Republika, Rabu, 15 Maret 2006
A. Bakir Ihsan
Kata orang, politik itu kekuasaan. Bagaimana mencari, mendapatkan, dan mempertahankan kekuasaan: power struggle. Bagi yang memahami separuh ajaran Machiavelli, bahkan mengatakan untuk mencapai tujuan politik, segala cara dihalalkan. Pertanyaanya, tidak adakah etika dalam politik? Apakah politik benar-benar tidak mengenal moral?
Jawabannya bisa beragam. Kaum penganut etika utilitarian, misalnya, mengatakan bahwa dalam politik, apapun yang dilakukan dianggap baik, atau etis jika semuanya itu untuk kepentingan masyarakat yang paling banyak, dan yang dilakukan itu memiliki tingkat kebaikan dan nilai manfaat terbesar. Segaris dengan pandangan ini, dalam dinamika politik riil, ukuran etis tidak etisnya suatu aktivitas atau gerakan politik --baik bagi pemegang kekuasaan maupun lawan politiknya-- kerap dikaitkan apakah aksi dan manuver politik itu untuk kepentingan pribadinya, kelompoknya, partai politiknya, atau untuk kepentingan rakyat banyak.
Oposisi dalam demokrasi
Demokrasi di Indonesia makin mekar. Kontrol sosial dan kontrol publik terhadap pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan pemerintah makin kuat dan nyata. Fenomena ini menggambarkan betapa rakyat menginginkan tingkat transparansi dan akuntabilitas para pejabat publik, termasuk presiden, yang makin tinggi.
Sebagaimana kita ketahui, ciri-ciri demokrasi yang makin matang adalah ditandai makin kuatnya konstitusionalisme. Termasuk di dalamnya checks and balances, pembatasan kekuasaan, regularitas pemilihan (termasuk pemilihan presiden), serta dipatuhinya aturan main dan etika politik yang dikonsensuskan.
Budaya oposisi juga sebuah ciri yang sehat dalam demokrasi. Ini bertujuan agar penguasa tidak bertindak sewenang-wenang, serta dapat mengambil keputusan dan menetapkan kebijakan secara tepat. Oposisi yang sehat dan membangun adalah oposisi yang genuine dan membawa manfaat --tentu manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat kita. Sekali lagi, untuk kepentingan rakyat. Artinya, pada saat putusan dan langkah pemerintah tepat dan benar, kaum oposan mesti mendukung, karena rakyat akan diuntungkan.
Ketika pilihan dan kebijakan pemerintah dinilai tidak tepat, kaum oposan pantas bersuara keras agar --sekali lagi-- rakyat tidak dirugikan. Sikap politik yang serba membenarkan pemerintah jelas keliru. Demikian pula, apapun yang diputuskan dan ditetapkan pemerintah harus dilawan, waton suloyo, adalah salah. Kalau budaya waton suloyo dan ''pemerintah harus dilawan'' ini dikembangkan, kita patut bertanya: ini untuk siapa? Untuk rakyat, atau untuk lawan politik itu sendiri.
Regularitas demokrasi
Di negara demokrasi manapun, pemilihan umum, baik untuk memilih anggota parlemen atau untuk memilih presiden atau perdana menteri, mesti ada aturan mainnya. Di Indonesia, misalnya, pemilihan itu dilaksanakan setiap lima tahun. Pemberian mandat bagi DPR, DPD, presiden, gubernur, bupati, wali kota selama lima tahun, dipandang cukup untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya. Tugas-tugas konstitusional itu mesti dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, juga untuk rakyat.
Karenanya, sikap mental dan sikap politik pasca-pemilu yang mengancam regularitas itu tentu bukanlah sikap yang sehat dan demokratis. Bagi yang tidak berhasil memenangkan pemilu haruslah menerima kenyataan itu. Tentu mereka boleh melakukan oposisi, membangun kekuatan kembali, dan siap berkompetisi lagi untuk periode pemilu berikutnya. Aksi dan manuver politik yang memiliki niat dan tujuan untuk menjatuhkan di tengah jalan bagi yang sedang memiliki mandat rakyat --tidak peduli apakah pemerintahnya salah atau benar, baik, atau jelek, pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah-- tentulah bukan hanya tidak demokratis, tetapi juga tidak ksatria dan tidak bermoral.
Demikian pula, aksi-aksi politik yang ingin mengangkat isu apa saja, yang penting presiden terpilih dan pemerintah yang dipimpinnya tidak dapat bekerja dengan baik, dan akhirnya gagal, tentulah mengkhianati rakyat, serta menghancurkan kepentingan rakyat banyak. Di sisi lain, jika aksi jatuh-menjatuhkan lawan politik di tengah jalan ini dikembangkan sebagai budaya politik di negeri ini, bangsa ini akan memiliki masa depan yang gelap, merugi, dan akan mengancam nasib demokrasi yang kita cicil saat ini.
Komtemplasi
Saya cemas. Ada tanda-tanda kuat, bahkan realitas, budaya politik yang tidak sehat ini mulai berkembang di Tanah Air. Suatu pentas dan tontonan yang menyedihkan dan juga memalukan. Tarik menarik kepentingan secara vulgar baik yang dilakukan legislatif maupun kelompok kepentingan (LSM, tokoh nasional, maupun lembaga lainnya) semuanya bertumpu dan menimpakan dosa pada kekuasaan (presiden). Kita harus menyadari bahwa semua harus berorientasi kepada manfaat dan kepentingan orang banyak. Dan ini memerlukan kerja sama dan kebersamaan.
Politik itu memang keras. Kadang-kadang juga kejam. Apapun bisa dihalalkan, apapun bisa dilakukan. Tidak peduli apakah rakyat menjadi kaum yang kalah, karena akhirnya mereka hidup dalam era ketidak-stabilan, era permusuhan tak henti, dan era macetnya semua upaya untuk memajukan kehidupan rakyat. Tentu bukan politik seperti ini yang kita pilih. Masih ada jalan dan cara-cara berpolitik yang bermoral, bermartabat, serta penuh kepatuhan kepada aturan main dan konstitusionalisme. Bukankah kita hidup di sebuah negara yang berdasarkan konstitusi? Dari sinilah demokrasi kita patri. Bukan atas nama demokrasi, kita melampaui konstitusi, karena akan berbuah anarki dan kita tak akan pernah menjadi bangsa yang mandiri dan memiliki integritas diri.
Jika aksi jatuh-menjatuhkan lawan politik di tengah jalan ini dikembangkan sebagai budaya politik di negeri ini, bangsa ini akan memiliki masa depan yang gelap, merugi, dan akan mengancam nasib demokrasi yang kita cicil saat ini.
No comments:
Post a Comment