Opini
Eksklusi Politisasi Agama
Suara Pembaruan, Kamis, 6
April 2017
A. Bakir Ihsan
Layaknya sebuah
dialektika, relasi agama dan politik selalu menyulut pro kontra. Beberapa hari
lalu, Presiden Joko Widodo melontarkan pernyataan tentang pentingnya pemisahan
agama dan politik. Pernyataan ini tak ayal mengundang perdebatan dalam beragam
perspektifnya. Padahal kalau dipahami secara kontekstual, pernyataan Presiden mengarah
pada upaya pengagungan agama dengan cara menjauhkannya dari politisasi.
Wanti-wanti dari presiden
tersebut menemukan urgensinya di tengah kecenderungan politisisasi agama. Politisasi
agama yang memicu eksklusi bahkan diskriminasi. Penolakan menyalatkan jenazah
karena beda dukungan politik, diskriminasi hak politik berdasarkan agama yang
diumbar di ranah publik adalah puncak gunung es dari upaya politisasi agama. Selain
paradoks dengan misi agama, politisasi agama bisa menjadi preseden buruk bagi
soliditas dan solidaritas kewargaan.
Walaupun dari sekian kali
kontestasi, politisasi agama tidak terlalu signifikan dampaknya terhadap politik
elektoral, namun secara sosio-politik bisa berdampak pada dua hal. Pertama,
mengkristalnya partisi relasi antar anak bangsa berdasar primordialitas. Politisasi
agama menggerus keadaban dan rajutan kewargaan. Kedua, dominasi terhadap
ruang publik atas nama mayoritarian.
Tali pengaman
Politisasi agama hadir
tidak dari ruang hampa. Menguatnya intimasi relasi agama dan politik tidak
terlepas dari adanya keuntungan (insentif) yang dinikmati. Paling tidak,
masyarakat dengan ragam penafsirannya terhadap agama menemukan “rasa aman” di
tengah alienasi yang disuguhkan oleh beragam kuasa lainnya. Dalam kondisi
demikian, agama hadir sebagai “tali pengaman” atau existential security
(Norris & Inglehart, 2004). Pemahaman keagamaan yang memberi rasa aman ini
biasanya menguat di kalangan masyarakat yang menemukan jawaban atas beragam
masalah kehidupannya pada agama.
Dalam konteks politik pun
demikian. Pilihan terhadap partai politik atas dasar agama atau ideologi
tertentu, menurut Gallup World Poll (2008) karena kegagalan partai atau rezim yang
non-agama (sekuler) atau ideologi lain. Di beberapa negara muslim demokratis,
seperti di Turki dan Indonesia, ketidakpuasan atas realitas politik, melahirkan
politik agama sebagai pilihan. Agama menjadi jawab atas krisis politik. Pada
konteks ini, agama dan politik berada pada fungsi yang saling mengait.
Munculnya gerakan politik
dengan label agama sesungguhnya mencari jawab atas masalah yang dihadapinya.
Secara politik hal tersebut bisa dijawab oleh partai politik yang
bertanggungjawab mengagregasi aspirasi masyarakat, termasuk kelompok keagamaan.
Sayangnya partai politik yang pada awal reformasi menjadi tumpuan kuat
masyarakat tak mampu bergerak mengimbangi arus kebebasan yang lahir dari
reformasi. Konsekuensinya, masyarakat dengan segala kepentingannya melampaui
gerak partai politik yang lamban dan cenderung pragmatis.
Pasar politik
Charles M. Mack (2010) menyebut salah
satu penyebab kegagalan partai politik adalah alienasi partai dari pemilih intinya
(core base voter). Alienasi lahir karena pemilih tradisional tidak
menemukan tali pengaman dari partai, termasuk partai politik agama.
Partai agama sejatinya memiliki
nilai lebih (competitive advantage) dibandingkan partai sekuler dengan captive
market yang khas. Paling tidak, ada dua captive market partai agama
(Islam), yaitu pasar ketidakpuasan terhadap politik sekuler dan pasar tumbuhnya
semarak keagamaan.
Pasar pertama tampaknya
mulai menyusut seiring mencairnya identitas partai agama yang bergerak menjadi catch
all party. Ia juga gagal mendiversifikasi identitas politiknya di tengah realitas
sosio-politik yang heterogen. Pun pada ranah tingkah laku partai, partai
politik agama setali tiga uang dengan
partai politik sekuler, termasuk dalam deviasi dan distorsi fungsinya dan
lacurnya etika politik.
Sementara pasar keagamaan
yang semarak sejak awal 1990-an belum mendapatkan pijakan politik yang
sinergis. Semarak keagamaan pada ranah kultural tidak berkelindan dengan
semarak politik agama yang cenderung formalistik-simbolik. Euforia politik
agama hanya berpijak pada imajinasi kuantitas umat Islam yang mayoritas, tanpa
memahami strategi mensinergikannya secara substantif. Kebangkitan keagamaan
secara kultural hanya dijawab melalui formalisasi ajaran agama pada ranah aturan
tanpa mampu menerjemahkannya menjadi apa yang disebut Alexis de Tocqueville
sebagai habits of the heart.
Dalam kondisi perilaku partai
politik yang seragam dan persoalan sosial budaya dan ekonomi belum banyak
beranjak, tawaran paham keagamaan yang dianggap memberi kepastian cenderung
menjadi pilihan. Jawaban agama yang rigid, eksklusif, dan mempertegas posisi
kami (minna) dan mereka (minkum), seperti oase yang dapat dikonversi
menjadi gerakan politik keagamaan.
Negara hadir
Berpijak pada gejala
menguatnya politisasi agama di atas, maka ada tiga hal yang diharapkan bisa
mencairkannya. Pertama, dalam kehidupan masyarakat yang religius
(berketuhanan), etika dan keteladanan politik dalam kehidupan sosial yang
majemuk menjadi kemestian. Etika yang mengedepankan negosiasi dan menyemarakkan
toleransi yang tampak pada sikap dan perilaku para elit politik (struktural)
maupun elit sosial keagamaan (kultural). Yang sering muncul kepermukaan adalah
kecenderungan etika politik yang semakin rapuh yang tercermin dalam sikap eksklusif,
oligarkis, dan koruptif.
Kedua, masih tingginya rasio gini atau kesenjangan ekonomi menjadi lahan subur gerakan
protes yang bisa dikemas dengan beragam label, termasuk label agama. Pemberdayaan
ekonomi umat atau kelompok yang paling banyak termarginalkan adalah keharusan,
agar mimpi pada ideologi atau sistem lain tak dirasa penting lagi.
Ketiga, political will untuk
menghadirkan negara, sesuai semangat otonomi daerah, di tengah masyarakat. Politik
yang menghadirkan negara melalui tata kelola yang efektif dan inklusif berlandaskan
keragaman dan problem warganya.
Dengan demikian, politisasi
agama sebagai muara dari beragam problem sosial secara perlahan akan kehilangan
pijakannya. Hal ini karena negara hadir sebagai existential security
bagi warganya.*
No comments:
Post a Comment