Foto: Antara/Fanny Octavianus
Opini
Konstruksi
Kebangsaan Partai Politik
Oleh A. Bakir Ihsan
Sesuai
penetapan KPU, partai politik yang bertarung pada Pemilu nasional
2019 bertambah dari 10 menjadi 14. Belakangan Bawaslu menetapkan PBB sebagai
peserta Pemilu. Dengan bertambahnya jumlah partai, pilihan masyarakat semakin
banyak, walaupun dengan distingsi yang sulit ditegaskan. Menjelang Pemilu ke-5
di era reformasi, perlu diajukan evaluasi terkait manfaat partai bagi konstruksi
kebangsaan.
Terngiang
kembali gugatan dua pendiri partai sekaligus bapak bangsa; Thomas Jefferson dan
Soekarno terhadap partai politik. Menurut Jefferson (1789); "If I could
not go to heaven but with a party, I would not go there at all." Bagi
Soekarno (1956); "Marilah sekarang bersama-sama kita menguburkan semua
partai!".
Dua
pernyataan tersebut merefleksikan harapan sekaligus kekhawatiran. Partai diharapakan
bisa memobilisasi dan mengartikulasi aspirasi, tapi dapat pula meruntuhkan
kolektivitas bangsa karena partisi yang lebih ditonjolkan. Partai yang
merepresentasikan irisan sosial dieksploitasi melampaui dasar kebangsaan.
Tampaknya kekhawatiran tersebut masih cukup relevan melihat fenomena partai
politik saat ini yang lebih memikirkan kepentingan diri daripada konstituennya.
Akibatnya, seperti
dilansir beberapa lembaga survei, opini masyarakat terhadap partai politik
relatif buruk. Menurut hasil survei Indobarometer, Maret 2017, sebanyak 51,3 persen masyarakat menilai partai politik
buruk. Akibatnya masyarakat merasa tidak dekat dengan partai politik (62,9%).
Hal serupa juga ditunjukkan dari hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting
(SMRC) pada Oktober 2016. Terjadi penurunan tingkat kedekatan masyarakat terhadap
partai politik dari 10% menjadi 9%. Opini buruk dan jarak masyarakat terhadap
partai politik memperlihatkan belum maksimalnya fungsi artikulasi publik. Bahkan
dalam kasus tertentu partai politik menjadi penyumbang menguatnya sekat
primordial untuk kepentingan pragmatis.
Problem institusi
Dua tantangan
terbesar agenda kebangsaan yang cenderung menguat saat ini adalah pertama, intoleransi. Gejala intoleransi
semakin kasat mata melalui penegasian terhadap kelompok yang berbeda atau
memberi ruang bagi munculnya primordialisme. Partai, yang oleh sebagian ahli
diartikan sebagai partisi (partition)
terjebak dalam penguatan sekat sosial untuk kepentingan pragmatis. Akibatnya,
kapasitas, kapabilitas, dan integritas baik secara personal maupun
institusional terabaikan karena pertimbangan emosional-primordial sesaat. Isu
primordial, khususnya agama, menjadi amunisi karena diyakini dapat menggerek
elektabilitas. Di sinilah simpang jalan partai; antara kepentingan suara dan
bangsa.
Kedua, korupsi. Hasil
survei Global Corruption Barometer (Kompas,
8/3/2017) DPR sebagai kawah eksistensi anggota partai politik, menjadi lembaga terkorup.
Temuan ini tampaknya terkonfirmasi oleh bertambahnya jumlah tersangka anggota dewan
yang “tertangkap” KPK. Kepentingan “citra” diri politisi dan kelompoknya telah
mendistorsi orientasi kebangsaan dengan cara korupsi.
Kedua problem tersebut hadir bukan
semata problem moral (nilai), tapi juga karena secara institusi, partai politik
belum memiliki komitmen kuat dalam hal anti korupsi dan penguatan toleransi.
Dari 10 partai yang ada di DPR RI saat ini, tidak ada yang secara eksplisit
menyebut urgensi toleransi sebagai landasan strategis dalam AD/ARTnya.
Sementara dalam hal korupsi, hanya ada 3 partai yang secara eksplisit menyebut
secara tersurat melawan korupsi. Namun secara faktual, tidak ada satu partai
pun yang anggotanya bersih dari korupsi.
Sayap
demokrasi
Selain pada ranah institusi, problem juga
hadir pada substansi demokrasi yang masih berkepak sebelah. Layaknya burung,
demokrasi memiliki dua sayap yang saling berkelindan menerbangkan demokrasi,
yaitu liberty (kebebasan) dan equality (kesetaraan). Secara umum, perayaan
demokrasi selama ini sudah beranjak dari prosedur ke substansi. Dinamika
jumlah partai politik, tingkat partisipasi masyarakat, dan ruang luas menyampaikan
pendapat, merupakan bukti adanya kebebasan (liberty)
sebagai aktualisasi substansi demokrasi.
Sayangnya sayap
liberty tak diimbangi oleh kekuatan equality. Akibatnya muncul apa yang Geoff
Mulgan (1994) katakan sebagai the dictatorship
of the majority atau dalam bentuk lain yang oleh Robert Michels (1968) disebut
sebagai oligarki. Kebebasan menjadi bancaan yang dinikmati para pemilik modal
sosial, ekonomi, dan politik di tengah ketakberdayaan (disempowerment) rakyat banyak. Kondisi ini semakin memperburuk
agenda kebangsaan yang menempatkan seluruh anak bangsa setara.
Problem pada
ranah institusi partai dan substansi demokrasi tersebut memerlukan kerja serius.
Terlebih melihat arah partai yang hanya membesar secara kuantitas (prosedur), tapi
minus secara kualitas (substansi). Paling tidak, tiga langkah
komprehensif berikut dapat membantu partai politik menjadi penguat kebangsaan. Pertama, rekonstruksi struktural.
Langkah ini memerlukan political will
partai politik untuk memastikan aspek kebangsaan sebagai landasan eksistensinya
diimplementasikan secara terstruktur dan terukur. Minimal pemberian sanksi
berat terhadap kadernya yang korup atau memainkan isu SARA dapat mempertegas
identitas kebangsaan partai.
Kedua, transformasi kultural. Urgensi fungsi sosialisasi politik dan
penguatan partisipasi warga merupakan momentum partai politik untuk melekatkan dirinya
pada warga. Fungsi ini dapat mereorientasikan politik warga dari partai sebagai
patron yang “menghidupi” dengan pundi-pundi menjadi partner yang saling
membutuhkan. Hal ini sekaligus menjadi langkah empowerment warga yang
dalam jangka panjang, warga bisa sukarela menghidupi partai.
Ketiga,
kaderisasi meritokratif. Problem kaderisasi terjadi karena partai politik lebih
mementingkan keuntungan instan. Merekrut publik figur atau pemilik modal tanpa
melalui proses kaderisasi bukan hanya merusak sistem, tapi juga merendahkan
ideologi partai. Kaderisasi melalui merit system akan melahirkan calon pemimpin
yang berintegritas.
Dengan
langkah komprehensif tersebut, partai dapat memperkuat peran kebangsaannya
melalui beragam varian aktualisasinya. Bukti basis kebangsaan partai akan
terlihat dari kader yang berintegritas (tidak korup) dan inklusif (toleran) yang
sekaligus menjadi bagian dari institusionalisasi partai politik.*
https://kompas.id/baca/opini/2018/03/16/konstruksi-kebangsaan-partai-politik/
No comments:
Post a Comment