ternyata hanya berfungsi ketika ada kasus-kasus tertentu yang bernilai politis dan terkait langsung dengan kekuasaan. Anggota DPR lebih bernafsu mempersoalkan isu mobil jaguar dan surat Menseskab daripada mendorong pemerintah untuk menuntaskan kasus BLBI atau korupsi di PLN, Pertamina, maupun di lembaga lainnya, termasuk korupsi yang melibatkan anggota DPR.
Koalisi Terbatas
Untuk membangun kembali kualitas komunikasi politik DPR diperlukan sikap tegas parpol vis a vis pemerintah. Pada masa kampanye pilpres 2004, SBY mewacanakan tentang perlunya koalisi terbatas dalam pemerintahan. Dan SBY mewujudkan hal tersebut dengan tidak melibatkan semua partai politik di dalam kabinetnya. Langkah ini dilakukan agar terjadi check and balance antara pemerintah dengan lembaga legislatif. Namun keinginan tersebut tidak sepenuhnya teraktualisasi karena parpol ternyata bermuka dua. Satu kaki ingin menjadi bagian dari pemerintah, tentu dengan konsesi-konsesi politik, namun di sisi lain ingin bermain sebagai “oposisi” untuk mendapat simpati dari masyarakat dengan menjual berbagai isu. Alih-alih mendapat keuntungan ganda, justru sikap tersebut bisa memancing antipati dan cap “parpol banci”.
PDIP yang sejak awal tidak dilibatkan dalam kabinet menjadi lebih intensif melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Dan dalam jangka panjang, jika PDIP mampu memperlihatkan konsistensi oposisinya secara elegan dan berkualitas, tidak menutup kemungkinan ia bisa mendapat simpati lebih dari masyarakat. Paling tidak posisi oposisi tersebut menjadi matra tersendiri di mata pemilihnya.
Dalam tata politik kenegaraan modern, keberadaan partai oposisi (opposition party) sebagai penyeimbang partai pemerintah (rulling party) merupakan suatu keniscayaan. Fungsi kontrol akan lebih kuat ketika ada keseimbangan antara pemerintah dengan rakyat melalui pengelompokan partai politik ke dalam dua arus besar, yaitu partai pemerintah dan partai oposisi. Dan bagi SBY hal tersebut tentu sangat menguntungkan, karena dapat memperkuat legitimasi kekuasaannya di satu sisi, dan dapat menjadi mercusuar agar kekuasaannya tidak tersesat di sisi yang lain. Dan bagi masyarakat, hal tersebut dapat menjadi media pembelajaran politik yang lebih prospektif bagi kepentingan akomodasi kepentingan mereka.
Keputusan untuk menjadi partai pemerintah atau partai oposisi sebenarnya lebih merupakan pilihan strategis berhadapan dengan kekuasaan. Ketika partai politik tidak bisa atau tidak berani mengidentifikasikan dirinya secara jelas dan tegas berhadapan dengan kekuasaan, maka ia selamanya akan menjadi partai abu-abu (oportunis?) yang dapat mengancam dan mengaburkan eksistensinya.
Dengan konsep koalisi terbatas ini sebenarnya SBY berharap adanya check and balance yang berkualitas bagi tatanan politik kenegaraan. SBY ingin menarik garis tegas antara partai pemerintah dengan partai non-pemerintah. Partai pemerintah tidak berarti menjadi kerbau yang dicocok hidungnya. Tapi menjadi partner yang produktif bagi kepentingan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Bagi parpol pemerintah, kritik bisa dilakukan secara internal karena mereka sudah menjadi bagian dari pemerintah. Apabila kritik dilakukan secara “vulgar”, maka berarti ia mencoreng mukanya sendiri.
Di sinilah saya kira para politisi di Senayan dan partai politik harus menata kembali pilihan politiknya secara konsisten dan bermartabat, sehingga tidak menambah daftar panjang kekecewaan masyarakat terhadap para politisi sipil, yang sering mengatasnamakan rakyat. Dan masyarakat bisa mengontrol konsistensi politik di Senayan dengan melihat kesungguhan mereka dalam menindaklanjuti secara serius seluruh kebijakan pemerintah yang dianggap tidak menguntungkan masyarakat. Dalam kasus impor beras, busung lapar dan polio, Freeport, Exxon Mobil, dan kasus lainnya tak banyak langkah serius yang diambil anggota DPR kecuali perdebatan wacana yang saling memojokkan bahkan tidak jarang dengan caci maki, bukan memberi solusi.
Dari hiruk pikuk yang berlangsung di Senayan semakin jelas terlihat mana parpol yang betul-betul serius dan konsisten mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat, dan parpol yang sekadar show of forces di wilayah publik untuk mendapatkan konsesi-konsesi politis dari kekuasaan. Kalau ternyata DPR menganggap segala persoalan bisa diselesaikan melalui hak interpelasi, tanpa tindak lanjut yang lebih serius setelah itu, maka semakin jelas, betapa komunikasi politik anggota dewan hanya untuk gagah-gagahan daripada keberpihakan sejati pada rakyat. Inilah awal keruntuhan komunikasi politik Senayan sebagai simbol komunikasi seluruh rakyat.*
No comments:
Post a Comment