Opini
DPR ke Australia, "Quo Vadis"?
Media Indonesia, Selasa 11 April 2006
A. Bakir Ihsan
Rencana kunjungan anggota Komisi I DPR RI ke Australia patut dikritisi di tengah kebiasaan anggota dewan melancong ke luar negeri. Belum lama ini mereka mendapat sorotan, namun seperti anjing menggonggong, anggota DPR tetap berlalu ke Mesir, Jerman, Korea Selatan, dan beberapa negara lainnya.
Persoalannya bukan sekadar alasan mereka ke luar negeri yang tak berdasar, tapi juga prestasi mereka dalam mengagregasi dan mengartikulasi aspirasi rakyat belum maksimal dan kontrol terhadap pemerintah pun masih jauh dari harapan. Hak angket dan interpelasi yang sering mereka usulkan sudah tak bernyali sehingga melahirkan sinisme dan cibiran. Sekali mereka berhasil melaksanakan hak interpelasinya dalam kasus polio dan gizi buruk mereka tak bisa berbuat banyak, kecuali “caci maki” antara mereka sendiri.
Atas fakta-fakta politik tersebut, derajat kepercayaan terhadap peran DPR semakin runtuh. Mereka berbekal kepercayaan dari rakyat tapi dirongrongnya sendiri melalui intrik-intrik politik tanpa nyali.
Penguatan politik
Walaupun mendapat kritik tajam, rencana kunjungan anggota DPR ke Australia seperti tak terbendung. Secara politik, langkah tersebut sangat tidak menguntungkan bagi pembelajaran politik masyarakat. Secara tidak langsung kenekatan anggota DPR ke Australia di tengah kontroversinya, mengajari masyarakat untuk masa bodoh dengan input dan aspirasi orang lain. Mereka tidak peduli dengan himbauan bahkan kritik dari Majelis Rakyat Papua (MRP) yang jelas-jelas menolak rencana anggota DPR ke Australia karena dianggap tidak menyentuh substansi persoalan dan bukan ranahnya.
Agenda diplomasi antar negara adalah ranah eksekutif, bukan legislatif. Oleh sebab itu, alasan untuk membantu diplomasi Indonesia dalam kasus pemberian visa proteksi sementara (temporary protection visa) terhadap warga Papua sungguh alasan yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Bisa dipastikan, mereka tidak akan membawa hasil apa-apa kecuali komunikasi biasa dengan anggota parlemen atau warga Papua di Australia. Kita tidak bisa berharap banyak karena kecakapan komunikasi politik anggota dewan di Senayan sering tidak efektif, apalagi berhadapan dengan anggota parlemen negara lain.
Rencana kunjungan ke Australia dengan membawa misi negara menunjukkan adanya upaya memperlebar ranah peran anggota DPR. Ia ingin merambah ke berbagai ranah politik termasuk ranah diplomasi yang sesunggunya merupakan ranah pemerintah. Fenomena ini tidak hanya terlihat dari rencana kunjungan ke Australia. Dalam beberapa kasus anggota DPR sering overacting dalam merespon perkembangan politik nasional, sehingga tidak pernah menghasilkan output yang maksimal, baik sebagai lembaga kontrol maupun legislasi.
Alih-alih dapat meretas masalah relasi RI-Australia, justru kehadiran mereka di Australia bisa memunculkan masalah baru. Memecahkan masalah dengan masalah. Inilah salah satu kritik Francis Fukuyama melihat kecenderungan politik kekuasaan yang lebih mementingkan cakupan (skop) dan pelebaran peran daripada penguatan eksistensinya. Fenomena ini patut menjadi perhatian bersama di tengah transisi reformasi yang berlangsung saat ini.
Apabila fenomena politik yang serba mencakup ini terus dibiarkan, tanpa mempedulikan kualitas dan penguatan politik pada masing-masing lembaga politik, maka akan mengancam terhadap laju reformasi dan pendewasaan lembaga-lembaga demokrasi. Sejatinya anggota DPR lebih menguatkan fungsinya sebagai wakil rakyat yang mengontrol pemerintah, mengagregasi dan mengartikulasi aspirasi rakyat, bukan mengambil alih peran pemerintah.
Dalam kasus pemberian suaka, DPR sebetulnya bisa mempertanyakan kepada pemerintah langkah yang telah dilakukan dalam merespon sikap Australia. Namun hal ini tidak dilakukan. Mereka lebih tertarik terjun langsung ke Australia, bukannya ke Papua, dalam upaya mengartikulasi aspirasi masyarakat setempat. Anggota DPR lebih suka mencari kambing hitam dengan menuduh negara lain sebagai dalang yang membiayai dan mensupport Papua Merdeka, tanpa mempersoalkan mengapa hal itu terjadi. Kalau ini masalahnya, mengapa hanya ke Australia. Kenapa tidak ke negara-negara lain yang juga dianggap sebaga bagian dari jaringan Papua Merdeka.
Menyelesaikan dari dalam
Persoalan Papua merupakan rangkaian dari ketidakpuasan anak bangsa terhadap negara. Dan penyelesaiannya ada di tangan negara dan masyarakat setempat, bukan pada negara lain. Dalam mengatasi masalah separatisme ini, Indonesia sebenarnya sudah punya pengalaman yang patut dikembangkan. Aceh setelah sekian lama berada dalam konflik bersenjata akhirnya bisa duduk bersama dan berunding mencari solusi.
Walaupun gerakan separatisme di Aceh juga mendapat dukungan dari negara lain, namun suasananya tak setegang kasus pemberian visa terhadap 42 warga Papua. Dari sini terlihat jelas bahwa ada tebang pilih isu dalam merespon sikap negara terhadap negara lain.
Langkah pemerintah memang tak pernah sepi dari kritik khususnya dari para politisi. Dalam penyelesaian Aceh melalui MoU yang ditandatangani di Helsinki sebagian anggota DPR menganggapnya sebagai kekalahan diplomasi pemerintah berhadapan dengan GAM. Namun pada kenyataannya, MoU tersebut jauh lebih efektif meretas masalah daripada pendekatan lainnya. Kesepakatan melalui dialog jauh lebih baik daripada menghakimi apalagi menyalahkan negara lain sebagai provokator disintegrasi. Dan terbukti Aceh tak lagi bersimbah darah. Inilah yang bisa dikembangkan oleh pemerintah termasuk oleh anggota DPR dalam menangani kasus gerakan separatisme di Papua.
Presiden SBY sendiri secara tegas mengatakan tidak akan pernah mentolerir upaya mencabik kedaulatan NKRI. Ini berarti bahwa pemerintah berusaha menyikapi kasus pemberian visa terhadap warga Papua secara proporsional, bukan secara emosional. Pemberian suaka adalah hak politik Australia dengan segala kepentingan dan konsekuensinya. Karena, seperti dinyatakan oleh Arief Budiman, pemberian visa terhadap warga Papua, Australia akan menemui problem baru berupa membludaknya orang-orang Papua mencari suaka ke negeri kanguru (Media Indonesia, 6/4).
Sebagai sebuah negara, Australia pasti punya kepentingan dengan pemberian suaka. Tidak ada makan siang yang gratis. Penolakan Australia untuk memberikan suaka terhadap warga Afghanistan, membuktikan bahwa ada politik kepentingan dan pilih kasih dalam pemberian visa.
Politik dan kepentingan global tak mungkin kita hindari. Langkah yang bisa dilakukan adalah memperkuat diri dengan mengurai segala persoalan sosial secara jernih dan menatanya kembali secara maksimal sehingga membuat seluruh warga betah tinggal di negerinya sendiri. Kurang apik rasanya apabila kita marah pada tetangga karena menampung anak negeri, tapi kita tak pernah mengerti dan mengabaikan aspirasinya. Oleh sebab itu, mari kita perbaiki di dalam negeri, tanpa melancong ke luar negeri.*
No comments:
Post a Comment