Opini
Reformasi Mati di Tangan "Reformis"
Seputar Indonesia, Selasa 21 Maret 2006
A. Bakir Ihsan
Beberapa hari terakhir ini ada penguatan fenomena absolutisasi aspirasi di masyarakat, tak terkecuali dari beberapa tokoh nasional. Fenomena kekerasan di Papua sebagai bentuk protes terhadap PT Freeport dan berbagai bentuk ancaman terhadap keputusan pemerintah atas Exxon Mobil dalam kerjasama eksplorasi minyak di Blok Cepu merupakan ekspresi dari absolutisasi aspirasi. Begitu juga ultimatum Abdurrahman Wahid terhadap pemerintah untuk memperbaiki bangsa dalam waktu sebulan dan Amien Rais yang menuduh pemerintah menjual negara atas kasus Exxon Mobil merupakan bentuk lain absolutisasi aspirasi.
Fenomena tersebut merupakan ekspresi kebebasan di era reformasi. Atas nama demokrasi beberapa kelompok kepentingan menempatkan dirinya sebagai oposisi ekstrem dengan menentang segala bentuk kebijakan pemerintah. Sebuah kenyataan yang dihormati dalam demokrasi. Namun sejauhmana kritik dan “ancaman” terhadap kebijakan pemerintah itu efektif bagi perbaikan tata kehidupan bangsa? Di sinilah kita dituntut untuk menentukan strategi dan langkah-langkah konstruktif, sehingga kritik tersebut tidak terkesan provokatif dan mengedepankan kepentingan kelompok atau pribadi masing-masing.
Nasionalisme sempit
Beberapa tokoh nasional, seperti Megawati, Amien Rais, Abdurrahman Wahid merupakan sosok yang pada masanya dianggap sebagai lokomotif demokrasi dan reformasi. Walaupun ketiganya sempat berseberangan, namun belakangan khususnya terkait isu Freeport dan Exxon Mobil begitu gencar mengkritik pemerintah atas nama nasionalisme. Dari sinilah isu nasionalisme dengan ragam penafsirannya mencuat. Penunjukan Exxon Mobil sebagai operator kilang minyak di Blok Cepu dituduh sebagai perendahan harga diri bangsa. Bahkan Amien Rais menuduh pemerintah telah merampok uang negara triliunan dollar untuk kepentingan perusahaan Amerika.
Bagi masyarakat awam, tuduhan-tuduhan tersebut tentu bisa membangkitkan heroisme dan semangat perlawanan yang berbahaya dan menyimpang. Atas nama nasionalisme, masyarakat bisa dimobilisasi dan diprovokasi. Isu nasionalisme dengan mengangkat kasus Exxon Mobil dan Freeport telah menyempitkan arti nasionalisme dan mengidentikkannya dengan anti negara lain. Lebih dari itu, masyarakat secara tidak langsung diajarkan bahwa negara asing, seperti Amerika dan lainnya adalah negara musuh yang harus dilawan dan ditolak kerjasamanya. Ini sungguh sangat riskan di tengah arus globalisasi yang tidak memungkinkan negara mengucilkan diri dan mengalienasi diri dari percaturan internasional.
Nasionalisme yang secara definitif mengacu pada bagaimana nilai-nilai kebangsaan dijunjung tinggi dan dihormati demi kemajuan seluruh aspek kehidupan bernegara, baik ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya, justru terdistorsi oleh klaim sekelompok elit untuk menolak sebuah perusahaan yang bernama Exxon Mobil. Sebuah klaim distorsif dan simplistis untuk membangkitkan perlawanan terhadap segala bentuk kerjasama dengan asing. Fenomena ini pernah berlangsung pada masa rezim Soekarno dan awal pemerintahan Soeharto yang lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi politik.
Persoalan yang diperdebatkan dalam kasus Exxon Mobil sebenarnya lebih bersifat teknis. Bukan persoalan harga diri bangsa apalagi ditarik pada persoalan nasionalisme. Karena sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 negara memberi kesempatan seluas-luasnya bagi investor untuk “membantu” Pertamina mengeksplorasi minyak. Undang-undang ini lahir karena kemampuan negara baik dalam hal dana maupun sumber daya manusianya sangat terbatas. Bahkan pada masa pemerintahan Megawati, UU tersebut diganti dengan Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang sebenarnya semakin mengecilkan peran Pertamina dalam monopoli eksplorasi minyak dan gas bumi. Bahkan melalui UU tersebut Pertamina dijadikan sebuah perseroan yang perannya semakin “terbatas”. Kalau penunjukan Exxon Mobil dianggap sebagai pemerkosaan terhadap nasionalisme, maka UU yang lahir pada masa pemerintahan Megawati tersebut bisa dianggap sebagai biang anti nasionalisme.
Kearifan Budaya
Terjadinya tindak kekerasan dan absolutisasi aspirasi di kalangan masyarakat disebabkan oleh monopoli kebenaran, sehingga semua kebijakan yang datangnya dari luar dirinya dianggap salah dan harus ditolak. Di sinilah distorsi kebenaran melahirkan provokasi yang meradikalkan tindakan serta membunuh kearifan budaya.
Jatuhnya korban dalam peristiwa di Abepura, Papua merupakan contoh dari matinya kearifan untuk mencari jalan penyelesaian terbaik bagi masalah yang sesungguhnya. Masing-masing pihak berdiri di atas kebenarannya sendiri dan tidak memberi ruang sedikit pun untuk menemukan adanya kebenaran yang lain.
Masyarakat yang terlibat bentrok menganggap penutupan Freeport adalah jalan satu-satunya, sementara pemerintah tetap berpegang pada kontrak yang terlanjur ditandatangani oleh rezim sebelumnya. Dalam kondisi demikian, masing-masing menganut prinsip absolutisme yang menjadi ladang subur kediktatoran.
Konsekuensinya niat baik yang disuarakan oleh sekelompok masyarakat maupun tokoh politik menjadi tidak efektif dan cenderung provokatif, karena masing-masing dihinggapi rasa curiga yang bermuara pada caci maki dan tindakan anarki. Inilah fenomena yang terjadi belakangan ini. Para pengamat dan politisi menganggap kebijakan pemerintah tidak baik dan pemerintah menganggap kebijakannya yang terbaik. Tidakadanya ruang kebenaran bagi yang lain menunjukkan matinya kearifan budaya di kalangan masyarakat.
Kearifan budaya akan mengantarkan masing-masing pihak untuk memahami keinginan dan pemikiran orang lain, sebelum mengambil keputusan untuk menolaknya. Untuk memahami keinginan dan pemikiran orang lain diperlukan dialog secara terbuka dan egaliter, tanpa merasa diri sebagai yang terbaik dan paling benar. Di tengah reformasi dan euforia kebebasan saat ini, banyak cara dan jalan untuk melangsungkan dialog. Jika masing-masing sudah bosan melakukan dialog dan tidak mau tahu dengan pandangan orang lain, maka negara ini sedang memupuk kehancuran.
Matinya Reformasi
Dalam masyarakat yang masih kental dengan komunalitasnya, eksistensi tokoh masyarakat sangat menentukan. Dalam konteks negara, keberadaan tokoh nasional yang sering disebut sebagai bapak bangsa atau negarawan sangat dibutuhkan bagi mobilisasi dan stabilisasi bangsa. Dengan kata lain, keberadaan para negawarawan sangatlah strategis bagi transformasi masyarakat.
Eksistensi dan fungsi negarawan lebih didasarkan pada peran yang telah dimainkan, bukan pada simbol-simbol kenegarawanan itu sendiri. Orang disebut negarawan atau tokoh nasional apabila di dalam dirinya tercermin komitmen untuk membantu memperbaiki kehidupan bangsanya secara tulus. Begitu juga dengan reformis. Identitas ini muncul dan disematkan bagi tokoh-tokoh yang dianggap berhasil mencetuskan reformasi. Dan inilah yang dibutuhkan kita pada saat ini.
Namun melihat karut marut manuver para tokoh politik kita, termasuk orang-orang yang diklaim sebagai reformis, dalam polemik kenegaraan saat ini, masih jauh panggang dari api. Bahkan sebagian kaum reformis secara tidak sengaja menelanjangi atribut reformis yang disematkan pada dirinya. Apabila fenomena ini terus berlangsung, maka masyarakat yang berada dalam gerbong reformasinya, akan kehilangan orientasi kenegaraannya dan bertindak atas nama kepentingan kelompoknya masing-masing. Akibatnya reformasi yang telah mengantarkan masyarakat pada euforia kebebasan saat ini akan sampai pada ujung kematiannya, karena masing-masing bertindak di luar koridor reformasi yang tertib dan konstitusional. Kalau demikian, kita patut berduka karena reformasi mati akibat ulah para reformisnya sendiri.*
No comments:
Post a Comment